Review Harold and the Purple Crayon, Adaptasi Buku Anak Legendaris
Adaptasi buku anak karya Crockett Johnson
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
GENRE: Family Movie
ACTORS: Zachary Levi,
DIRECTOR: Carlos Saldanha
RELEASE DATE: 23 August 2024
RATING: 3/5
Harold and the Purple Crayon, adaptasi terbaru dari buku cerita klasik karya Crockett Johnson yang diterbitkan pada tahun 1955, menghadirkan tantangan besar bagi para pembuat film.
Buku aslinya begitu sederhana namun penuh dengan keajaiban, menceritakan tentang Harold, seorang anak berusia empat tahun dengan krayon ungu yang dapat menghidupkan apa saja yang ia gambar.
Keajaiban ini menjadikan buku tersebut tidak hanya populer di kalangan anak-anak, tetapi juga di kalangan orang dewasa yang menghargai kesederhanaan dan kedalaman cerita. Namun, sayangnya, versi film ini justru kehilangan sentuhan magis yang membuat cerita aslinya begitu istimewa.
1. Ikutan trend film adaptasi modern
Film ini mencoba mengikuti tren adaptasi modern dari cerita anak-anak yang sukses di box office dengan menggabungkan elemen animasi dan dunia nyata. Harold, yang diperankan oleh Zachary Levi, awalnya digambarkan sebagai karakter kartun yang hidup dalam dunia yang sepenuhnya digambar.
Namun, setelah Harold "ditinggalkan" oleh penciptanya, dia tiba-tiba masuk ke dunia nyata, dan film ini berubah menjadi sebuah komedi tentang karakter yang terjebak di dunia yang asing, sebuah formula yang sudah sering kita lihat dalam film-film seperti "Garfield" dan "Sonic the Hedgehog." Meskipun premis ini memiliki potensi, eksekusinya terasa sangat datar dan kurang menggugah.
Salah satu kelemahan utama film ini adalah pemilihan Zachary Levi sebagai Harold. Levi, yang sebelumnya dikenal berkat perannya sebagai superhero dengan jiwa anak-anak dalam "Shazam!", diharapkan dapat menghadirkan pesona yang sama dalam peran Harold.
Namun, perannya di sini terasa terlalu berlebihan dan tidak cocok dengan karakter Harold yang seharusnya polos dan penuh imajinasi. Dalam buku aslinya, Harold adalah anak kecil dengan kepolosan dan rasa ingin tahu yang mendalam, sementara dalam film ini, penampilan Levi terasa terlalu dewasa dan kehilangan unsur magis yang menjadi inti karakter Harold.
Selain itu, film ini juga memperkenalkan dua karakter pendukung yang tidak ada dalam buku aslinya: Moose, yang diperankan oleh Lil Rel Howery, dan Porcupine, yang diperankan oleh Tanya Reynolds.
Keduanya adalah teman Harold yang muncul dalam wujud manusia, dengan Moose sebagai karakter yang ceria dan Porcupine sebagai punk dengan mohawk ungu. Meskipun penampilan mereka energik dan menyegarkan, karakter-karakter ini tidak menambah nilai signifikan pada alur cerita dan terasa seperti tambahan yang dipaksakan untuk memenuhi kebutuhan formula film komedi keluarga.
Baca Juga: Review Maharaja, Mengungkap Misteri di Balik Kisah Perampokan
2. Materinya sulit untuk dikembangkan
Sutradara Carlos Saldanha, yang sebelumnya sukses dengan film-film animasi seperti "Rio" dan seri "Ice Age," tampaknya kesulitan membawa keajaiban yang sama ke dalam adaptasi ini. Naskah yang ditulis oleh David Guion dan Michael Handelman terasa dipaksakan dan kurang memiliki kedalaman emosional. Cerita berfokus pada pencarian Harold untuk menemukan "old man"-nya, yang seharusnya menjadi inti emosional dari film ini. Namun, pencarian tersebut terasa monoton dan tidak memberikan dampak emosional yang diharapkan.
Film ini juga memperkenalkan subplot tentang Harold yang berteman dengan seorang anak bernama Mel (Benjamin Bottani) dan ibunya yang janda, Terry (Zooey Deschanel). Karakter Terry digambarkan sebagai sosok ibu yang keras kepala namun penuh kasih sayang, sebuah stereotip yang sudah sering kita lihat dalam film-film sejenis. Hubungan antara Harold, Mel, dan Terry seharusnya menjadi salah satu elemen yang menghangatkan hati, tetapi sayangnya, subplot ini tidak berhasil memberikan resonansi emosional yang kuat.
Sebagai antagonis, film ini memperkenalkan seorang pustakawan jahat bernama (Jemaine Clement) yang memiliki obsesi aneh terhadap sebuah novel fantasi yang ia tulis sendiri. Pustakawan ini ingin menggunakan krayon ungu Harold untuk mewujudkan dunia fantasi dari bukunya. Meskipun subplot ini memiliki potensi untuk menambah ketegangan dan drama, eksekusinya terasa terburu-buru dan kurang menggigit. Konflik yang seharusnya bisa menjadi puncak emosional film ini justru terasa seperti elemen yang terpaksa dimasukkan tanpa pengembangan yang memadai.
3. Kesimpulan akhir
Pada akhirnya, "Harold and the Purple Crayon" tidak berhasil menangkap esensi dari buku aslinya yang penuh keajaiban dan imajinasi. Alih-alih membawa penonton ke dalam dunia yang penuh dengan kemungkinan tak terbatas, film ini justru terjebak dalam formula adaptasi standar yang sering kali membosankan.
Pesan tentang pentingnya imajinasi, yang menjadi tema sentral dari cerita ini, disampaikan dengan cara yang terlalu gamblang dan kehilangan daya tarik emosionalnya. Satu-satunya hal yang berhasil "digambar" oleh film ini adalah sebuah adaptasi yang lebih mementingkan hitungan algoritma dibandingkan dengan menciptakan kembali pesona klasik dari cerita anak-anak yang begitu legendaris.
Baca Juga: Review Blue Lock The Movie: Episode Nagi, Kisah Nagi dan Reo