- Ada momen awal di mana Zangief berlatih dengan menarik traktor yang dinaiki dua orang, visual sederhana tapi efektif untuk menegaskan kekuatan superhuman-nya.
- Di adegan kelab, ia mengangkat, memutar, lalu membanting Dan dengan brutal, gerakan yang terasa sangat “Zangief” dan mudah dibaca penonton.
7 Karakter Street Fighter (2026) yang Terlihat Paling Meyakinkan

- Andrew Koji sebagai Ryu: Tampil utuh secara visual dengan kostum akurat, dipilihnya aktor bela diri sejak kecil memberi harapan untuk menyajikan Ryu yang sesuai esensinya di layar lebar.
- Vidyut Jammwal sebagai Dhalsim: Visual mendekati versi game, pilihan aktor praktisi Kalaripayattu cocok dengan konsep Dhalsim, berpotensi istimewa jika diintegrasikan ke dalam gaya bertarung.
- Olivier Richters sebagai Zangief: Sanggup melampauinya dengan tinggi 218 cm, terasa sebagai monster fisik dan penampilan kekuatannya tepat tanpa terasa seperti CGI murahan.
Harus diakui, pendekatan Street Fighter yang berusaha setia pada desain karakter game bisa menimbulkan reaksi campur aduk. Di satu sisi, ini menyenangkan bagi fans lama. Di sisi lain, ketika diterjemahkan ke live-action, terutama dengan roster besar dan beberapa casting yang terasa “ajaib”, sebagian karakter tetap berisiko terlihat konyol.
Namun di tengah semua itu, ada kabar baiknya.
Beberapa karakter justru sudah tampak meyakinkan sejak poster dan sneak peek. Bukan hanya karena kostumnya akurat, tapi karena siluetnya terbaca jelas, auranya sesuai, dan pilihan aktor atau pendekatan desainnya terasa mengerti esensi karakter.
Tidak semuanya, tentu. Tapi cukup untuk memberi harapan bahwa film ini tahu mana karakter yang harus “kena” sejak awal.
Lalu, siapa saja karakter Street Fighter (2026) yang sejauh ini terlihat paling meyakinkan?
1. Andrew Koji sebagai Ryu

Akhirnya, Ryu tampil utuh secara visual. Gi putih, ikat kepala merah, sarung tangan merah, semua elemen ikonisnya hadir tanpa kompromi. Ini terasa kontras dengan versi Street Fighter (1994), yang penampilan Ryunya masih terasa setengah hati dan jauh dari siluet game.
Yang membuatnya semakin meyakinkan adalah pilihan aktor. Andrew Koji bukan sekadar cocok secara fisik, tapi juga punya latar belakang bela diri sejak kecil, aspek yang krusial untuk karakter seperti Ryu, yang identitasnya sangat bertumpu pada disiplin, teknik, dan kontrol diri.
Ini terasa seperti kesempatan terbaik untuk akhirnya menyajikan Ryu yang benar-benar sesuai esensinya di layar lebar. Apalagi mengingat Ryu versi 1994 tersisih dan kehilangan ruhnya, dan ia bahkan tidak muncul sama sekali di The Legend of Chun-Li (2009).
Dengan kostum yang tepat, aktor yang tepat, dan fokus cerita yang tampaknya kembali ke Ryu dan Ken, Street Fighter akhirnya punya fondasi kuat untuk menghadirkan Ryu versi live-action yang layak disebut “definitif.”
2. Vidyut Jammwal sebagai Dhalsim

Dhalsim mungkin adalah salah satu karakter paling berkesan dari roster Street Fighter II. Secara lore perannya mungkin tidak terlalu besar tapi kekuatan melarnya, apinya, dan desainnya nempel di pemain SF II.
Karena itu, versi film 1994 yang mengubahnya menjadi “Doctor Dhalsim” terasa sangat keliru. Karakter itu kehilangan hampir seluruh identitasnya, baik sebagai petarung maupun sebagai simbol spiritual.
Di Street Fighter, situasinya jauh lebih menjanjikan. Secara visual saja, Dhalsim kini tampak lebih mendekati versi game: kepala botak, face paint, dan siluet yang kembali terasa sebagai yogi petarung, bukan ilmuwan generik.
Nilai tambah terbesarnya datang dari pilihan aktor. Vidyut Jammwal bukan hanya aktor laga, tapi juga praktisi Kalaripayattu, seni bela diri kuno dari India yang menekankan kelenturan, kontrol tubuh, dan pergerakan ekstrem, atribut yang sangat cocok dengan konsep Dhalsim.
Jika film ini benar-benar memberi ruang bagi Jammwal untuk mengintegrasikan Kalaripayattu ke dalam gaya bertarung Dhalsim, hasilnya berpotensi istimewa. Alih-alih sekadar “meniru jurus game”, Dhalsim bisa tampil sebagai sosok yang berbeda, eksotis, dan meyakinkan secara fisik, tanpa kehilangan esensi karakternya.
3. Olivier Richters sebagai Zangief

Menariknya, Zangief justru bukan karakter yang gagal total di adaptasi lama. Andrew Bryniarski di Street Fighter berhasil menyajikan Zangief yang sangat kuat, polos, dan bodoh, interpretasi yang, aneh tapi nyata, justru cukup disukai fans. Karena itu, Zangief versi 2026 punya standar lebih tinggi dibanding banyak karakter lain.
Dan sejauh ini? Olivier Richters terlihat sanggup melampauinya.
Dijuluki “The Dutch Giant”, Olivier Richters memiliki tinggi sekitar 218 cm, bahkan lebih tinggi dari Zangief versi game yang berada di kisaran 213–214 cm. Secara siluet saja, ia sudah langsung terasa sebagai monster fisik. Kostum dan riasannya pun memperkuat kesan intimidatif, bukan sekadar pria besar, tapi petarung yang benar-benar berbahaya.
Sneak peek juga sudah memberi beberapa sinyal positif soal bagaimana kekuatannya dipresentasikan:
Bukan cuma tubuhnya yang meyakinkan, cara film menampilkan kekuatannya pun tepat: jelas, berat, dan berdampak. Tidak terasa seperti CGI murahan atau sekadar gimmick visual.
Jika konsistensi ini terjaga, Olivier Richters berpotensi membuat adaptasi Zangief live-action berhasil untuk kedua kalinya, sebuah prestasi langka, mengingat betapa sering karakter Street Fighter lain justru tersandung di versi film.
4. Curtis "50 Cent" Jackson sebagai Balrog

Kalau kamu tahu latar belakang Curtis "50 Cent" Jackson, casting ini sebenarnya cukup masuk akal. Meski tidak pernah menembus level profesional, 50 Cent tumbuh bersama dunia tinju, dan tak hanya itu, ia datang dari masa lalu yang keras, background asli yang sangat relevan untuk karakter seperti Balrog.
Balrog adalah petinju yang bukan sekadar kuat, tapi brutal, oportunis, dan kotor. Dan versi Street Fighter tampaknya benar-benar memahami itu. Dalam salah satu momen sneak peek, Balrog terlihat melayangkan pukulan ke selangkangan lawan tanpa ragu, sebuah low blow yang langsung menegaskan: ini bukan Balrog “polos dan lucu” ala versi 1994, melainkan dirty boxer yang siap menang dengan cara apa pun.
Dari segi visual, pendekatannya juga tepat. Penampilan Balrog 2026 terasa dekat dengan versi game, sekaligus jelas terinspirasi oleh Mike Tyson, figur nyata yang memang menjadi basis karakter Balrog sejak awal.
Kombinasi fisik, aura intimidatif, dan latar belakang personal 50 Cent membuat karakter ini berpotensi tampil sangat autentik, bukan hanya sebagai petarung, tapi sebagai simbol sisi gelap dunia tinju.
5. Jason Momoa sebagai Blanka

Sulit menyangkal satu hal: Jason Momoa adalah tipe aktor yang nyaris selalu mencuri perhatian, apa pun perannya. Dari Khal Drogo di Game of Thrones, Aquaman di Justice League sebelum akhirnya bersinar penuh di film solonya, hingga Dante di Fast X, Momoa punya reputasi sebagai scene stealer.
Di Street Fighter, ia bahkan bisa dibilang nama paling dikenal oleh penonton umum. Dan menariknya, peran yang ia emban justru Blanka, karakter yang awamnya gak dapat peran penting di adaptasi Street Fighter II.
Namun sejauh ini, Blanka versi Momoa justru terlihat menjanjikan. Secara visual, ia mendekati versi game: kulit hijau, rambut merah menyala, ditambah janggut liar yang memberi sentuhan buas sekaligus membedakannya dari inkarnasi sebelumnya.
Pilihan ini terasa tepat untuk Blanka, sosok manusia liar yang hidup di alam, penuh insting, dan berbahaya, tapi tetap karismatik. Karakter seperti ini justru sangat cocok dengan persona layar Momoa yang dikenal primal, fisikal, dan magnetik.
Jika Momoa benar-benar diberi ruang untuk bermain, baik lewat ekspresi, bahasa tubuh, maupun adegan aksi, Blanka versi 2026 berpotensi menjadi karakter yang mencuri panggung, bahkan di tengah roster besar.
6. Cody Rhodes sebagai Guile

Oke, kita akui dulu di awal: akting di ring gulat profesional jelas berbeda dengan akting di film layar lebar.
Tapi dalam kasus Cody Rhodes, keraguan itu tidak sepenuhnya fair. Sepanjang kariernya, mulai dari WWE, AEW, lalu kembali ke WWE, Cody sudah berkali-kali membuktikan dirinya mampu membawakan beragam persona dengan sangat efektif: dari sosok heroik, figur flamboyan, hingga karakter serius yang sarat emosi.
Secara fisik pun ia mendukung. Dengan tinggi sekitar 188 cm, Cody bahkan sedikit lebih tinggi dari Guile versi game (sekitar 182 cm), membuatnya tampak meyakinkan sebagai tentara elite yang dominan secara postur.
Yang membuatnya menarik adalah fleksibilitas karakter:
-Guile ultra-patriotik yang nyaris parodi? Cody bisa.
-Guile serius yang digerakkan dendam atas kematian partnernya? Itu juga wilayah yang sudah sering ia mainkan dengan baik.
Ditambah lagi, versi Street Fighter tampaknya tidak setengah-setengah dalam penyajian visual. Guile hadir dengan rambut sapu ikonis, kostum militer yang tepat, dan bahkan sudah diperlihatkan mengerahkan Sommersault Kick, sampai-sampai membuat Vega menembus dinding.
Dengan kombinasi fisik, persona panggung, dan presentasi visual yang akurat, Guile versi Cody Rhodes terasa jauh lebih menarik daripada dugaan awal. Tinggal satu hal yang perlu dibuktikan: apakah ia bisa mengalihkan karisma ring-nya ke bahasa film.
7. Noah Centineo sebagai Ken

Ken versi Noah Centineo di Street Fighter langsung terasa punya dua sisi yang seimbang. Di satu momen sneak peek, ia terlihat sangat serius saat berduel melawan Ryu di gang kosong saat hujan: sunyi, muram, dan penuh tensi. Tapi di momen lain, Ken tampil hype, percaya diri, dan penuh energi, mencerminkan kepribadian flamboyan yang memang lekat dengan karakternya.
Pendekatan ini terasa tepat untuk Ken. Ia bukan sekadar “Ryu versi cerewet”, melainkan petarung yang sama seriusnya soal pertarungan, tapi mengekspresikannya dengan cara yang lebih ekspresif dan emosional.
Secara visual pun, Ken versi ini akhirnya kembali ke akarnya. Rambut pirang gondrong dan gi merah langsung membuat siluetnya terbaca sebagai Ken, jauh lebih dekat dengan versi game dibanding interpretasi di Street Fighter (1994), yang terasa kehilangan identitas.


















