5 Hal yang Kurang Saya Suka dari Steve Rogers Kembali di Avengers

- Marvel kembali ke nama lama, memunculkan pertanyaan apakah masih percaya pada generasi barunya sendiri.
- Kembalinya Steve Rogers berpotensi menggeser posisi Reed Richards sebagai musuh Doom dan membuat Sam Wilson tidak relevan.
- Banyak unsur Doomsday yang kurang dibangun, terasa seperti kembali ke poin plot era Avengers: Endgame.
Kembalinya Chris Evans sebagai Steve Rogers di Avengers: Doomsday jelas menjadi momen yang menghebohkan. Sulit untuk menyangkal daya tariknya. Steve Rogers selama ini memang terasa sebagai jantung moral Avengers, figur pemersatu yang bahkan hingga kini belum benar-benar tergantikan.
Generasi baru Avengers, termasuk Sam Wilson sebagai Captain America, masih terasa berada dalam proses mencari identitas dan pijakan emosional yang sama kuatnya. Dalam konteks itu, keputusan Marvel memanggil kembali Steve Rogers terasa “masuk akal” secara instan.
Namun justru di situlah masalahnya.
Di balik euforia nostalgia dan rasa familiar, ada sejumlah hal yang membuat saya kurang nyaman dengan keputusan membawa kembali Steve Rogers secara mendadak di Doomsday. Bukan karena karakternya buruk melainkan karena implikasi naratif, tematik, dan arah jangka panjang MCU yang ikut dipertaruhkan.
Lalu, apa saja yang terasa mengganjal?
Berikut beberapa alasannya.
1. Marvel terasa kembali ke nama lama

Sulit mengabaikan kesan bahwa Marvel sedang mundur ke zona aman.
Doctor Doom tidak diperkenalkan lewat aktor baru dengan identitas segar, melainkan diperankan oleh Robert Downey Jr., wajah paling ikonik dari era kejayaan MCU.
Di saat yang sama, Steve Rogers dibawa kembali, kembali pula diperankan Chris Evans.
Sulit menyingkirkan perasaan bahwa setelah Fase 4 dan Fase 5 yang performanya naik-turun (baik secara kritik maupun respons penonton) Marvel kini memilih memanggil kembali nama-nama lama sebagai langkah darurat untuk mengamankan perhatian publik.
Alih-alih menegaskan masa depan MCU, strategi ini justru memunculkan pertanyaan tidak nyaman: apakah Marvel masih benar-benar percaya pada generasi barunya sendiri, atau kini hanya bertahan dengan nostalgia yang sudah terbukti berhasil di masa lalu?
2. Berpotensi membajak posisi Reed Richards sebagai musuh Doom?

Fakta bahwa Steve Rogers mendapat teaser tersendiri, dengan fokus emosional yang kuat, membuat kecil kemungkinan bahwa kembalinya dia sekadar berfungsi sebagai kameo. Justru sebaliknya, perannya terasa bakal singifikan.
Jika Avengers: Doomsday benar-benar menempatkan Steve Rogers berhadapan langsung dengan Doctor Doom, alasannya pun mudah dibayangkan: ancaman Doom terhadap keselamatan anak dan istri Steve. Konflik personal semacam ini adalah shortcut emosional yang sangat efektif, dan justru itu yang membuatnya terasa problematis.
Skenario tersebut berisiko menggeser posisi alami Doom sebagai musuh bebuyutan Reed Richards. Ironisnya, rivalitas klasik Doom–Richards sendiri bahkan tidak benar-benar disorot di The Fantastic Four: First Steps. Jika pada akhirnya posisi “lawan utama Doom” malah diambil alih Steve Rogers, itu akan menjadi perubahan besar yang berpotensi membuat penggemar komik merasa kesal.
Masalahnya bukan sekadar soal kesetiaan pada materi sumber, melainkan soal prioritas cerita. Doom secara tematik adalah refleksi gelap dari Reed bukan dari Steve. Mengalihkan konflik itu ke Rogers terasa seperti memilih jalur cepat, bukan jalur yang paling tepat.
Lebih jauh lagi, dinamika Steve Rogers melawan karakter yang diperankan Robert Downey Jr. juga berisiko terasa seperti pengulangan konflik personal ala Captain America: Civil War, hanya saja dalam skala yang lebih besar. Alih-alih menghadirkan ketegangan baru, Marvel justru berpotensi mengulang formula lama.
3. Berpotensi membuat Sam Wilson tidak relevan?

Baik di dalam cerita MCU maupun di dunia nyata, Sam Wilson (yang diperankan Anthony Mackie) masih terasa berada dalam fase perjuangan untuk diterima sebagai Captain America.
Itu bukan kritik terhadap karakternya, melainkan konsekuensi dari transisi besar pasca-Avengers: Endgame. Sam belum mendapat momen ikonik yang benar-benar mengukuhkan posisinya sebagai pusat moral Avengers seperti yang dulu dimiliki Steve Rogers.
Dalam konteks itu, kembalinya Steve Rogers menimbulkan kekhawatiran yang cukup serius: apakah Sam akan kembali tersisih?
Sebelum pengumuman ini, spekulasi penggemar justru menarik. Dunia MCU seolah bergerak menuju situasi dengan dua Avengers: satu tim dipimpin Sam Wilson, satu lagi adalah New Avengers yang berakar dari Thunderbolts dan dipimpin Yelena Belova.
Bahkan lewat adegan post-credits Thunderbolts, ditegaskan bahwa Sam tidak menyukai tim Yelena menggunakan nama Avengers, sebuah konflik identitas yang potensial untuk dieksplorasi lebih jauh.
Masalahnya, kehadiran Steve Rogers berisiko memotong konflik itu di akarnya. Jika Steve kembali sebagai figur pemersatu, menyatukan dua kubu Avengers, maka posisi Sam bisa saja bergeser, bukan lagi sebagai pemimpin utama, melainkan kembali menjadi penerus yang berdiri di belakang legenda.
Jika itu yang terjadi, maka perjalanan panjang Sam Wilson sejak menerima perisai Captain America akan terasa kehilangan bobot. Bukan karena Sam gagal sebagai Captain America, tetapi karena cerita tidak memberinya ruang untuk benar-benar berdiri sendiri.
4. Bagian dari masalah utama Doomsday: banyak unsurnya kurang dibangun

Salah satu kekuatan utama Avengers: Infinity War adalah rasa konklusi alami. Film tersebut terasa sebagai puncak dari perjalanan panjang: musuh utamanya, Thanos, sudah di-tease sejak Avengers pertama, sementara hampir seluruh karakter yang terlibat telah dibangun lewat film solo dan crossover sebelumnya. Ketika semuanya bertabrakan, penonton sudah punya konteks emosional dan naratif yang kuat.
Bandingkan dengan Avengers: Doomsday.
Kembalinya Steve Rogers praktis baru benar-benar terjadi di film ini, tanpa build-up berarti di sepanjang Fase 4 dan Fase 5. Ia tidak dipersiapkan secara bertahap, melainkan langsung muncul kembali sebagai figur penting, sebuah langkah yang terasa mendadak jika dibandingkan dengan standar Marvel sebelumnya.
Situasi serupa juga terjadi pada Doctor Doom. Meski diposisikan sebagai ancaman utama Doomsday, sejauh ini Doom baru muncul satu kali di MCU: lewat adegan post-credits The Fantastic Four: First Steps. Itu pun dalam bentuk kemunculan singkat, Doom diam berjongkok di depan Franklin Richards, sementara Sue Storm menyaksikan kehadirannya yang tiba-tiba di kamar Franklin.
Adegan itu efektif sebagai teaser, tetapi jelas belum cukup untuk membangun sosok antagonis sebesar Doom sebagai pusat konflik Avengers berskala global.
Akibatnya, sejumlah elemen kunci Doomsday (baik protagonis maupun antagonis) terasa belum matang secara naratif, sangat kontras dengan kondisi MCU menjelang Infinity War. Di sana, Marvel menuai hasil dari kesabaran bertahun-tahun; di sini, mereka terlihat sedang mengejar ketertinggalan.
Masalah ini sulit dilepaskan dari keputusan besar Marvel untuk melakukan pivot darurat: membatalkan Avengers: The Kang Dynasty dan menggantinya dengan Doomsday. Pergantian arah tersebut memang memberi solusi jangka pendek, tetapi juga meninggalkan fondasi cerita yang belum sepenuhnya siap.
5. Terasa kembali ke poin plot era Avengers: Endgame

Dengan ditampilkannya Steve Rogers hidup tenang, bahkan kini memiliki seorang anak (yang kuat diduga berasal dari hubungannya dengan Peggy Carter), Avengers: Doomsday secara tematik terasa kembali ke wilayah cerita era Avengers: Endgame.
Secara emosional, ini memang efektif. Endgame adalah puncak kejayaan MCU, titik di mana banyak penonton masih merasa terikat kuat secara personal. Mengunjungi kembali fase itu, baik lewat karakter, nuansa, maupun konflik, bukanlah keputusan yang sepenuhnya keliru.
Namun justru di situlah kegelisahannya muncul.
Kembalinya ke titik plot lama berisiko membuat Doomsday terasa seperti film yang memutar ulang emosi masa lalu, alih-alih melanjutkan dunia yang sudah bergerak maju selama Fase 4 dan Fase 5. Pertanyaannya bukan apakah nostalgia ini bisa berhasil kena ke penonton, melainkan apa yang dikorbankan untuk mencapainya.
Saya pun jadi penasaran bagaimana Anthony Russo dan Joe Russo akan menyusun struktur utama film ini. Apakah Doomsday sengaja dirancang sebagai film yang tetap bisa dinikmati oleh penonton yang melewatkan Fase 4 dan Fase 5?
Jika iya, maka kehadiran karakter dari berbagai “dunia”, mulai dari jajaran X-Men, Fantastic Four, Avengers versi Sam Wilson, hingga New Avengers, akan berfungsi lebih sebagai ikon pengenal ketimbang kelanjutan organik dari cerita yang sudah dibangun.
Pendekatan itu mungkin efektif secara komersial. Namun secara naratif, risikonya jelas: Doomsday bisa terasa lebih seperti kembali ke masa lalu, daripada langkah mantap menuju masa depan MCU.
Tapi tentu ini hanya opini saya.
Kalau menurutmu gimana?
Sampaikan di grup Warga Duniaku!
Discord: https://bit.ly/WargaDuniaku


















