8 Karakter Street Fighter yang Terasa Ngawur Adaptasinya di Film

- Sagat (versi 1994) - Adaptasi film membuat Sagat terlihat lebih kecil dan menjadi bos kriminal, menghilangkan identitas aslinya sebagai petarung Muay Thai yang penuh dendam.
- Ken (versi 1994) - Ken versi film kehilangan identitasnya sebagai petarung karate flamboyan, diposisikan sebagai penipu kelas teri, merusak hubungan ikonisnya dengan Ryu.
- Ryu (versi 1994) - Karakter Ryu di film tidak sesuai dengan sumber aslinya, diposisikan sebagai penipu kelas teri tanpa ikat kepala ikonisnya, menjauh dari karakter aslinya.
Satu hal yang langsung terasa dari Street Fighter adalah upaya untuk setidaknya akurat secara visual. Kostum, siluet tubuh, dan ciri khas karakter tampak lebih dekat ke versi game dibanding adaptasi sebelumnya.
Dan jujur saja, itu sudah pencapaian besar.
Soalnya kalau kita menoleh ke belakang, dari Street Fighter (1994) hingga The Legend of Chun-Li (2009), ada cukup banyak adaptasi karakter yang bukan sekadar “beda interpretasi”, tapi terasa ngawur: melenceng dari kepribadian, fungsi cerita, bahkan identitas dasar karakter game-nya.
Sebagian perubahan mungkin dimaksudkan agar terasa lebih “realistis” atau mudah dicerna penonton umum. Tapi hasil akhirnya justru sering membuat fans bertanya-tanya, “Ini masih Street Fighter, kan?”
Lalu, karakter mana saja yang adaptasinya paling terasa menyimpang di versi film terdahulu?
Mari kita ulas satu per satu.
1. Sagat (versi 1994)

Di game Street Fighter, Sagat adalah salah satu sub-boss paling ikonis. Ia petarung Muay Thai berbahaya, tinggi besar (sekitar 226 cm), berotot, dan menyimpan dendam mendalam pada Ryu akibat luka besar di dadanya.
Dalam dunia Street Fighter, di mana semua petarung bertarung tanpa batas kelas berat, Sagat secara natural tampil sebagai sosok dominan. ancaman fisik sekaligus emosional.
Versi film Street Fighter justru mengambil arah yang jauh berbeda.
Sagat diperankan oleh Wes Studi, aktor karismatik, namun dengan tinggi sekitar 178 cm, jauh dari postur monster Muay Thai yang dikenal fans. Lebih dari sekadar soal fisik, perubahan paling besar ada pada konsep karakternya.
Di film, ia tampil sebagai Viktor Sagat, sosok petarung yang sudah relatif pensiun. Ia memang disebut pernah dominan di arena, dijuluki Iron Fist, tapi fokusnya kini bukan lagi sebagai fighter brutal yang hidup untuk balas dendam. Sagat malah diposisikan sebagai pemimpin Shadaloo Tong, organisasi kriminal yang mengelola bisnis pasar gelap di kota Shadaloo.
Konsekuensinya fatal bagi identitas karakter: motivasi personal Sagat terhadap Ryu dihilangkan, amarah dan obsesinya lenyap, dan perannya bergeser dari petarung murka menjadi bos kriminal generik.
Bahkan yang mengalahkan Sagat malah jadi Ken di film, bukan Ryu.
Yang lebih unik lagi, Thai King, expy Sagat di Future Cops, juga sering dianggap sebagai salah satu parodi paling tidak akurat di film tersebut. Ini menimbulkan pertanyaan menarik: kenapa Sagat hampir selalu “gagal” ketika diadaptasi ke layar lebar?
Apakah karena karakternya terlalu sederhana, petarung yang hidup untuk dendam, atau justru karena perusahaan film kesulitan menerjemahkan ancaman fisik murni tanpa harus menjadikannya gangster atau bos organisasi?
Apa pun jawabannya, Sagat versi 1994 jelas merupakan salah satu contoh adaptasi Street Fighter yang terasa paling melenceng dari sumber aslinya.
2. Ken (versi 1994)

Menariknya, setahun sebelum film Street Fighter (1994) rilis, penonton justru sudah sempat melihat versi “Ken” yang lebih mendekati aslinya, meski itu muncul di film parodi.
Di segmen Street Fighter dalam City Hunter, Gary Daniels tampil sebagai "Ken Masters": rambut pirang gondrong, gi merah, fisik atletis, dan jurus-jurus khas Ken yang dikenali fans. Walau adegannya konyol dan over-the-top, secara visual dan konsep, “Ken” versi ini masih terasa kena.
Lalu datanglah Ken versi resmi di film Street Fighter dan ironisnya, justru terasa lebih melenceng dibanding parodi.
Ken diperankan oleh Damian Chapa, dengan rambut pendek yang membuat penampilannya lebih mirip “Ken boneka Barbie” ketimbang petarung karate flamboyan yang dikenal fans. Dari segi visual saja, identitas Ken sudah terasa hilang.
Masalahnya tidak berhenti di situ. Latar belakang Ken juga diubah total. Alih-alih menjadi petarung kaya raya dengan rivalitas sehat dan mendalam bersama Ryu, Ken versi film justru diposisikan sebagai penipu kelas teri, berduet dengan Ryu dalam skema scam murahan.
Akibatnya: penampilan tidak masuk, kepribadian tidak masuk, dan hubungan ikonis Ryu–Ken kehilangan makna sebagai rival sekaligus sahabat seperguruan.
Hasil akhirnya cukup ironis: Ken versi parodi di City Hunter terasa lebih “Ken Street Fighter” dibanding Ken versi film resmi 1994.
3. Ryu (versi 1994)

Masalah Ryu di versi Street Fighter sebenarnya sudah terlihat sejak konsep dasarnya. Sama seperti Ken, Ryu di film ini diposisikan sebagai penipu kelas teri, bukan sebagai petarung pengembara yang hidup untuk menempa diri dan mencari makna kekuatan.
Dari titik itu saja, karakter Ryu sudah terasa salah arah.
Aktor Byron Mann sebenarnya tidak bermasalah. Ia justru cukup meyakinkan memerankan sosok licik dan shady. Tapi di situlah masalahnya: Ryu seharusnya bukan karakter shady. Ia adalah figur stoik, pendiam, hampir seperti monk, seseorang yang lebih sering bergulat dengan konflik batin ketimbang dengan tipu daya murahan.
Kesannya makin menjauh ketika Ryu di film ini tidak mengenakan ikat kepala ikonisnya. Detail ini mungkin terlihat sepele, tapi bagi fans Street Fighter, ikat kepala adalah simbol: tekad, disiplin, dan perjalanan panjang Ryu sebagai petarung. Menghilangkannya membuat siluet Ryu semakin tidak terbaca.
Akumulasi perubahan ini menghasilkan satu kesimpulan yang sulit dihindari: secara kepribadian, motivasi, dan visual, Ryu versi 1994 terasa seperti karakter lain yang kebetulan bernama Ryu.
4. Dhalsim (versi 1994)

Dhalsim di versi 1994 disajikan sebagai... Doctor Dhalsim, diperankan Roshan Seth.
Bukan lagi Yoga Master terkenal di dunia dia jadi ilmuwan. Di film ini pun ia tak terlihat memiliki kekuatan melarnya.
Ada bocoran kalau Dhalsim baru akan dapat kekuatannya di sekuel film ini, karena sempat kena cairan mutasi. Dia juga telah kehilangan rambutnya.
Masalahnya sederhana: sekuel itu tidak pernah terjadi.
Akibatnya, kita pun stuck dengan versi Dhalsim ajaib ini: bukan yogi damai dengan kekuatan aneh, melainkan ilmuwan aneh tanpa jurus khas.
5. Dee Jay (versi 1994)

Di game Street Fighter, Dee Jay adalah petarung asal Jamaika yang penuh energi: musisi flamboyan, petarung kickboxing dengan ritme unik, dan salah satu karakter paling ceria di roster Street Fighter II.
Versi Street Fighter? Arah adaptasinya benar-benar berbelok tajam.
Profil resminya di film menjelaskan Dee Jay sebagai ahli teknologi dan peretas Shadaloo, yang sebelumnya bekerja untuk Microsoft. Ia kemudian direkrut oleh M. Bison dengan iming-iming bayaran besar.
Masalahnya bukan sekadar perubahan latar belakang. Jika kita menilai dari apa yang benar-benar ditampilkan di film: tidak ada indikasi Dee Jay bisa bertarung, tidak ada gaya kickboxing khas, tidak ada aura petarung sama sekali.
Ia memang punya beberapa dialog yang cukup menghibur dan terasa komedik. Namun di luar itu, versi ini kehilangan seluruh identitas Dee Jay sebagai fighter. Yang tersisa hanyalah karakter pendukung teknis, peran yang secara fungsi bisa diisi siapa saja.
6. M. Bison (versi 2009)

Versi M. Bison di film Street Fighter memang jauh dari sempurna. Namun setidaknya, fondasi karakternya masih utuh: sosok megalomaniak dengan seragam militer merah mencolok, ambisi besar, dan kehadiran dominan, semuanya diperkuat oleh penampilan total Raúl Juliá.
Sebaliknya, Bison versi 2009 di Street Fighter: The Legend of Chun-Li terasa seperti karakter yang kehilangan hampir seluruh identitas aslinya.
Diperankan oleh Neal McDonough, Bison di sini tampil sebagai pria berambut pirang dengan three-piece suit, lebih mirip CEO kriminal atau bos korporasi licik ketimbang diktator militer yang menjadi simbol teror di game. Nuansa militeristik, aura dominasi fisik, dan citra “final boss” nyaris tak terasa.
Masalahnya bukan pada akting McDonough, melainkan pada konsep karakternya. Versi ini menghilangkan: ikonografi visual Bison, kehadiran yang mengintimidasi, dan posisi Bison sebagai figur kekuasaan absolut.
Akibatnya, Bison 2009 terasa sekadar bernama sama, tanpa membawa esensi yang membuatnya ikonis. Dan ini bukan kasus tunggal, melainkan bagian dari masalah umum The Legend of Chun-Li, di mana banyak karakter terasa hanya meminjam nama Street Fighter tanpa benar-benar menjadi Street Fighter.
7. Charlie Nash (versi 2009)

Versi Charlie Nash di Street Fighter: The Legend of Chun-Li terasa seperti contoh klasik karakter Street Fighter yang dipreteli terlalu jauh.
Tidak punya “rambut ajaib” khas Charlie? Oke, itu masih bisa dimaklumi demi realisme. Tapi setidaknya rambut pirang? Ternyata tidak juga. rambut Charlie di film ini dibiarkan gelap, mengikuti penampilan Chris Klein, tanpa usaha penyesuaian.
Masalahnya bukan cuma di rambut. Hampir semua elemen visual paling dasar Charlie ikut hilang: tidak ada cargo pants hijau, tidak ada vest oranye, bahkan kacamata, detail paling sederhana dan mudah dipertahankan, juga absen.
Akibatnya, sosok yang kita lihat di layar tidak lagi terbaca sebagai Charlie Nash, rekan Guile yang ikonis, agen lapangan keras kepala dengan gaya khas, melainkan agen Interpol generik yang kebetulan diberi nama Charlie.
8. Gen (versi 2009)

Di game Street Fighter, Gen adalah master bela diri tua, sosok legendaris yang tubuhnya sudah rapuh, tapi teknik dan pengalaman bertarungnya berada di level yang nyaris tak tersentuh. Ancaman Gen justru datang dari kontras itu: fisik renta, kemampuan mematikan.
Versi Street Fighter: The Legend of Chun-Li mengambil arah yang jauh berbeda. Gen diperankan oleh Robin Shou, yang tampil sebagai pria sekitar 40-an tahun, masih bugar, dan nyaris tanpa kesan “master tua di ambang ajal”.
Pilihan ini terasa janggal. Bukan karena Robin Shou aktor buruk, justru sebaliknya. Ia dikenal luas sebagai Liu Kang di Mortal Kombat, salah satu adaptasi game paling diterima oleh gamer. Namun di sinilah ironi besar muncul.
The Legend of Chun-Li memilih aktor dari film adaptasi game yang sukses, namun gagal memahami alasan kesuksesan itu. Mortal Kombat berhasil karena: karakter dikenali secara visual, peran sesuai dengan arketipe game, dan perubahan dilakukan tanpa menghilangkan esensi.
Gen versi 2009 justru kehilangan esensinya. Ia tidak lagi terasa sebagai “master tua yang menantang maut”, melainkan petarung senior generik yang bisa dengan mudah ditukar dengan karakter lain tanpa mengubah cerita.


















