Baca artikel Duniaku lainnya di IDN App
For
You

Penilaian Film: The Accountant 2, Perubahan yang Kehilangan Arah

ACNT_2025_UT_240515_PAGWAR_16085RC.jpg
Dok. Warner Bros

GENRE: Action

ACTORS: Ben Affleck, Jon Bernthal, Cynthia Addai-Robinson

DIRECTOR: Gavin O’Connor

RELEASE DATE: 25 April 2025

RATING: 3/5

Ketika The Accountant pertama kali dirilis pada 2016, ia muncul sebagai kejutan tak terduga. Dengan memadukan konsep absurd, seorang akuntan autistik yang bekerja untuk kartel kriminal, dengan gaya thriller penuh gaya, film tersebut justru berhasil mencuri perhatian karena keunikannya. Film itu menyuguhkan perpaduan menarik antara drama karakter, misteri finansial, dan aksi yang kadang berlebihan tapi tetap menarik.

Namun, The Accountant 2 seolah tak percaya diri dengan formula tersebut. Sekuel ini menyingkirkan hampir seluruh elemen keuangan yang membentuk DNA film pertamanya. Tidak ada lagi teka-teki angka atau permainan logika finansial; yang tersisa hanyalah peluru beterbangan, ledakan, dan perjalanan penuh kekerasan melintasi perbatasan. Christian Wolff kini hanya menjadi karakter aksi generik, hampir seperti karikatur dirinya sendiri. Alur cerita yang seharusnya memberikan kedalaman justru menjadi serangkaian misi tanpa bobot emosional. Film ini seperti ingin menjadi John Wick, tapi kehilangan alasan mengapa penonton harus peduli.

1. Autisme Sebagai Senjata

ACNT_2025_UT_240402_PAGWAR_04547RC_Crop.jpg
Dok. Warner Bros

Satu aspek yang membuat The Accountant cukup menonjol adalah representasi neurodiversitas melalui karakter utamanya. Meski tak sempurna, film pertama berupaya menggambarkan bagaimana seorang individu di spektrum autisme bisa menjalani hidup dengan cara berbeda, dan tetap memiliki nilai. Sayangnya, sekuelnya malah mengambil arah yang berbahaya.

The Accountant 2 tak lagi berusaha mendalami karakter Christian sebagai pribadi, melainkan menjadikannya alat naratif untuk membenarkan kekerasan. Dalam film ini, kemampuan Christian yang dipengaruhi autisme ditampilkan sebagai keunggulan militer, bukan karakteristik manusia. Klinik neurologi dalam cerita bahkan digambarkan sebagai tempat pelatihan rahasia untuk menjadikan anak-anak dengan autisme sebagai supersoldier. Ini bukan hanya fiksi ilmiah yang sembrono, tapi juga menyebarkan pandangan reduktif dan menyakitkan tentang neurodiversitas.

Film ini menggambarkan seolah-olah individu autistik tidak bisa hidup “normal,” tapi bisa menjadi mesin pembunuh yang efisien. Pandangan seperti ini bukan hanya keliru, tapi juga berbahaya karena memperkuat stigma dan menghapus kompleksitas manusia dari para penyandang autisme.

2. Chemistry yang Terbuang

ACNT_2025_UT_240523_PAGWAR_16667RC.jpg
Dok. Warner Bros

Kehadiran Jon Bernthal sebagai Braxton Wolff, kakak Christian yang emosional dan suka kekerasan, semestinya menjadi pilar kuat dalam membangun dinamika film. Bersama Ben Affleck, mereka berdua berhasil menampilkan sedikit nuansa buddy comedy yang segar, dengan gaya “opposites attract” yang klasik. Beberapa momen seperti adegan dansa, sesi kencan kilat, atau obrolan santai mereka sempat menghadirkan tawa ringan di tengah cerita yang penuh kekacauan.

Namun sayangnya, chemistry ini tak diberi ruang untuk berkembang. Film terlalu sibuk melemparkan dua bersaudara ini dari satu misi ke misi lain tanpa arah yang jelas. Bahkan motivasi utama cerita, kematian karakter Raymond King yang diperankan J.K. Simmons, terasa seperti tempelan. Bukannya menjadi penggerak emosional, misteri kematiannya justru larut dalam aksi generik dan investigasi yang membingungkan. Alur cerita terasa seperti garis putus-putus yang dijahit asal-asalan. Padahal, potensi karakter-karakter ini sebenarnya cukup kuat untuk menciptakan narasi yang lebih bermakna.

3. Aksi Kosong di Dunia yang Sinis

ACNT_2025_UT_240417_PAGWAR_13039RC.jpg
Dok. Warner Bros

Ketika The Accountant 2 akhirnya bertransformasi menjadi film aksi penuh gaya, semua potensi yang tersisa seakan menguap. Penonton dibawa ke dunia fiksi yang sinis dan tanpa empati, di mana peluru dan drone menjadi alat utama untuk menyelesaikan konflik. Penjahat kali ini? Sindikat perdagangan manusia. Korban yang harus diselamatkan? Anak perempuan yang diduga juga berada di spektrum autisme. Tentu saja, ini menjadi alasan sempurna bagi Christian untuk membabi buta membasmi musuh tanpa banyak pertanyaan.

Sayangnya, semua ini terasa dangkal. Tidak ada urgensi emosional, tidak ada pesan moral yang kuat, dan yang pasti, tidak ada elemen unik yang bisa membuat penonton peduli. Film ini tampaknya hanya ingin menciptakan franchise aksi, tapi dengan mengorbankan seluruh fondasi karakter dan dunia yang dibangun film pertama. Penonton disuguhi adegan kejar-kejaran, baku tembak, dan ledakan, tapi semua itu terasa seperti tontonan kosong. Tanpa jiwa.

4. Kesimpulan

ACNT_2025_UT_240417_PAGWAR_13169RC.jpg
Dok. Warner Bros

The Accountant 2 adalah contoh klasik bagaimana sekuel bisa kehilangan arah saat mencoba menjadi sesuatu yang “lebih besar” tanpa memahami mengapa film pertamanya berhasil. Alih-alih memperdalam cerita dan karakter, film ini justru membuang semuanya untuk mengejar sensasi aksi. Representasi autisme yang semestinya bisa menjadi kekuatan utama, malah berubah menjadi bahan eksploitasi. Chemistry antarkarakter yang kuat pun tenggelam dalam plot yang berantakan. Ini adalah film yang lebih tertarik untuk membidik kepala daripada menyentuh hati. Neracanya jelas tak seimbang, dan sayangnya, defisitnya terlalu besar untuk bisa diperbaiki.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fahrul Razi
EditorFahrul Razi
Follow Us