Review Angel Sign: Lampaui Batasan Bahasa Lewat Antologi Film Bisu
6 film karya sineas Asia adaptasi Silent Manga Audition
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Indonesia boleh berbangga karena menjadi lokasi world premiere dari film Angel Sign. Film antologi ini pertama tayang di seluruh dunia pada ajang Japanese Film Festival 2019 di Jakarta tanggal 7 November 2019 lalu. Sementara itu, Jepang baru bakal menonton Angel Sign pada tanggal 15 November nanti.
Film yang diadaptasi dari manga pemenang kompetisi Silent Manga Audition ini terdiri dari 6 film bisu yang digarap para sineas berbakat asal Jepang, Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Seluruh film ini ditautkan oleh Tsukasa Hojo yang memulai debut sebagai sutradara film ini. Seperti apa film antologi Angel Sign yang tidak menampilkan dialog karakter ini?
1. Prologue/Epilogue (Tsukasa Hojo)
Tsukasa Hojo berlaku sebagai general director untuk keseluruhan film Angel Sign, serta sutradara untuk segmen spesifik Prologue dan Epilogue. Dalam segmen ini, dikisahkan bahwa seorang cellois bernama Aika (Nao Matsushita) baru saja kehilangan pasangan hidupnya, pianis Takaya (Dean Fujioka) yang meninggal dunia. Peninggalan Takaya kepada Aika adalah komposisi musik bernama Angel Sign.
Segmen prolog dan epilog ini mengeset tema dan pesan moral yang tersampaikan dalam seluruh segmen Angel Sign. Selain itu, segmen ini juga menjadi semacam plot device yang menghubungkan setiap segmen.
Meski demikian, segmen-segmen yang saling terhubung ini sebenarnya tidak menambah nilai dari segmen itu sendiri. Malahan, kemunculan kupu-kupu biru dan musik komposisi Angel Sign sebagai benang penghubung setiap segmen justru memukul rata penyelesaian konflik dari setiap segmen.
2. Beginning and Farewell (Ken Ochiai)
Segmen ini bercerita tentang seorang masinis kereta (Naoto Ogata) yang merasa sedih setelah ditinggal oleh istrinya (Momoko Kikuchi) yang menjalankan kafe di sebuah stasiun kereta. Anjing miliknya (Atom) mencoba menghibur sang masinis dengan mengajaknya mengenang kembali momen-momen bersama sang istri.
Beginning and Farewell berjalan dengan cukup straightforward dan menjadi contoh atau benchmark untuk segmen-segmen selanjutnya. Segmen dengan elemen drama yang kuat ini menampilkan seberapa besar dampak yang terjadi pada seseorang yang telah ditinggal oleh orang yang ia kasihi. Penampilan Naoto Ogata patut mendapatkan pujian karena mampu memancarkan emosi dari seorang masinis yang kesepian.
3. Sky Sky (Nonzee Nimibutr)
Seorang anak perempuan (Praewpun Parnyim) merasa sedih karena anjing peliharaannya meninggal dunia. Hal ini pun membuat sang ayah (Phiphob Kamolketsophon) dan ibu (Boonin Inlueng) sedih. Namun ayah punya ide, yaitu dengan membuat surat yang ditempel pada layangan karena jiwa sang anjing kini berada di atas awan.
Meskipun Angel Sign mengangkat tema tentang kehilangan, topik yang sangat identik dengan kematian, namun sutradara Nonzee Nimibutr mampu menjadikan Sky Sky film keluarga yang sangat hangat dan menggemaskan. Penokohan dari Praewpun Parnyim terasa sangat kekanakan, dengan segala keluguan dan kekhawatiran yang bagi orang dewasa sepele, namun sangat emosional dan signifikan bagi anak-anak seumurannya.
4. Thirty and a Half Minutes (Han Tran)
Malaikat maut datang ke sebuah rumah sakit untuk menjalankan tugasnya. Kali ini ia akan mencabut nyawa seorang ibu (Xuan Van) yang akan melahirkan. Di luar ruang operasi, sang ayah (Ngo Quang Tuan) menanti dengan cemas. Malaikat maut hendak mencabut nyawa, namun ia memutuskan untuk memberikan sang ibu sebuah kesempatan terakhir...
Thirty and a Half Minutes terasa unik karena menyisipkan elemen horor. Kemunculan malaikat maut dan momen dimana ia hendak mencabut nyawa bisa memberikan kengerian tersendiri. Namun segmen ini masih menyajikan sebuah kehangatan dan keharuan tersendiri dari chemistry antara sang ayah dan ibu. Thirty and a Half Minutes mengingatkan kita akan segala struggle yang dijalani seorang ibu ketika melahirkan, termasuk nyawa yang jadi taruhannya.
Baca Juga: Ada yang Nyanyi Lagu Jepang di Audisi Indonesian Idol, Ini Judulnya!
5. Father’s Gift (Masatsugu Asahi)
Seorang ayah (Jiro Sato) memberikan anaknya (Neennara Boonbithipaisit) hadiah robot untuk menggantikan peran ibu. Mereka menjalani hari-hari yang menyenangkan dan penuh cinta. Kini sang anak beranjak dewasa (Sayaka Sakai), dan ayahnya telah meninggal dunia. Ia mengenang kembali momen bersama ayah, dengan harapan bisa mendapatkan kembali semangat hidupnya.
Satu lagi film bertema keluarga dalam Angel Sign. Berbeda dengan Sky Sky, Father's Gift menampilkan realita bahwa hubungan ayah-anak tidak akan selamanya berjalan mulus karena akan ada konflik yang berkecamuk. Tidak ada yang benar dan salah dari keduanya, justru keduanya harus belajar untuk saling memahami satu sama lain untuk mencari jalan terbaik. Jiro Sato yang bermain dalam beberapa dorama komedi sangat cocok memerankan karakter ayah di segmen ini.
6. Back Home (Kamila Andini)
Seorang ayah (Teuku Rifnu Wikana) melarikan diri dari hutan dan mencoba untuk bertemu kembali dengan anaknya yang kini sudah dewasa (Mikako Yoshida). Saat bertemu dengan anaknya, sang ayah menyadari bahwa situasi sang anak dan dirinya sudah sangat berbeda. Ia kembali mengingat perjalanan hidupnya, mulai dari saat bertani dengan anaknya yang masih kecil (Abigail), hingga ke titik dimana ia dipanggil bertugas oleh kelompok ABRI.
Dari seluruh segmen dalam Angel Sign, Back Home benar-benar mendorong batasan dari aturan dan guideline yang dibentuk oleh Angel Sign sendiri. Pertama, Back Home jadi satu-satunya film yang menampilkan suara mulut tokohnya (meskipun hanya berupa tawa dan gumaman). Back Home juga bersetting di latar waktu dan tempat yang cukup spesifik, yang diduga adalah Yogyakarta zaman Orde Baru. Tak hanya dibawakan secara surreal dan penuh suspense, Back Home juga memiliki pesan politis yang cukup kuat; kontras dengan segmen-segmen lain dalam Angel Sign.
7. Kesimpulan
Jika dinilai berdasarkan segmennya, film-film dalam Angel Sign memiliki kualitas yang oke dan mampu berdiri sendiri. Semuanya menampilkan cerita self-contained dengan pesan dan nuansa yang sangat spesifik untuk film itu sendiri. Yang hebatnya, hal itu berhasil dicapai tanpa dialog sama sekali! Sisipan muatan lokal seperti dalam film Sky Sky dan Back Home pun menambah nilai plus dari film tersebut. Jika bukan karena Sky Sky, saya bahkan nggak tahu kalau Thailand juga punya alat musik mirip angklung.
Meski demikian, jika film-film tersebut dinilai sebagai satu kesatuan, sayangnya semuanya tidak memiliki alasan kuat untuk dibuat berkesinambungan. Kemunculan kupu-kupu biru dan musik komposisi Angel Sign justru membuat penyelesaian konflik terasa "deus ex machina;" konflik selesai karena campur tangan pembuat film, bukan dorongan dari tokoh-tokohnya. Ada karakter sedih? Musik tema Angel Sign mengalun dan konflik pun selesai.
Tsukasa Hojo yang merupakan mangaka City Hunter telah menjalani debut sutradaranya dengan baik, namun ia juga masih harus banyak belajar cara mengemas lima film tersebut ke dalam satu kesatuan yang utuh. Sekali lagi, film-film dalam Angel Sign sudah cukup baik secara stand alone, namun jika dinilai sebagai satu kesatuan justru kamu akan lebih banyak bertanya-tanya.
Meskipun Angel Sign sudah selesai diputar di Jakarta, kamu masih berkesempatan menonton filmnya di kota-kota lain seperti di Yogyakarta (19-23 November), Makassar (29 November - 1 Desember), Surabaya (6-8 Desember), dan Bandung (20-22 Desember). Setelah nonton Angel Sign, jangan lupa nonton film-film keren lain di Japanese Film Festival 2019 ya!
Baca Juga: Review City Hunter: Shinjuku Private Eyes - Anime Action Nostalgia!