Review Sicario Day of the Soldado: Makin Banyak Tahu, Makin Tidak Seru
Berkisah tentang intrik dan konspirasi di balik perang melawan kartel Meksiko, Sicario: Day of Soldado ini kejam dan brutal. Ratingnya bahkan 17+. Namun, ada yang membuat ia masih kurang menegangkan dibanding pendahulunya.
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Sebelum memulai review Sicario: Day of the Soldado ini, izinkan saya memperkenalkan sejumlah bapak-bapak. Day of the Soldado ini ialah sekuel dari film Sicario arahan Denis Villeneuve (Prisoners, Arrival, Blade Runner 2049).
Namun, Day of the Soldado bukan proyek Villeneuve lagi, melainkan Stefano Sollima (Suburra). Selain kehilangan Villeneuve, film yang sedang tayang di bioskop ini juga kehilangan master sinematografi Roger Deakins dan komposer musik Jóhann Jóhannsson (almarhum sejak 9 Februari lalu karena overdosis kokain).
Masing-masing dari mereka meninggalkan kreasi yang berkesan dalam Sicario pertama dan sulit dicapai oleh pengganti mereka di Day of the Soldado. Lewat Deakins dan Jóhannsson, Sicario berhasil masuk nominasi Oscar masing-masing untuk sinematografi dan musik.
Pencapaian itu dengan susah payah dilanjutkan oleh Sollima, sinematografer Dariusz Wolski (Pirates of the Caribbean), dan komposer Hildur Guðnadóttir.
Sollima tidak sebaik Villeneuve dalam hal penempatan posisi aktor, gambar-gambar yang dihasilkan Wolski tak seberkesan Deakins, dan musik yang digubah Guðnadóttir masih belum bisa menghantui seperti halnya scoring Jóhannsson.
Namun, ada satu tokoh kunci yang justru membawa Sicario sukses besar sejak dirilis 2015 lalu, dan kini masih menulis untuk Day of the Soldado. Ia adalah Taylor Sheridan, penulis naskah yang sedang naik daun di Hollywood. Karya-karyanya antar lain Hell or High Water (2016) dan Wind River (2017).
Bagaimana Sheridan, si penulis naskah paling panas di Hollywood ini, menjaga kualitas yang sudah tercipta di Sicario pertama? Simak review Sicario: Day of the Soldado ini:
Sinopsis
Meski menjadi sekuel, cerita yang dibangun Sheridan dalam Day of the Soldado ini berhasil untuk berdiri sendiri. Artinya, kamu tidak perlu nonton Sicario pertama demi bisa menikmati yang kedua.
Meskipun begitu, kamu barangkali akan lebih mudah untuk dekat dengan Matt Graver (Josh Brolin) dan Alejandro (Benicio del Toro) karena di film pertama, mereka juga karakter kunci.
Masih sama dengan film pertama, film ini masih membawa tema dan cerita tentang kartel di Meksiko. Di Amerika Tengah dan Latin, kartel ini tak ubahnya mafia. Mereka memonopoli berbagai produk demi keuntungannya sendiri.
Kartel Medellín pimpinan Pablo Escobar adalah salah satu kartel paling sukses dan paling terkenal dari Kolombia. Umumnya, mereka berbisnis kokain. Namun dalam Day of the Soldado ini, kartel di Meksiko mengganti bisnis mereka dengan bisnis penyeludupan manusia, dari Meksiko menembus perbatasan Amerika Serikat.
Adegan pembuka film menunjukkan hal ini. Sekelompok imigran menembus gurun tandus di perbatasan negara bagian Texas. Tidak butuh lama sebelum polisi mengepung mereka dengan helikopter. Namun hal yang tidak diduga terjadi: seorang imigran meledakkan dirinya dengan bom.
Rentetan bom kemudian menyusul di sejumlah tempat di Amerika. Jajaran militer menelusuri aksi terorisme ini dan mendapati ada hubungan antara ISIS dengan kartel Meksiko.
Matt Graver, seorang agen CIA ditunjuk untuk melemahkan kartel dengan cara mengadu-domba. Graver melakukan hal tersebut dengan menculik Isabel Reyes (Isabela Moner), anak perempuan bos kartel Reyes. Ia membawa rekan lamanya, Alejandro, mantan jaksa yang berubah jadi mesin pembunuh untuk membantu misinya.
Day of the Soldado kehilangan satu sosok krusial dalam ceritanya. Apa itu? Cari tahu selengkapnya dalam review Sicario: Day of the Soldado di halaman sebelah.
Ada yang Hilang dari Day of the Soldado
Film tentang kriminalitas selalu punya potensi yang menarik, apalagi ia berusaha mengupas hal-hal yang tak kita ketahui sebelumnya.
Sejak film pertama, Sicario (Sicario adalah bahasa Spanyol untuk pembunuh bayaran) ingin mengeksplorasi aksi dan intrik di balik organisasi kriminal yang terorganisir macam kartel ini. Cerita-cerita kekejaman kartel adalah bahan dasar, yang kemudian diolah oleh Sheridan menjadi cerita fiksi menegangkan.
Ia mengingatkan kita pada kejahatan yang terjadi di gang-gang sempit, tentang nyawa yang murah, hingga tentang konspirasi yang menyangkut penjahat dan penegak hukum.
Berbicara tentang hubungan penjahat dan penegak hukum, Day of the Soldado amat kehilangan sosok Kate Macer (yang diperankan Emily Blunt) dari Sicario pertama. Macer adalah wanita polisi idealis, naif, dan ingin selalu mengikuti prosedur.
Kate Macer (Emily Blunt).[/caption]
Macer menjadi semacam moral compass bagi tokoh utama lain macam Graver dan Alejandro yang cenderung culas dan pragmatis. Macer punya prinsip bahwa jika ia mengikuti peraturan, segala kejahatan akan dapat ia tumpas.
Namun pada akhirnya ia menyadari kenyataan di lapangan ternyata tak sepolos yang ia duga. Perjalanan Macer dari yang awalnya naif menjadi putus asa inilah yang menjadi poin paling penting dari Sicario pertama.
Poin itu menegaskan bahwa Sicario bukanlah film aksi generik di mana kebaikan akan menang melawan kejahatan. Mereka yang pintar, meski ditempuh dengan cara paling culas dan bengis sekalipun, akan menang dalam dunia yang korup ini.
Selain itu, kehilangan Macer juga berpengaruh secara perspektif.
Baik Sicario pertama maupun Day of the Soldado sama-sama menggunakan sudut pandang orang ketiga. Namun, Sicario pertama cenderung dan lebih banyak menggunakan perspektif Macer. Sementara Day of the Soldado mengambil perspektif Matt Graver dan Alejandro.
Perbedaannya bisa dianalogikan seperti ini: jika kita tersesat di hutan belantara, akan lebih mudah jika memanjat pohon paling tinggi. Dari sana, kita bisa mengatur navigasi. Hal sebaliknya terjadi jika kita terjebak di bawah, apalagi banyak predator yang mengintai.
Perspektif Matt Graver dan Alejandro itu umpamanya pohon paling tinggi. Graver adalah komandan dan Alejandro adalah lone wolf yang tahu apa yang ia lakukan. Mereka tahu segalanya sehingga kita pun juga ikut tahu.
Sementara itu, perspektif Macer membuat kita seperti meraba-raba di antara kegelapan, alias kita tidak punya kontrol atas apa yang akan terjadi.
Itulah mengapa Day of the Soldado ini justru jadi kurang menegangkan (meski tetap menegangkan) daripada pendahulunya. Ia benar-benar kehilangan sosok Macer.
Adegan aksi dalam film ini memang lebih banyak dari prekuelnya, namun materi ceritanya kurang sehingga masih kalah brutal dan kalah dramatis. Simak selengkapnya dalam review Sicario: Day of the Soldado di halaman sebelah.
Banyak Aksi, Kurang Brutal
Bagian review Sicario: Day of the Soldado ini memuat spoiler.
Dalam adegan pembuka Sicario pertama, kita diajak menemani Macer dan pasukannya menggerebek rumah. Awalnya mereka kira itu kasus penculikan biasa, namun mereka shock ketika menemukan ada apa di balik tembok: puluhan mayat berbau busuk dijejerkan berdiri.
Day of the Soldado tidak memiliki momen-momen brutal bin menjijikkan seperti ini. Okelah, ia punya adegan darah muncrat bagai botol saos yang terpencet.
Namun, darah dan mayat ini sebenarnya hanya riasan bagi Sicario pertama. Yang membuatnya tidak nyaman adalah kesimpulan yang mau dicapai, yakni sebuah pesan gelap bahwa nyawa akan selalu murah bagi mereka yang terlibat kartel.
Selain itu, kisah Macer juga menunjukkan sikap pesimis Sicario pertama dalam penegakan hukum: kemanusiaan itu nomor sekian, keculasan itu yang nomor satu.
Day of the Soldado mengambil jalur yang sedikit berbeda. Ia memang sadar kekerasan itu akan terus berlanjut bagi warga Meksiko (dan negara-negara Amerika Tengah serta Latin lainnya), namun kita melihat ada optimisme dari pergeseran karakter Graver dan Alejandro.
Saat misi mereka menculik Isabel kacau, pemerintah Amerika ingin Graver menutup jejak dengan memusnahkan Isabel sekaligus Alejandro.
Alejandro sendiri, yang menemani Isabel menembus perbatasan setelah terpisah dari rombongan Graver, terguncang kalbunya. Ia diperintahkan untuk melenyapkan Isabel, namun Isabel mengingatkannya pada putrinya yang telah tiada.
Lewat kontemplasinya di depan rumah tempat ia mampir di tengah gurun, ia memantapkan keputusannya. Tidak ada drama, tidak ada kegalauan; hanya ada Alejandro dan senja.
Ia mendapat sebuah pencerahan, yakni jika ia membunuh Isabel, ia tak ada bedanya dengan bos-bos kartel yang bengis. Sheridan dengan mantap menulis kisah Alejandro ini sehingga masuk akal.
Namun perlakuan berbeda dialami karakter Matt Graver. Ia diceritakan berhasil mengejar Isabel. Hanya lewat beberapa detik momen lamunan, Graver membatalkan keputusannya menghabisi Isabel.
Bukannya saya ingin dia membunuh bocah 16 tahun, tapi keputusan yang jadi turning point film ini itu jauh dari karakter Graver yang keras kepala. Sheridan sepertinya perlu untuk melembutkan Graver agar pergeseran ini tak terjadi tiba-tiba.
Soal brutal dan kurang brutal atau pesimis ataupun optimis ini sebenarnya pilihan artistik saja. Day of the Soldado memang kurang keji, namun perubahan cerita di akhir film justru membuka lebih banyak cerita, tidak seperti Sicario pertama yang secara kejam menutup kelanjutan kisah Macer.
Lewat pilihan tersebut, Day of the Soldado membuka diri terhadap sekuel dan barangkali sekuel tersebut akan jauh lebih baik.
Demikian review Sicario: Day of the Soldado ini. Kamu sudah nonton? Bagaimana menurutmu?
Mau dapat PS4 dan Nintendo Switch GRATIS? Kunjungi BEKRAF Game Prime 2018, event industri game terbesar se-Indonesia pada tanggal 13-15 Juli 2018 di Balai Kartini, Jakarta! Kunjungi bit.ly/bgp2018 untuk mendaftarkan dirimu GRATIS!
Diedit oleh Doni Jaelani