Review Keluarga Tak Kasat Mata: Film Bioskop yang Lebih Mirip Tugas Sekolah
"Selamat datang di Salty Spitoon. Seberapa tangguh Anda?" "Seperapa tangguh saya? Saya nonton Keluarga Tak Kasat Mata..." "Ya, terus?" "Sampai habis!" "O-oke, lewat sini pak."
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Menonton Keluarga Tak Kasat Mata seperti menonton kekacauan yang, celakanya, membosankan sekali. Adalah prestasi jika kamu kuat menontonnya sampai akhir.
Saya sempat kepikiran, entah apa yang ada di pikiran produser sehingga mau membawa film ini untuk dipamerkan di muka publik. Tapi, pikiran tersebut seakan-akan terkonfirmasi dengan sendirinya ketika melihat jejak rekam produser: Suster Keramas (2009), Setan Budeg (2009), hingga Menculik Miyabi (2010).
[duniaku_baca_juga]
Sebagai showrunner, kekacauan ini bisa saja mentah-mentah dialamatkan kepada si produser. Tetapi, orang-orang di departemen kreatif juga sama-sama tidak kompeten dalam membikin film horor. Tak perlu jauh-jauh film horror, membikin film yang bisa dinikmati publik saja tidak bisa.
Sinopsis
Pengalaman ini diceritakan Genta (Deva Mahenra) sambil mengetik di laptopnya. Ia bersama rekan-rekannya pernah mengalami hal-hal mistis saat bekerja di kantor baru di Yogyakarta.
Rekan-rekannya ada Bebek (Kemal Palevi), Yoga (Miller Khan), Rudi (Ganindra Bimo), Andrea (Wizzy Williana), dan bos mereka, Marwan (Gary Iskak). Mereka menemukan kisah misterius di balik berhantunya kantor tersebut.
Kekacauan yang Membosankan
Premis yang diangkat Keluarga Tak Kasat Mata sederhana saja: pegawai kantoran yang dihantui oleh keluarga hantu. Namun alih-alih membuat kuduk berdiri seperti membaca ceritanya saat masih di forum Kaskus, versi filmnya ini sangat kacau dan nyaris tidak ada yang bisa dinikmati sehingga membosankan sekali.
Yang membuat Keluarga Tak Kasat Mata versi Kaskus seram adalah ceritanya diangkat dari kisah nyata. Versi film ini juga kisah nyata, tapi sutradara Hedy Suryawan dan para penulis naskah Lele Laila, Evelyn Afrilia, dan bahkan Bonaventura Genta sendiri tak mampu membawa penonton merasakan sisi nyata tersebut.
Selain itu, cerita versi Kaskus adalah cerita yang bisa relatable dengan kehidupan banyak orang, terutama yang bekerja kantoran. Kisah-kisah yang diceritakan bisa saja terjadi ketika kita sedang lembur dan mendengar cekikikan kuntilanak, misalnya.
Keluarga Tak Kasat Mata terlihat seperti membatasi dirinya sendiri dalam bercerita. Dalam versi Kaskus, Genta sendiri terlihat segan menceritakan sosok bos hantu. Barangkali ia memang sekuat itu dalam memengaruhi hidup Genta di dunia nyata. Namun dalam versi film ini, tak diceritakan siapa sosok hitam dengan guratan api tersebut.
Yang paling menyebalkan tentu saja jumpscare-nya. Saya tidak tahu apakah sutradara paham bagaimana cara jumpscare bekerja. Jelasnya, Anda tidak bisa hanya sekadar memenuhi layar bioskop dengan wajah seram dan musik-musik berisik supaya orang takut.
Jumpscare pertama contohnya. Genta difilmkan sedang memeriksa gudang di bawah kantor. Sembari musik berisiknya berpacu, saya pikir hantunya akan muncul dari balik pintu gudang atau setidaknya dari belakang punggung Genta. Tetapi, ia malah muncul dari bawah layar, tiba-tiba saja entah dari mana. Saya tidak tahu si hantu ingin mengagetkan Genta atau mengagetkan penonton.
Reaksi saya langsung:
Pengadeganan yang bodoh dan naskah yang setengah jadi ini kemudian diperparah oleh editingnya. Setelah adegan jumpscare Genta di atas, tiba-tiba saja film bergerak ke adegan lain yang sama sekali tak melanjutkan kontinuitas kisah Genta tadi.
Film malah bergerak ke keseharian kantoran dipadukan soundtrack yang suaranya juga dipotong dengan sangat tidak rapi. Hampir semua cerita menjadi tidak padu dan padan gara-gara editor seperti hanya asal saja mencampurkan potongan video.
[read_more id="352782"]
Tidak hanya editor saja yang tidak tahu apa yang ia lakukan, penata gambar juga. Seringkali kamera malah bergerak ke kanan dan ke kiri tanpa tahu maksud dan tujuannya apa. Beberapa kali ia juga tidak tahu harus menge-shoot apa sehingga hanya menangkap gambar muka pemain yang juga tidak tahu lagi ngapain.
Nyaris tidak ada yang bisa dinikmati dari pengalaman menonton Keluarga Tak Kasat Mata selama 77 menit ini. Film ini seperti tugas sekelompok siswa sekolahan amatir yang diberi uang untuk mengangkat kisah populer dari Kaskus itu ke layar lebar. Paling hanya Deva Mahenra yang tampak berusaha untuk menjiwai perannya, namun seakan terbatas arahan sutradara.
Saking buruknya, ia sampai membosankan dan saking membosankannya, mau ditertawakan pun tidak ada yang bisa ditertawakan.
Jika Pengabdi Setan dan 4,2 juta penontonnya berhasil mengangkat marwah dan standar film horor Indonesia, Keluarga Tak Kasat Mata menurunkannya sampai ke dasar, sembari melukai kepercayaan penonton Indonesia yang sedang mulai berharap.
Diedit oleh Doni Jaelani