Review Wind River: Drama dan Ketegangan Yang Berimbang
Drama dan ketegangan disajikan dengan sangat berimbang di film thriller Wind River yang ditulis sekaligus disutradarai oleh Taylor Sheridan ini. #film
Sumber: The Mad Movie Man[/caption]
Wind River adalah sebuah drama pembunuhan yang mencekam namun sarat dengan pesan moral dan kritik sosial yang dibintangi oleh dua aktor veteran The Avengers. Simak ulasannya di sini!
[read_more id="330245"]
Sebelum Wind River (2017), aktor merangkap sutradara dan penulis naskah Taylor Sheridan melakukan gebrakannya di industri perfilman sebagai penulis melalui debutnya di film Sicario (2015) besutan Dennis Villeneuve yang dipuji banyak kalangan. Ia akhirnya mendapatkan perhatian para juri Oscar dengan Hell or High Water (2016) yang disutradarai oleh David Mackenzie.
Di sini Sheridan sekali lagi menasbihkan dirinya sebagai penulis naskah spesialis crime thriller yang berbakat. Untuk kali ini, ia juga yang mengambil alih kursi sutradara untuk mengarahkan Jeremy Renner dan Elizabeth Olsen di kisah yang menegangkan ini.
[duniaku_baca_juga]
Sinopsis
[youtube_embed id="zN9PDOoLAfg"]
Cory Lambert (Jeremy Renner) adalah seorang pria berkeluarga yang ditugaskan di daerah penampungan suku pribumi Indian di Wind River, Wyoming. Dia bertugas sebagai seorang pemburu hewan predator untuk menjaga hewan-hewan ternak milik warga setempat.
Suatu hari, ketika ia tengah berburu, ia menemukan sesosok perempuan tergeletak tak bernyawa di tengah-tengah gurun es yang jauh dari peradaban. Ia kemudian mengenali sosok itu sebagai Natalie; putri dari koleganya.
Dengan bekas-bekas luka yang misterius dan posisi penemuan mayat yang menimbulkan banyak pertanyaan, agen FBI Jane Banner (Elizabeth Olsen) dipanggil untuk membantu polisi setempat dalam menyelidiki kasus pembunuhan ini. Tak dinyana, kasus ini kemudian akan menguak sebuah rahasia busuk dan luka lama dari orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Drama dan Ketegangan Yang Berimbang
Sumber: Variety[/caption]
Dari detik awal film dimulai, Wind River langsung menyajikan sebuah adegan pembuka misterius di mana seorang gadis yang terluka parah berlari-lari di padang es yang tak berujung diiringi dengan narasi berupa puisi yang isinya secara ironis bertolak belakang dengan apa yang ditampilkan di layar. Atmosfer mencekam dan misterius ini terjaga dengan baik di sepanjang film.
Syukurnya, Wind River tidak pernah jatuh pada drama prosedural kepolisian yang generik dengan menyempatkan waktu untuk memperkenalkan latar para karakter dan motivasi mereka untuk ikut dalam investigasi pembunuhan misterius ini. Penonton jadi bisa mudah bersimpati pada mereka ketika malapetaka mulai terjadi.
Sheridan tahu sekali cara membangun tensi melalui set pieces yang diarahkan dengan sangat baik. Bahkan sekedar adegan todong-todongan senjata api di sini bisa membuat penonton gigit-gigit jari, sehingga ketika aksi baku tembak terjadi ketegangan terasa amat tinggi. Dibantu dengan sound design yang jempolan, dijamin penonton akan melompat tiap kali mendengar bunyi tembakan senjata api.
Namun Wind River tidak lupa untuk memberi penonton ruang untuk bernafas dengan menyelipkan adegan-adegan yang sunyi dan dialog yang bermakna, yang jelas memperkuat karakterisasi para tokoh dan membuat dunia di Wind River terasa lebih hidup.
Kedewasaan Sheridan dalam menulis naskah Wind River juga terlihat sekali, karena dengan misteri dan karakter-karakter yang menarik, ia memiliki cukup bahan untuk mengembangkan sebuah cerita yang menegangkan dan menyayat hati penonton tanpa harus mengandalkan plot twist yang berlebihan.
Salah satu aspek terpenting di Wind River adalah musik latar gubahan musisi rock ternama Nick Cave dan Warren Ellis. Mereka menggabungkan bunyi-bunyian yang mencekam dan sendu dengan persajakan, jangan heran misal di tengah adegan kejar-kejaran Andamendengar suara Cave membaca secarik puisi. Memang sinting, tapi cocok bila ditelaah lagi melalui konteks filmnya.
Kritik Sosial di Sela-sela Ketegangan
Sumber: IMDB[/caption]
Salah satu aspek yang tak terduga namun menarik di Wind River adalah pembahasan mengenai kesenjangan sosial antara kaum "bule"/kaukasia dan suku pribumi Indian yang menempati daerah yang menjadi setting utama di film ini, seperti perlakuan yang tidak adil kepada kaum pribumi yang cenderung diasingkan oleh pemerintah setempat.
Karakter Cory adalah penengah antara dua kaum ini sebagai pria kulit putih yang menikah dan tingal bersama orang pribumi, yang mana ia seringkali mengalami dilema dalam pengambilan keputusan dan moralnya, digambarkan dengan baik berkat akting apik dari Jeremy Renner.
Sedangkan Elizabeth Olsen berperan meyakinkan sebagai Jane yang pertama kalinya "keluar kandang" ketika ia harus berhadapan dengan alam di Wyoming yang buas serta kondisi sosial para penduduk pribumi yang memprihatinkan dan jauh dari hingar bingar hidup di kota besar yang biasa ia lalui, memberikan ruang untuk perkembangan karakter yang luas dan memuaskan.