Review Film Mortal Engines, Distopia Kota Bergerak dan Pertempuran Kota Predator
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Nama Peter Jackson belum muncul lagi sejak trilogi The Hobbit selesai dibuat di 2014 silam. Pada tahun 2018 ini Peter Jackson kembali terlibat dalam pembuatan film Mortal Engines yang diangkat dari kuartet novel karangan Philip Reeve. Novel tersebut bercerita mengenai dunia post apocalyptic yang diisi dengan kota-kota bergerak yang bisa berpindah dari satu titik ke titik lainnya.
Walaupun terlibat, Peter Jackson hanya mengisi bangku produser dan penulis naskah, sedangkan bangku sutradara diisi oleh Christian River. Mungkin kamu tidak mengenal siapa itu Christian River, tapi sejatinya beliau banyak terlibat dalam proyek-proyek film buatan Peter Jackson, mulai dari The Lord of the Rings hingga The Hobbit.
Dunia Setelah Perang 60 Menit
Sejak terjadinya perang 60 menit, manusia mengalami perubahan cara hidup. Kini kota-kota yang masih bisa diselamatkan dibuat bergerak di atas roda tank atau melayang dengan balon di udara. Semua ini terjadi karena perang tersebut membuat tanah beracun dan tidak bisa ditinggali manusia selama ratusan tahun.
Didukung dengan teknologi masa lalu, kota-kota bergerak ini akan saling memangsa kota lain yang lebih kecil untuk mendapatkan bahan bakar ataupun sumber daya yang dimiliki kota tersebut.
Tersebutlah Thaddeus Valentine (Hugo Weaving), seorang arkeolog yang memiliki posisi penting di kota London. Dalam sebuah perburuan kota kecil, Thaddeus berhasil memangsa sebuah kota tambang kecil yang dihuni oleh para penambang yang memiliki banyak garam dan teknologi masa lalu.
Ternyata dalam kota tersebut sudah menanti sosok misterius yang bernama Hester Shaw (Hera Hilmar). Wanita yang melindungi wajahnya dengan Masker ini berusaha menyerang Thaddeus dengan pisau yang dia sembunyikan.
Tom Natsworthy (Robert Sheehan) yang melihat perbuatan tersebut, langsung mengejar Hester hingga ke mesin penghancur kota. Di ujung pelariannya, Hester ternyata berhadapan dengan lobang pembuangan kota. Saat berusaha melompat, Tom ternyata berhasil menangkap tangan Hester. Saat melepaskan diri, Hester berkata kalau dia harus bertanya pada Thaddeus tentang nasib orang-orang yang menentang dirinya.
Saat mendengar ucapan Hester dari Tom,Thaddeus langsung tanpa ragu mendorong Tom ke saluran pembuangan dan bercerita ke semua orang kalau hal tersebut adalah sebuah insiden pengejaran.
Kota Predator dan Segala Kritiknya
Seperti film bertema post-apocalyptic lainnya, Mortal Engines memiliki sebuah penggambaran kota masa depan yang penuh fantasi. Kota-kota yang selalu bergerak ini selalu menghadirkan kekhawatiran bagi penduduknya akan bahaya kota pemangsa yang lebih besar. Di mana yang lemah akan dimangsa yang kuat, sementara yang kuat akan semakin berkuasa dan tidak terkendali.
Tak hanya itu, kota London di Mortal Engines juga menggambarkan bagaimana sebuah negara adidaya terjebak di masa lalu dan hanya mementingkan kekuasaan untuk terus bertambah besar. Hasilnya, kota ini menjadi haus akan sumber daya dan tidak memikirkan eksistensi kota lainnya yang lebih kecil.
Gambaran kritik ini masih diimbuhi dengan keberadaan kota yang menetap di timur, di mana kota tersebut sangat makmur dan seimbang. Sayang, keseimbangan tersebut membuat sang kota predator ingin menyerangnya dengan segala upaya agar bisa mengeruk semua sumber daya yang dimilikinya.
Secara garis besar, kami merasakan kritik terhadap hubungan antara negara di dunia, baik di masa lalu maupun masa kini. Di mana negara-negara timur semakin maju, sementara negara barat tetap dengan keangkuhannya berusaha menguasai negara lainnya dengan berbagai cara.
Kisah Mortal Engines
Mortal Engines merupakan kuratet novel buah karya Christian River yang memiliki cerita terputus-putus di setiap bukunya. Cerita yang terpotong-potong ini akan sangat berguna ketika Peter Jackson memutuskan untuk membuat lagi sekuelnya atau tidak. Sebab, walaupun diputus begitu saja Mortal Engines akan tetap menampilkan babakan-babakan penting si karakter utama dengan baik.
Masih ada sedikit perbedaan di sana-sini dengan versi novelnya, tetapi semua perbedaan tersebut lagi-lagi ditempuh karena faktor durasi dan perbedaan format media yang digunakan. Untunglah perbedaan tersebut tidak mengacaukan alur cerita dan twist yang ada di Mortal Engines.
Kritik paling besar kami datang pada bagian penulisan cerita dan kualitas akting para pemeran Mortal Engines. Entah mengapa Hera Hilmar dan Robert Sheehan tidak mampu menunjukkan kelasnya sebagai karakter utama. Sementara itu Jihae yang berperan sebagai Anna Fang tidak mendapatkan porsi yang cukup untuk mengembangkan karakternya yang penuh dengan potensi.
Kharisma yang paling besar justru datang dari Hugo Weaving yang memang kerap memerankan karakter antagonis di film-film besar seperti di trilogiThe Matrix atau Captain America: The First Avenger. Di tangan Hugo, kami bisa merasakan kebengisan Thaddeus Valentine, hanya dalam satu adegan penting.
ami curiga kalau masalah di atas timbul karena penulisan dialog yang kurang rapi atau dibuat pendek agar menghemat durasi. Pasalnya kami kerap menemukan beberapa bagian yang terasa melompat-lompat untuk urusan dialog antar karakter. Terutama pada karakter Shrike (Stephen Lang) yang tiba-tiba langsung melompat masuk begitu saja ke dalam hubungan Hester dan Tom yang hadir tanpa chemistry.
Kesimpulan Akhir
Film yang sangat kental dengan aksen British ini memiliki tampilan visual yang menawan, khas Peter Jackson. Sayangnya tampilan visual tersebut tidak diimbangi dengan kualitas penulisan yang baik. Hasilnya, film ini jadi pincang dalam urusan perkembangan karakter dan chemistry antar pemainnya. Agak sayang untuk film yang kemungkinan besar akan memiliki sekuel di masa depan.
Karena kelemahan tersebut kami hanya bisa memberikan Mortal Engines nilai 2,5 bintang dari 5 bintang.
[embed]https://www.youtube.com/watch?v=IRsFc2gguEg[/embed]