Penutupan Pekan Sinema Jepang 2018! Review: The Man From The Sea
Jelas, film penutupnya juga ramai didatangi pengunjung, lho! #PSJ18 #PekanSinemaJepang2018 #TheManFromTheSea
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Festival film Pekan Sinema Jepang 2018 sudah mengakhiri rangkaian penayangan filmnya yang sukses berjalan dari tanggal 7 Desember 2018 - 16 Desember 2018 di CGV Grand Indonesia, Jakarta! Di tanggal 16 Desember 2018 ini, Pekan Sinema Jepang 2018 menayangkan film penutupnya, The Man From the Sea (Laut) atau Umi wo Kakeru!
Jelas, festival yang merupakan rangkaian perayaan 60 tahun kerjasama Indonesia- Jepang ini ramai banget dari awal hingga akhir dengan 36 film yang ditayangkannya! Dan dalam penayangan The Man From the Sea, festival ini juga mendatangkan sutradara dan aktor yang mengerjakan film tersebut, Koji Fukada dan Dean Fujioka!
Film ini juga merupakan satu lagi kerjasama antara Nikkatsu bersama rumah produksi film Indonesia dan Perancis, Kaninga Pictures dan Comme des Cinemas! Lantas, bagaimanakah impresi kita terhadap film tersebut? Simak selengkapnya di bawah ini!
Sinopsis:
Seorang pria Jepang terdampar di sebuah pantai di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pasca tsunami yang melanda daerah tersebut. Tidak diketahui dari mana lelaki itu berasal, ketika ia ditemukan oleh Takako, ibu dari sebuah keluarga warganegara Jepang yang hidup di sana dalam rangka misi bantuan bencana alam Tsunami.
Lelaki yang seolah kehilangan ingatan tersebut pun dinamai "Laut" (Dean Fujioka) oleh Takako (Mayu Tsuruta) dan keluarganya. Lewat pertemuannya dengan Ilma (Sekar Sari) dan Kris (Adipati Dolken), Laut pun diketahui mampu berbahasa Indonesia. Akan tetapi mengapa Laut mampu menyembuhkan anak yang sakit? Memulihkan orang buta? Apakah Laut sungguh-sungguh hilang ingatan? Siapa sebenarnya Laut?
Review:
Dengan akting yang meyakinkan dari Dean Fujioka dan Sekar Sari pun nuansa film tersebut masih sangat dibatasi dengan bahasa yang kaku.
Sinematografi dari Akiko Ashizawa mengedepankan nuansa yang halus dan sendu dari pengambilan gambarnya terhadap hamparan pantai Banda Aceh hingga Sabang.
Penata artistik film ini, Dita Gambiro pun seolah memilih untuk menunjukkan keindahan Aceh secara terpisah, sehingga keberadaan film dan plotnya seolah diabaikan begitu saja.
Meskipun demikian, keinginan sang sutradara Koji Fukada untuk menciptakan sosok mistis dalam tokoh Laut ini wajar untuk dipertimbangkan dan dimengerti dalam adegan-adegan yang dia sampaikan di film ini.
Ada banyak sekali subplot tidak terjelaskan tentang ayah Ilma yang merupakan mantan anggota GAM, dan pula motivasi utama Laut yang seolah lupa dipikirkan daripada sengaja dibuyarkan demi kemisteriusan sang penyelamat.
Karena banyaknya momen-momen yang bolong ini kentara mengurangi pengalaman menonton, wajar rasanya kalau sebagian dari kamu justru kebosanan karena fokus film ini yang gampang sekali hilang. Jadi, jelas kalau ada saja momen di mana kamu seharusnya menganggap film ini sebagai karya serius, tahu-tahu tertawa sejenak.
Ketika kita berbicara soal masalah bahasa, masalahnya tidak hanya pada momen-momen sepele saja, tapi justru di bagian-bagian menyentuh di dalam film tersebut! Dengan sinematografi yang tepat ingin menyampaikan pesannya, sungguh sayang sekali rasanya kalo bagian-bagian itu justru penuh dialog yang malah tidak sengaja mengundang tawa.
Film ini tidak sempurna, tentunya, tapi ketidaksempurnaan itu justru bisa dibantu dengan fokus cerita yang sangat jelas di dalam filmnya. Akan tetapi seperti karya-karya sebelumnya Koji Fukada, film ini lagi-lagi membangkitkan penyakit lamanya dalam membuat sebuah film.
Dengan sisi baik dari sinematografi dan kekurangan dalam aktingnya yang belum meyakinkan, film ini kita beri rating 7/10. Apakah kamu juga suka film-film Jepang? Bagikan pendapatmu di kolom komentar!