Peringkat 6 Film Fase 5 Marvel, dari Terburuk hingga Terbaik

- Ant-Man and the Wasp: Quantumania adalah film terlemah dalam Fase 5, dengan pengolahan Kang the Conqueror yang mengecewakan d
- The Marvels memiliki aksi menghibur, namun plot datar dan penanganan karakter utama yang kurang kuat membuatnya tidak sampai merusak rencana besar Marvel.
- Thunderbolts* berhasil menyajikan dinamika antara anti-hero yang kuat, namun jalan cerita mudah ditebak dan penanganan karakter villain yang kurang mendalam.
Sadarkah kamu kalau Fase 5 MCU resmi berakhir di film Thunderbolts*?
Total ada enam film yang membentuk fase ini, dimulai dari Ant-Man and the Wasp: Quantumania hingga Thunderbolts* sebagai penutup.
Secara keseluruhan, Fase 5 bisa dibilang naik-turun. Ada yang benar-benar bersinar dan meninggalkan kesan mendalam, tapi ada juga yang terasa mengecewakan.
Nah, ini dia peringkat film-film MCU Fase 5 versi Duniaku.com, dimulai dari peringkat nomor 6 (yang paling lemah) sampai nomor 1 (yang paling memuaskan)!
6. Ant-Man and the Wasp: Quantumania

Ant-Man and the Wasp: Quantumania sayangnya adalah jenis film yang semakin diresapi semakin terasa kekurangannya.
Saat saya pertama nonton saya merasa ini masih "lumayan." Namun sayangnya setelah nonton ulang dan membedahnya, kelemahannya pun makin terasa.
Dosa terbesar Ant-Man and the Wasp: Quantumania adalah pengolahan Kang the Conqueror yang seharusnya jadi "Thanos"-nya Fase 6, sang main villain MCU.
Sebelum film ini, Jonathan Majors sempat mencuri perhatian saat memerankan He Who Remains di Loki. Seorang varian Kang yang eksentrik namun tetap terasa penuh kendali dan mengancam. Meski banyak bicara, karakter itu punya aura misterius yang kuat. Dia membuat penonton penasaran: kalau yang ini saja bisa menghancurkan multiverse, seperti apa varian lainnya?
Sayangnya, semua potensi itu justru runtuh saat Quantumania menampilkan varian Kang versi “Conqueror.” Alih-alih tampil lebih berbahaya, versi ini justru terasa lemah dan antiklimaks. Ketimbang membangun ancaman besar yang menakutkan dan tak terkalahkan, film ini malah membiarkan Kang dipermalukan, dihajar semut dan diakhiri Ant-Man. Alhasil, kepercayaan penonton terhadap sosok Kang sebagai "main villain" multiverse saga jadi langsung goyah.
Film ini juga mencoba memperkenalkan keajaiban Alam Quantum, tapi hasil akhirnya justru terasa generik. Bukannya menghadirkan dunia yang fantastis dan imajinatif, CGI-nya justru dinilai kurang rapi dan membuat dunianya terasa datar, bukan spektakuler.
Dari segi karakter, Quantumania juga kurang berhasil membangun Cassie Lang. Padahal, sebagai calon pahlawan muda dan kandidat kuat untuk Young Avengers, Cassie seharusnya bisa tampil lebih kuat dan berkesan, baik dari sisi penulisan maupun akting.
5. The Marvels

Saya punya cukup waktu untuk benar-benar meresapi The Marvels, film MCU yang rilis pada 2023 lalu.
Dan kesan akhir saya adalah: ini sebenarnya bukan film yang sepenuhnya buruk. Jika dibandingkan dengan Ant-Man and the Wasp: Quantumania, setidaknya The Marvels tidak sampai merusak aura karakter kunci dalam saga besar seperti yang terjadi pada Kang. Dosa terbesarnya lebih ke ini film biasa saja, bukannya sampai merusak rencana besar Marvel.
Dari segi aksi, film ini cukup menghibur. Pertukaran posisi antar karakter saat bertarung memberikan nuansa segar yang seru, dan humornya pun cukup mengena, terutama berkat energi ceria Kamala Khan.
Sayangnya, ada beberapa hal yang menahan film ini untuk bersinar. Plotnya terasa datar, tidak memiliki urgensi yang kuat, dan musuh utamanya, Dar-Benn, terasa hambar dan kurang berkesan. Tidak ada tekanan atau bobot yang cukup untuk membuat konfliknya benar-benar menegangkan.
Kendala lain yang cukup krusial adalah format karakter utamanya. Ada tiga tokoh utama di sini: Carol Danvers, Kamala Khan, dan Monica Rambeau. Masalahnya, dua dari tiga karakter itu (Kamala dan Monica) sebelumnya diperkenalkan lewat serial Disney+. Yang tidak menonton kemunculan mereka di serial WandaVision untuk Monica, atau Miss Marvel untuk Kamala, ya bisa merasa malas duluan.
4. Captain America: Brave New World

Captain America: Brave New World menyajikan aksi Sam Wilson yang cukup solid, terutama saat ia harus menghadapi Red Hulk. Duel tersebut lumayan berkesan, karena memperlihatkan bagaimana Sam, yang tidak pernah menggunakan serum Super Soldier, berjuang menghadapi lawan yang jelas jauh lebih kuat secara fisik.
Namun momen paling menyentuh dari pertarungan itu bukan saat Sam melawan, tapi saat ia berempati. Yang akhirnya berhasil menenangkan Red Hulk dan membuatnya kembali menjadi Thaddeus Ross bukanlah pukulan, melainkan kata-kata Sam.
Momen Sam bisa menenangkan Red Hulk supaya dia bisa kembali menjadi Ross menegaskan kenapa Sam pantas menjadi Captain America. Bukan karena dia prajurit super, bukan karena teknologi flight suit dan kemampuan bertarung, tapi karena kata-katanya mampu menjangkau orang lain.
Namun sayangnya, konflik utama film ini sebenarnya jauh lebih besar dari sekadar pertarungan satu lawan satu. Ada isu geopolitik berskala globa, potensi perang antara Amerika Serikat dengan negara besar lain terkait perebutan sumber daya baru: Adamantium. Pemicu utamanya adalah Samuel Sterns alias Leader, yang seharusnya menjadi dalang di balik kekacauan ini.
Masalahnya, Leader justru terasa tidak menonjol. Sosok yang diharapkan menjadi mastermind penuh intrik malah tampil kurang meyakinkan. Rencana-rencananya banyak yang gagal, dan alih-alih jadi ancaman utama, dia lebih terasa seperti gangguan.
Fakta bahwa mayoritas penonton hanya mengingat pertarungan Red Hulk vs Sam, bukan kecerdikan sang Leader, adalah sinyal jelas bahwa penulisan karakternya tidak berhasil meninggalkan kesan kuat.
Alhasil, meski film ini tetap menyenangkan untuk ditonton dan punya momen-momen aksi yang seru, secara keseluruhan Brave New World terasa kurang intens dan kurang mengancam. Ditambah dengan pacing yang di beberapa bagian terasa terburu-buru, film ini pun jatuhnya... oke, tapi tidak istimewa.
3. Thunderbolts*

Sekarang kita sampai di film terbaru sekaligus penutup Fase 5: Thunderbolts*.
Film ini berhasil menyajikan dinamika menarik antara sekelompok anti-hero yang masing-masing membawa luka, dosa, dan motivasi pribadi. Chemistry antara para karakter terasa kuat terutama Yelena Belova, yang tengah bergulat dengan kehampaan dan krisis eksistensial. Interaksi antar anggota tim, mulai dari bercandaan gelap hingga adu mulut, terasa hidup dan membangun fondasi emosional yang solid.
Salah satu kekuatan film ini adalah keputusan kreatif untuk lebih banyak menggunakan practical stunt ketimbang mengandalkan CGI sepenuhnya. Adegan seperti Yelena yang melompat dari gedung di awal film, serta sejumlah pertarungan, terasa intens dan realistis, menghadirkan nuansa aksi yang raw dan membumi. Atmosfer ini mengingatkan pada Captain America: The Winter Soldier, salah satu film aksi terbaik dalam sejarah MCU.
Namun, meskipun secara teknis dan emosional memuaskan, Thunderbolts tetap memiliki kekurangan. Jalan cerita yang cukup mudah ditebak dan penanganan karakter villain yang tidak terlalu mendalam bisa membuat sebagian penonton merasa kurang puas. Konflik utama film ini memang punya bobot, tapi eksekusinya belum cukup mengejutkan atau menggugah untuk membawa film ini naik ke jajaran teratas.
Tetap saja, dibandingkan tiga film sebelumnya dalam Fase 5, Thunderbolts terasa lebih solid dan fokus. Tidak sempurna, tapi jelas punya arah, gaya, dan hati.
2. Deadpool and Wolverine

Harus diakui, Deadpool & Wolverine pada dasarnya adalah popcorn movie yang penuh dengan fan service... dan memang tidak berusaha menjadi lebih dari itu.
Secara plot, film ini sebenarnya punya potensi untuk menyuguhkan cerita multiverse yang menggugah, apalagi dengan keterlibatan TVA dan penggabungan unsur X-Men ke dalam MCU. Namun sayangnya, alur ceritanya sering terasa longgar dan penyelesaian konflik utama Deadpool pun kadang disajikan terlalu ringan dan begitu saja.
Meski begitu, kekuatan utama film ini jelas terletak pada kekerasan yang kocak dan menghibur, ciri khas waralaba Deadpool. Penampilan Hugh Jackman sebagai Wolverine dan Ryan Reynolds sebagai Deadpool, kali ini secara resmi masuk ke dalam kanon MCU, menjadi daya tarik utama. Chemistry keduanya solid dan berhasil mengangkat adegan-adegan tertentu meski naskahnya sendiri tak terlalu kuat.
Ditambah lagi, parade cameo seperti Wesley Snipes sebagai Blade, Channing Tatum yang akhirnya menjadi Gambit, dan beberapa kejutan nostalgia lainnya akan membuat penggemar lama tersenyum puas.
Deadpool & Wolverine adalah film yang kualitasnya sangat bergantung pada seberapa besar kamu menikmati aksi, humor nyeleneh, dan fan service. Saya pribadi cukup menikmati sajian gilanya, sehingga bisa menempatkan film ini di posisi kedua. Tapi saya juga bisa paham kalau kamu menilai film ini tidak sekuat itu.
1. Guardians of the Galaxy Vol. 3

Jujur, saya sama sekali tidak ragu menempatkan Guardians of the Galaxy Vol. 3 sebagai film terbaik Fase 5. Kualitasnya terasa jauh berada di atas film-film lainnya dalam fase ini.
Film ini rilis tak lama setelah Ant-Man and the Wasp: Quantumania... yang, bersama dengan Thor: Love and Thunder serta sejumlah kekecewaan dari Fase 4 telah menggoyahkan kepercayaan fans terhadap konsistensi kualitas MCU. Padahal di Fase 1 sampai Fase 3, Marvel Studio dikenal sebagai jaminan mutu.
Jadi, wajar jika ada keraguan: apakah Guardians Vol. 3 masih bisa bagus seperti dua film GotG sebelumnya?
Jawabannya: ya, bahkan lebih dari itu. James Gunn kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam meramu kisah yang emosional, penuh gaya, dan tetap lucu. Ini adalah film yang terasa sangat personal dan emosional, terutama dengan fokus utama pada kisah masa lalu Rocket yang begitu menyentuh, sampai-sampai banyak penonton mengaku menitikkan air mata.
High Evolutionary tampil sebagai sosok antagonis yang keji, menjijikkan, namun sangat efektif. Ia adalah salah satu villain yang tak diberi nuansa simpatik. Saya merasa justru karena itu High Evolutionary terasa benar-benar mengancam dan memorable.
Chemistry antar anggota Guardians tetap solid, penuh dinamika khas yang bikin penonton tersenyum, tertawa, dan sesekali tercekat.
GotG Vol. 3 juga berhasil menutup kisah para Guardians generasi pertama dengan indah dan memuaskan, sekaligus membuka lembaran baru untuk formasi Rocket, Groot, Kraglin, Cosmo, Adam Warlock, dan Phyla-Vell.
Kalaupun ada kekurangan, mungkin interpretasi Adam Warlock di sini terasa kurang sesuai ekspektasi penggemar lama yang mengenalnya dari versi komik. Termasuk saya. Tapi itu bukan jenis kekurangan yang merusak keseluruhan film, hanya sentuhan kreatif yang bisa diterima atau tidak tergantung selera.
Singkatnya, Guardians of the Galaxy Vol. 3 adalah pengingat akan puncak kualitas Marvel yang dulu membuat banyak dari kita jatuh cinta. Dan di tengah fase yang cukup goyah, film ini jadi titik terang yang benar-benar layak mendapat posisi tertinggi.
Nah itu peringkat Fase 5 Marvel versi saya.
Gimana menurut kamu? Sampaikan di kolom komentar!