Baca artikel Duniaku lainnya di IDN App
For
You

5 Keunggulan Film Thunderbolts* Dibandingkan Suicide Squad DC

Suicide Squad dan Thunderbolts.jpg
(Dok. Warner Bros./Suicide Squad, dok. Marvel Studio/Thunderbolts*)
Intinya sih...
  • Karakter Thunderbolts* sudah memiliki latar belakang yang kuat dari film atau serial MCU sebelumnya, sehingga dinamika tim dan konflik batin karakter bisa langsung dieksplorasi tanpa membuang waktu untuk pengenalan.
  • Thunderbolts* berhasil menyajikan ancaman super secara cerdas dan grounded, dengan konflik yang tumbuh secara organik dari dalam tim, berbeda dengan Suicide Squad pertama.
  • Thunderbolts* fokus mendalam pada karakter-karakternya, memberikan momen-momen mendalam dan chemistry antar karakter yang natural dan memikat.

Thunderbolts* di Marvel dan Suicide Squad DC tentu punya banyak perbedaan. Namun mengingat masing-masing menyajikan tim anti-hero bermasalah, tak heran mereka kadang dibandingkan.

Sekarang Thunderbolts* sudah tayang di bioskop. Apa keunggulan Thunderbolts* dibanding Suicide Squad? Mari kita lihat.

Oh, untuk ini saya lebih menyorot film Suicide Squad pertama ya, tapi ada aspek yang memang Thunderbolts* terasa lebih unggul dari kedua film Suicide Squad.

1. Karakter Thunderbolts* semuanya sudah dibangun dulu di film lain

Review Thunderbolts 3.jpg
Thunderbolts* menjadi penanda dimulainya Phase Six dari MCU. (IMDb)

Salah satu hal yang sempat membingungkan saya dari film Suicide Squad pertama adalah bagaimana karakter-karakter penting seperti Harley Quinn, Deadshot, dan Captain Boomerang langsung “dijatuhkan” ke layar tanpa pengenalan yang cukup. Mereka diperkenalkan sebagai villain penting, tapi kita belum pernah benar-benar melihat latar belakang atau aksi mereka di film lain sebelumnya.

Masalah serupa juga muncul di The Suicide Squad versi James Gunn. Karakter seperti Bloodsport dan Peacemaker memang menarik, namun debut mereka juga terjadi langsung di film itu. Prestasi mereka yang luar biasa, seperti Bloodsport menembak Superman, hanya diceritakan lewat dialog, bukan diperlihatkan langsung. Flashback singkat seperti Captain Boomerang ditangkap Flash di film pertama pun terasa terlalu kilat untuk membangun koneksi. Akibatnya, banyak karakter terasa keren hanya karena dibilang keren, bukan karena kita menyaksikan langsung perjalanan mereka.

Sebaliknya, Thunderbolts tidak punya masalah itu. Hampir semua anggota timnya sudah tampil dan berkembang di film atau serial MCU sebelumnya. Yelena, Ghost, John Walker, Bucky, hingga Red Guardian sudah memiliki latar yang kuat dan koneksi emosional dengan penonton. Kita tahu Yelena menganggap Natasha sebagai kakaknya dan masih diliputi rasa kehilangan. Kita pernah melihat John Walker jadi Captain America, lalu kehilangan gelar itu karena emosinya meledak dalam misi dan dia membunuh orang di siang bolong.

Karakter penting baru hanya terbatas pada sosok seperti Bob/Sentry, tapi justru karena yang lain sudah “matang”, Sentry bisa menjadi misteri yang menarik, bukan beban pengenalan.

Alhasil, Thunderbolts bisa langsung menggali dinamika tim dan konflik batin karakter tanpa perlu membuang waktu untuk memulai dari nol.

2. Penyajian ancaman super

dok. Warner Bros. Pictures/ Suicide Squad

Saat cerita Thunderbolts* beredar, fans menyorot ada kemiripan dengan Suicide Squad pertama. Yaitu tim anti-hero akan melawan musuh yang jauh lebih super dari mereka.

Sementara di Suicide Squad pertama tim itu harus melawan Enchantress, di trailer kita diperlihatkan ancaman luar biasa Void, sisi gelap Sentry, yang dapat melenyapkan manusia hingga tinggal sisa bayangan.

Jadi saya pun sempat khawatir Thunderbolts* akan mengalami masalah yang serupa dengan Suicide Squad pertama. Bahwa tim ini akan melawan musuh yang levelnya jauh di atas mereka, sementara logikanya musuh itu diurus oleh hero lain yang aktif di dunia, dan musuh itu sendiri tersajinya kurang oke.

Namun yang mengejutkan, Thunderbolts* justru berhasil menyajikan ancaman super ini secara lebih cerdas dan grounded. Meski ada penonton yang mungkin merasa konklusinya tidak bombastis, ancamannya tetap terasa nyata, dahsyat, dan yang terpenting: konflik itu tumbuh secara organik dari dalam tim. Void bukan sekadar monster pengacau yang dimunculkan untuk adu jotos di babak ketiga, tapi punya akar emosional dan relasi personal yang kuat dengan karakter lain, khususnya Bob/Sentry dan dinamika psikologisnya.

Karena itu, keberadaan Thunderbolts sebagai pihak yang terlibat bukan terasa dipaksakan, melainkan logis. Penonton pun tidak sampai bertanya-tanya, "Kenapa Sam Wilson atau Wong nggak muncul saja buat beresin ini?" Karena konflik dan resolusinya memang milik tim ini, dan di situlah Thunderbolts unggul dari Suicide Squad, baik dari segi penceritaan, maupun penokohan penjahat supernya.

Dan dari aspek ini juga Thunderbolts* bisa dibilang unggul dari The Suicide Squad versi James Gunn, karena di sana ancaman supernya (Starro) munculnya juga agak mendadak, meski konklusinya lebih baik dari Enchantress.

3. Penyajian karakter

(Dok. Marvel Studio/Thunderbolts*)

Salah satu kekuatan utama Thunderbolts* terletak pada fokus mendalam terhadap karakter-karakternya. Ini adalah elemen yang terasa jauh lebih matang dibanding Suicide Squad pertama.

Dalam Suicide Squad (2016), film memang berusaha membangun momen kebersamaan dan bonding antar anggotanya seperti adegan di bar menjelang klimaks. Namun momen-momen ini terasa terburu-buru dan tidak cukup memberi ruang bagi penonton untuk benar-benar peduli pada mereka. Akibatnya, tim itu terasa seperti sekumpulan orang asing yang dipaksa bekerja sama, alih-alih kelompok yang terikat oleh trauma dan pilihan sulit.

Sebaliknya, Thunderbolts* punya penekanan pada karakter yang luar biasa.

Sorotan utamanya adalah Yelena Belova dan kehampaan yang ia rasakan sejak kematian Natasha. Namun para anggota penting Thunderbolts lain pun dapat momen-momen mereka sendiri, meski ada yang momennya kecil, ada yang setara dengan Yelena.

Dari segi interaksi, chemistry antar karakter Thunderbolts* benar-benar menjadi daya tarik tersendiri. Komedi yang muncul bukanlah lelucon maksa ala Marvel yang kadang mematikan momen emosional, tapi dialog natural yang muncul dari kepribadian dan dinamika mereka. Terkadang lucu, terkadang menyakitkan, dan sering kali justru memperdalam pemahaman kita terhadap siapa mereka.

Pada akhirnya, Thunderbolts* berhasil menyajikan kisah tentang sekumpulan individu rusak yang secara perlahan menemukan kembali tujuan hidup, atau setidaknya, alasan untuk tetap bertahan. Sebuah transformasi yang terasa memikat dan membuat momen-momen mereka bekerja sama jadi asyik dilihat.

4. Lebih fokus

(Dok. Marvel Studio/Thunderbolts*)

Salah satu keunggulan Thunderbolts* dibanding Suicide Squad (2016) adalah fokus naratif yang jauh lebih terjaga.

Masalah utama dari Suicide Squad pertama sebenarnya terjadi di balik layar. Sutradara David Ayer telah beberapa kali menyampaikan bahwa visinya untuk film itu diubah drastis oleh pihak studio. Demi mengejar kesuksesan Guardians of the Galaxy, pihak studio meminta reshoot, penambahan musik pop yang ramai, serta re-edit besar-besaran yang mengubah nada dan struktur cerita. Hasil akhirnya adalah film yang terasa seperti tambal sulam: tonenya tidak konsisten, dan ceritanya melompat-lompat tanpa arah jelas.

Salah satu contoh nyata dari masalah fokus ini adalah subplot Joker versi Jared Leto. Di atas kertas, keterlibatan Joker bisa menjadi tambahan dramatis bagi Harley Quinn, tapi karena banyak adegan Joker dipotong atau dirombak, perannya malah terasa janggal dan tidak menyatu dengan plot utama.

Sebaliknya, Thunderbolts* sejak awal terasa lebih terarah. Film ini tahu cerita apa yang ingin disampaikan, dan tetap setia pada jalurnya. Tidak ada subplot yang terasa dipaksakan hanya demi sensasi. Semua elemen cerita, baik yang emosional maupun yang penuh aksi, mengalir dari motivasi dan konflik karakter utama. Bahkan karakter baru seperti Bob/Sentry tidak terasa nyasar, karena kehadirannya sudah dipersiapkan secara tematis dan berdampak besar pada cerita.

Pendekatan ini membuat Thunderbolts* terasa lebih rapi, menyatu, dan memuaskan secara keseluruhan, bahkan jika dibandingkan dengan banyak film ensemble lainnya dalam genre yang sama.

5. Pacing yang lebih konsisten

(Dok. Marvel Studio/Thunderbolts*)

Pacing atau ritme alur cerita menjadi salah satu keunggulan Thunderbolts* dibanding Suicide Squad versi 2016 dan ini sangat terasa terutama jika kamu pernah dibuat frustrasi oleh lonjakan tempo yang tidak mulus di film DC tersebut.

Di Suicide Squad, awal film terasa terlalu terburu-buru karena harus memperkenalkan terlalu banyak karakter baru sekaligus, lengkap dengan montase berlebihan dan teks penjelas. Begitu memasuki pertengahan film, ritmenya melambat dengan pembangunan konflik yang terasa berlarut-larut, sebelum akhirnya kembali ngebut menuju konklusi yang mendadak dan agak dipaksakan.

Sebaliknya, Thunderbolts* memiliki pacing yang jauh lebih konsisten. Karena mayoritas karakter utamanya sudah diperkenalkan dan dikembangkan di film-film Marvel sebelumnya, film ini tak perlu membuang waktu untuk "menjual" siapa mereka. Hasilnya, ritme cerita bisa langsung fokus membangun konflik utama, interaksi tim, dan perkembangan emosi karakter secara natural. Tidak terasa ada bagian yang ditarik-tarik atau terlalu meledak-ledak tanpa alasan.

Alur ceritanya berjalan stabil dari awal hingga akhir, dan meskipun ada ruang untuk napas dan momen humor, semuanya terasa organik dan tidak mengganggu intensitas cerita.

Jadi kesimpulannya, Thunderbolts* ini jauh lebih sukses dalam menyajikan tim anti-hero yang harus melawan ancaman level super dibanding Suicide Squad.

Nah itu opini saya soal keunggulan Thunderbolts* dibanding Suicide Squad.

Kalau menurutmu gimana? Sampaikan di kolom komentar!

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fahrul Razi
EditorFahrul Razi
Follow Us