Penilaian Film: Bring Her Back, Horor Trauma Penuh Luka dari Sutradara Talk to Me

- Film horor Bring Her Back menghadirkan teror psikologis sejak detik pertama, mengeksplorasi trauma manusia dalam bentuk brutal dan nihilistik.
- Cerita film menggambarkan dua anak dalam cengkeraman kesedihan, menunjukkan betapa trauma dan kehilangan bisa menciptakan dunia yang tidak rasional.
- Performa akting luar biasa dari seluruh pemeran membuat Bring Her Back tetap menarik, meski naskahnya terlalu padat oleh kesedihan.
GENRE: Horor
ACTORS: Billy Barratt, Sally Hawkins, Mischa Heywood
DIRECTOR: Danny Philippou, Michael Philippou
RELEASE DATE: 06 Juni 2025
RATING: 4/5
Setelah mencuri perhatian publik dengan Talk to Me yang menggabungkan horor supranatural dan luka batin remaja, duo sutradara Danny dan Michael Philippou kembali menggedor genre lewat Bring Her Back. Kali ini, mereka menyajikan sebuah kisah yang jauh lebih gelap, brutal, dan tanpa kompromi. Di bawah naungan studio A24 yang dikenal dengan pilihan film-film berani, Bring Her Back bukan hanya menawarkan ketegangan, tapi juga pengalaman emosional yang melelahkan.
Apakah film ini berhasil melampaui pencapaian debut mereka, atau justru tenggelam dalam ambisinya sendiri? Simak ulasan lengkapnya di bawah ini.
1. Teror Psikologis Sejak Detik Pertama

Film Bring Her Back dibuka dengan sebuah video grainy mengerikan dari ritual penuh kekerasan di sebuah lokasi tak dikenal. Kita belum tahu siapa para korban atau pelakunya, tapi satu hal langsung jelas: ini bukan tontonan santai. Danny dan Michael Philippou, yang sebelumnya mencetak kesuksesan melalui Talk to Me, kembali mengeksplorasi trauma manusia, kali ini dalam bentuk yang jauh lebih brutal dan nihilistik.
Jika Talk to Me masih menyisakan ruang untuk harapan, maka Bring Her Back adalah catatan panjang tentang kehancuran emosi dan kehampaan spiritual. Film ini bukan hanya horor, tapi juga sebuah ujian ketahanan emosi. Meski tidak menjijikkan atau secara literal membuat mual, atmosfernya sangat berat, dingin, dan mematikan. Ini adalah jenis film yang tidak menakuti dengan jumpscare, tapi dengan kesadaran perlahan bahwa semua bisa rusak tanpa alasan yang adil.
2. Dua Anak dalam Cengkeraman Kesedihan

Di latar suburban Australia yang modern, kita diperkenalkan pada Piper (Sora Wong), gadis muda dengan gangguan penglihatan, dan kakaknya Andy (Billy Barratt). Keduanya baru saja kehilangan orang tua dan kini diasuh oleh Laura (Sally Hawkins), seorang wanita eksentrik dan berduka karena kehilangan putrinya, Cassie. Laura adalah karakter yang kompleks, seseorang yang tampaknya hangat tapi menyimpan luka besar, dan obsesi terhadap mendiang anaknya secara bertahap menjadi sumber kengerian.
Kehadiran anak asuh lain, Ollie (Jonah Wren Phillips), yang pendiam dan misterius, mempertebal suasana tidak nyaman di rumah itu. Cerita berkembang seperti jerat yang perlahan mengencang, menunjukkan betapa trauma, kesedihan, dan kehilangan bisa menciptakan dunia yang tidak rasional dan membahayakan. Yang menarik, hampir semua horor di sini berasal dari tindakan manusia, kekejaman, obsesi, dan pengabaian sistem, bukan dari makhluk gaib.
3. Aktor Cemerlang, Naskah Penuh Beban

Apa yang membuat Bring Her Back tetap menarik untuk ditonton meski begitu suram adalah performa akting yang luar biasa dari seluruh pemeran. Sora Wong menolak untuk menjadi karakter korban yang pasif, Piper adalah sosok muda dengan marah yang sah, dan keberaniannya terasa otentik. Billy Barratt sukses menampilkan lapisan-lapisan emosi Andy: seorang remaja yang penuh luka, namun tetap berusaha menjadi pelindung bagi adiknya.
Sally Hawkins, mungkin, adalah pusat energi dari film ini. Ia memaksa kita untuk merasa kasihan pada Laura. Meski secara moral, kita mungkin menginginkan akhir buruk baginya. Jonah Wren Phillips juga menghadirkan nuansa menyeramkan yang tidak karikatural, membuat Ollie menjadi lebih dari sekadar anak misterius; dia adalah simbol dari trauma yang tak diatasi.
Sayangnya, kekuatan akting ini kadang terjebak dalam naskah yang terlalu padat oleh kesedihan. Film ini nyaris tak memberi ruang untuk bernapas. Tidak ada momen ringan, tidak ada humor, tidak ada kejutan emosional yang positif, hanya penurunan bertahap ke dalam keputusasaan. Bagi sebagian penonton, itu bisa terasa seperti penyiksaan emosional, bukan pengalaman sinematik yang memuaskan.
4. Horror Sejati, tapi Kurang Subversif

Jika ada satu hal yang disayangkan, itu adalah cara film ini mengarah pada prediktabilitas. Semua konflik, semua titik balik cerita, terasa bisa ditebak sejak pertengahan film. Tidak ada elemen horor yang benar-benar "baru", dan bahkan saat unsur supranatural mulai mengemuka, film tetap enggan bermain-main dengan ekspektasi genre. Tak seperti Talk to Me, yang menggabungkan realisme dengan unsur mistis secara mulus, Bring Her Back kadang terlalu tenggelam dalam simbolisme kesedihan hingga kehilangan keterhubungan dengan realitas naratif.
Namun, patut diapresiasi bahwa film ini tidak menjelaskan terlalu banyak soal sisi supranaturalnya. Keputusan Philippou bersaudara untuk tidak merinci ritual gaib atau menjabarkan logika dari dunia mistis yang mengintai para karakter justru menambah rasa misterius. Sayangnya, ini tidak cukup untuk mengimbangi perasaan "terperangkap" dalam spiral kesedihan yang seolah tidak pernah berakhir.
5. Sebuah Meditasi Kelam tentang Duka, tapi Tidak untuk Semua Orang

Bring Her Back adalah horor yang menggigit dari sisi yang paling manusiawi, kesedihan, kehilangan, dan keretakan psikologis. Meski tidak menawarkan kesenangan khas film horor konvensional, film ini memberikan pengalaman intens yang akan membekas di benak sebagian penonton. Namun, intensitas itu juga bisa menjadi bumerang: tidak semua orang siap menghadapi film yang lebih mirip luka terbuka daripada cerita.
Ini bukan hiburan, tapi ujian. Jika kamu mencari horor yang menyentuh realitas paling kelam dalam hidup manusia, maka Bring Her Back layak ditonton dengan hati-hati.