Review Geostorm: Bencana dan Konspirasi Menyatu dalam Film yang Serba Tanggung
Geostorm menggabungkan premis film-film thriller konspirasi dengan drama bencana, bagaimana hasilnya? Simak ulasannya di sini!
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Setelah sempat diundur selama bertahun-tahun akibat test screening dan reshoot yang tidak memuaskan, akhirnya film aksi bertema bencana yang dicampur dengan citarasa thriller konspirasi bertajuk Geostorm ini dirilis. Dengan hasil yang lumayan menghibur, namun serba nanggung.
Setelah film 2012 (2009) karya Roland Emmerich dirilis, sepertinya kobaran api genre film drama aksi bencana mulai redup. Terlebih ketika tren film-film franchise seperti superhero, robot-robotan, kejar-kejaran mobil, atau kaijuu mulai terbukti jauh lebih menguntungkan dengan jaminan kesuksesan jangka panjang bagi studio-studio besar.
Pada tahun 2014, di bawah naungan Warner Bros sutradara dan penulis naskah Dean Devlin memproduksi sebuah film drama bencana bertajuk Geostorm, yang dibintangi oleh Gerard Butler, Jim Sturgess, Andy Garcia, dan Ed Harris.
[duniaku_baca_juga]
[duniaku_adsense]
Setelah diadakan test screening, film itu mendapat tanggapan yang sangat negatif dari audiens yang ikut serta dan berakhir terbengkalai, hingga kemudian pihak studio akhirnya memutuskan untuk melakukan reshoot skala besar guna meningkatkan kualitas filmnya.
Bertahun-tahun berlalu, Geostorm akhirnya dirilis ke bioskop-bioskop di seluruh dunia setelah proses post production yang sangat panjang. Lantas, apakah kerja keras para kru dan pemain di Geostorm berakhir memuaskan? Atau berakhir seperti bencana? Simak ulasannya di sini!
Bencana alam? Atau sebuah konspirasi?
Diceritakan tidak jauh di masa depan, Bumi dihantam oleh bencana alam yang terus menerus akibat efek dari pemanasan global. Ratusan kota hancur akibat angin topan, atau tenggelam oleh banjir yang diakibatkan oleh mencairnya es di kutub utara, ribuan nyawa juga melayang akibat gelombang panas yang menyerang.
Akibat iklim yang tidak bisa lagi diprediksi, PBB akhirnya memutuskan untuk menjalankan proyek pembangunan "Dutch Boy"—sebuah stasiun luar angkasa raksasa yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan iklim di Bumi. Dipimpin oleh ilmuwan Jake Lawson (Gerard Butler), proyek tersebut sukses dijalankan dan Bumi akhirnya kembali stabil.
Namun, Jake dianggap tidak lagi layak memimpin Dutch Boy akibat sikapnya yang sering membangkang atasan dan dipecat secara tidak hormat oleh Max (Jim Sturgess); yang tidak lain adalah adik Jake sendiri yang bekerja di pemerintahan.
Beberapa tahun kemudian, rentetan bencana alam yang tidak wajar terjadi dan melenyapkan banyak nyawa, diduga diakibatkan oleh malfungsi satelit di Dutch Boy.
Max yang kemudian menyelidiki sumber malfungsi tersebut dan mencium adanya potensi konspirasi di badan pemerintahan memutuskan untuk mengutus kembali Jake kembali ke Dutch Boy, guna menguak rahasia dan misteri yang menyelimutinya. Sebelum Bumi dihantam oleh sebuah simulasi badai besar-besaran akibat Dutch Boy yang disebut sebagai "Geostorm".
Penasaran dengan ulasan filmnya? Cek di halaman kedua!
Ketika Konspirasi Menyatu Dengan Bencana Alam
Membaca premisnya sendiri mungkin anda akan mengerutkan dahi. Satelit pengontrol cuaca? Bencana alam yang diakibatkan oleh konspirasi pemerintah? Ya, batas antara kreatifitas dan tanda-tanda orang mulai kehilangan ide memang agak tipis. Dan jujur saja, Geostorm adalah film yang bodoh. Begitu bodoh sampai-sampai bisa masuk dalam kategori film yang buruk, namun saking buruknya sayang untuk dilewatkan.
Dengan kisah yang sepertinya diambil dari sisa-sisa naskah film drama bencana era 90an - awal 2000an yang terbengkalai, Geostorm memang terlihat untuk berusaha tampil keren. Dengan prolog singkat yang menjelaskan asal muasal penciptaan Dutch Boy yang ringkas dan berusaha untuk masuk akal di logika, Geostorm seperti memaksa penontonnya untuk harap maklum dengan konsep cerita yang bagus namun disajikan dengan seadanya.
Belum lagi diikutsertakannya sub-plot konspirasi pemerintah yang lagi-lagi membuat penonton mengerutkan dahi. Ayolah, membuat bencana alam buatan untuk mengubah tatanan dunia? Motif antagonis yang tidak jelas dan hanya sekedar ingin menguasai dunia ala penjahat di banyak game atau film yang memiliki god complex? Maaf, bukan lagi-lagi mau menjelek-jelekkan, tapi memang hal-hal itu terdengar luar biasa konyol.
Syukurnya, ada dua faktor yang bisa membantu penonton untuk setidaknya bisa menikmati Geostorm sebagai hiburan untuk menghabiskan waktu. Itupun kalau anda benar-benar kehabisan tontonan menarik di bioskop.
Yang pertama adalah visual efek yang cukup memukau. Ya, memang sebuah kewajiban bagi film-film bertema bencana alam untuk memiliki visual yang memukau, dan Geostorm memiliki beberapa set pieces yang mungkin tidak pernah terlintas di kepala penonton sebelumnya.
Mulai dari ratusan tornado yang menghantam kota-kota di India, atau penurunan suhu yang luar biasa mengakibatkan bekunya ombak-ombak pantai di daerah tropis, atau tsunami besar yang menghantam Dubai. Dan yang lebih dahsyat lagi, kejar-kejaran dan tembak-menembak di dalam mobil ala film-film Fast & Furious yang berlatar di tengah-tengah badai petir! Ya, Geostorm tidak pernah malu untuk menunjukkan ke-lebayannya.
Faktor lainnya adalah akting para pemain yang terlihat sangat menikmati peran mereka di film yang memiliki kisah konyol ini.
Gerard Butler dan aktor tampan yang agak underrated Jim Sturgess tampil sangat apik dengan chemistry yang sangat kuat sebagai tokoh kakak-adik yang sikapnya sangat bertolak belakang. Jujur, melihat akting Sturgess di sini, saya merasa agak iba karena dengan bakatnya, ia layak mendapatkan peran di film yang lebih baik dari Geostorm, begitu pula dengan Butler.
Penampilan dua aktor senior Ed Harris yang sangar dan Andy Garcia—yang sudah lama tidak tampil di layar lebar—juga bisa dianggap menambah nilai plus. Garcia sendiri sangat mendalami perannya sebagai presiden Amerika Serikat yang berwibawa, namun juga punya sisi manusiawi yang lumayan humoris dan badass. Andai saja Garcia mau kembali ke ranah film-film gangster seperti yang ia lakukan beberapa dekade sebelumnya.
Terlepas dari kisah yang konyol, dialog di film ini lumayan seru untuk disimak tanpa membuat penonton bingung dengan istilah-istilah asing, juga banyak diselipkan humor-humor ringan yang bisa mengundang gelak tawa.
[duniaku_baca_juga]
[duniaku_adsense]
Pada akhirnya, Geostorm akan jatuh pada kategori film-film blockbuster yang kemungkinan akan dilupakan di tahun-tahun mendatang. Mau dibilang sebagai nostalgia untuk film-film drama bencana yang sempat populer di era 1970an hingga awal 2000an seperti The Poseidon Adventure, The Day After Tomorrow, Deep Impact, atau Dante's Peak pun terasa masih sangat kurang.
Mau dibilang sebagai crossover yang menarik antar genre pun, Geostorm memiliki kisah yang konyol dan tak masuk di akal. Alih-alih kreatif, ini terlihat seperti para eksekutif-eksekutif di studio terlihat mulai kehabisan ide untuk menghabiskan anggaran tahunan mereka.
Geostorm tidak pernah berhasil sepenuhnya dalam menggabungkan premis konspirasi pemerintahan dan drama bencana akibat konsep kisah yang bisa membuat anda geleng-geleng kepala. Tapi, setidaknya dengan efek visual yang memukai dan penampilan yang menarik dari para aktornya bisa membuatnya menjadi tontonan yang setidaknya menghibur.
Tapi, misalkan anda belum menonton film-film lain yang masih tayang di bioskop seperti Blade Runner 2049, Happy Death Day, atau Pengabdi Setan, lebih baik lewatkan saja ini. Atau tonton saja Only the Brave, satu lagi film bencana selain Geostorm yang memiliki naskah dan cerita yang jauh lebih baik.
Diedit oleh Snow