Lima Faktor Penyebab Mitos Jeleknya Game Adaptasi Film
Sudah berapa banyak game adaptasi dari film yang telah kamu mainkan? Apakah semuanya sebagus filmnya? Benarkah game adaptasi dari film selalu jelek dan harus segera dimuseumkan? Mari kita ungkap penyebab mitos tersebut...
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Tren game yang diadaptasi dari film sudah dimulai semenjak era industri game masih sangat muda, sebut saja Double Dragons, Jurassic Park The Game, Batman Returns contohnya. Entah siapa yang memulainya tapi tren mengadaptasi dari film terus berlanjut hingga sekarang. Memang game adaptasi film tidak semuanya sebagus filmnya, justru malah banyak yang membuat gamer ilfeel saat pertama kali memainkannya dan hanya sedikit yang bisa dibilang lumayan apalagi bagus. Spider-Man 2, Batman Begins, X-Men: Wolverine Origins, Harry Potter dan King Kong telah membuktikan bahwa game adaptasi film tidak selalu jelek. Tapi apa sih yang menyebabkan game adaptasi dari film begitu banyak yang bernasib menyedihkan? Inilah kelima faktor penyebab utamanya.
1. Singkatnya waktu pembuatan
Biasanya waktu membuat sebuah film idealnya bisa memakan waktu setahun (jangan bandingkan dengan pembuatan film di Indonesia), sama seperti developer game dalam membuat sebuah game. Tapi jika sebuah film diputuskan untuk dibuat gamenya juga akan lain ceritanya, developer game baru akan membuat game hanya dalam hitungan bulan karena mereka membuatnya saat film sudah setengah jadi dan saat proses syuting sudah berjalan demi terciptanya sinkronisasi antara game dengan film. Dengan waktu yang singkat sampai dirilisnya film tersebut, developer game pasti akan membuat game seadanya tanpa menambahkan unsur kreatifitas padahal unsur ini adalah yang paling menentukan akan suksesnya sebuah game. Apalagi untuk grafis, sudah pasti pas-pasan.
2. Kurangnya komunikasi antar developer game dengan developer film
Developer adalah badan yang dipercaya untuk menangani pengembangan sebuah franchise yang dimiliki oleh publisher, jadi developer sama sekali tidak memiliki hak apa-apa akan sebuah franchise. Artinya, publisher akan menunjuk dua developer yaitu film dan game untuk mengembangkan franchisenya menurut kemauan publiher. Hal ini menyebabkan kurang atau tidak adanya komunikasi antara kedua developer karena mereka bekerja masing-masing sesuai bidangnya sendiri walaupun kedua developer sedang mengerjakan franchise yang sama, disini malah publisher yang akan mengirim info yang biasanya hanya luarnya saja dari pembuatan film ke developer game untuk mencapai keselaraan. Hasilnya jelas jangan kaget jika kurang ada kesamaan antara game dengan filmnya, kadang untuk menutupi hal ini developer game akan beralibi bahwa setting waktu dari game bisa merupakan sebelum atau sesudah waktu dari versi filmnya. Tapi sekarang Warner Bros sudah memiliki studio developer game sendiri jadi kita bisa berharap adanya jalan antara film dengan game agar yang keluar adalah game yang sama mutunya dengan filmnya.
3. Tidak dilibatkannya sutradara dalam pembuatan game
Sutradara adalah otak dari sebuah film, ia yang menentukan alur dan bagaimana cara penyampaiannya. Karena sutradara adalah otak dari film maka sudah seharusnya ia dilibatkan juga dalam pembuatan game, karena game yang sedang dibuat adalah hasil adaptasi dari film buatannya. Tapi kenyataannya belum ada sutradara yang terlibat secara langung dalam pembuatan game, baru artis-artisnya saja sebagai pengisi suara. Hal ini menyebabkan cerita dari game adaptasi film terasa sangat hambar.
4. Game dibuat hanya untuk sarana promosi
Di era sekarang promosi bisa dilakukan dimana saja, tidak terkecuali di game. Mungkin karena alasan yang satu inilah mengapa sebuah game adaptasi dari film terkesan asal-asalan. Padahal industri game adalah industri yang sama besarnya dengan film dan sudah pasti sebagian dari penonton film adalah kita para gamer, seharusnya mereka tidak main-main dalam pembuatan sebuah game adaptasi film.
5. Sedikitnya biaya produksi pembuatan game
Kita pasti tahu berapa juta dollar biaya pembuatan film James Cameron's Avatar, tapi apakah kita tahu berapa biaya yang dialokasikan dalam pembuatan gamenya? Paling tidak sampai seperempatnya. Dengan minimnya biaya pembuatan game tentu akan berdampak pada banyak hal seperti minimnya tenaga ahli, penggunaan engine yang murah, dubbing yang pas-pasan, promosi yang cuma "nebeng" filmnya atau yang paling parah adalah penunjukan developer game yang amatir. Padahal sarana dan pra-sarana teknologi dalam mengembangkan sebuah game tidak murah dan lebih sulit tantangannya dari pembuatan film.
Itulah analisa singkat saya, sebenarnya ini juga bisa dijadikan acuan kenapa film adaptasi game juga sama jeleknya seperti game adaptasi dari film. Mitos mengenai game adaptasi dari film memang sejauh ini bisa dibilang benar, gamenya tidak sebagus filmnya (bagaikan langit dan bumi). Padahal dengan teknologi console next gen dan kekuatan dari PC sekarang ini seharusnya tidak sulit bagi developer untuk memberikan kita game yang sekualitas dengan filmnya, tapi kenyataannya justru game adaptasi film lah yang membuat image film itu menjadi rusak. Semoga di masa yang akan datang game adaptasi film bisa lebih diperhatikan pembuatannya, tidak hanya berfungsi sebagai peramai saja.
Kita lihat saja juli ini apakah peruntungan Steve Rogers di gamenya bisa membuatnya bergabung dengan Batman, Spider-Man dan Harry Potter atau ia akan senasib dengan Green Lantern dan Ironman.