Penilaian Film: Jurassic World Rebirth, Lebih Baik Punah Saja!

- Makhluk Purba yang Kehilangan KarakterFilm ini kehilangan esensi Jurassic Park dengan menampilkan dinosaurus sebagai latar belakang aksi dan humor receh, tanpa kesan takjub dari para tokohnya.
- Aktor Hebat, Tapi Naskah BerantakanScarlett Johansson dan Mahershala Ali tampil profesional tapi datar, sementara karakter-karakter lain terasa pincang dan kedodoran.
- Petualangan Tanpa TujuanRebirth tidak membawa pembaruan, melainkan pesan suram tentang kelelahan manusia menghadapi dunia yang rusak dan makhluk purba yang kini hanya jadi masalah.
GENRE: Action
ACTORS: Scarlett Johansson, Mahershala Ali, Jonathan Bailey
DIRECTOR: Gareth Edwards
RELEASE DATE: 3 Juli 2025
RATING: 2/5
Jurassic World Rebirth mencoba menghidupkan kembali warisan Jurassic Park namun yang muncul justru kesan déjà vu yang dingin dan membosankan. Kali ini kita bertualang bersama Scarlett Johansson dan Mahershala Ali, sepasang tentara bayaran yang menyusup ke pulau berbahaya demi misi yang berkaitan dengan DNA dinosaurus. Bergabung bersama mereka adalah Jonathan Bailey sebagai ilmuwan idealis dan Rupert Friend sebagai miliarder farmasi dengan ambisi menyembuhkan penyakit jantung lewat jantung reptil raksasa.
Namun di balik barisan bintang dan nama besar di balik layar termasuk David Koepp sang penulis skenario orisinal, Rebirth kehilangan roh film pertamanya: rasa kagum dan ketegangan. Disutradarai Gareth Edwards, film ini terasa lebih seperti monster movie generik ketimbang perayaan sains atau petualangan prasejarah.
1. Makhluk Purba yang Kehilangan Karakter

Apa yang membuat Jurassic Park ikonik bukan sekadar dinosaurusnya, tapi bagaimana para tokohnya bereaksi penuh takjub melihatnya. Dalam Rebirth, hewan-hewan purba ini cuma jadi latar belakang untuk adegan aksi dan humor receh. Bahkan kemunculan spesies baru seperti “Distortus rex” seekor mutant dengan kepala mirip parkit dan badan serangga terasa lebih seperti lelucon internet yang dipaksakan ketimbang desain makhluk serius.
Film ini menyuguhkan parade spesies dari Quetzalcoatlus yang menukik di udara hingga Mosasaurus yang menghantam kapal, namun hanya satu adegan yang benar-benar menggugah emosi: seekor sauropod yang terkapar sekarat di pinggir jalan Brooklyn, tubuhnya dicorat-coret grafiti seperti sofa bekas. Sebuah simbol menyedihkan tentang bagaimana keajaiban sudah tidak lagi laku di zaman ini
2. Aktor Hebat, Tapi Naskah Berantakan

Scarlett Johansson dan Mahershala Ali tampil tanpa cela tapi juga tanpa komitmen. Mereka menjalani peran dengan profesionalisme datar, seolah tahu bahwa ini bukan film yang layak dicintai. Jonathan Bailey, sebaliknya, menyuntikkan sedikit nyawa ke dalam film lewat perannya sebagai Henry Loomis, satu-satunya karakter yang benar-benar menyukai dinosaurus. Sayang, waktu layarnya minim.
Ada subplot ringan tentang keluarga terdampar yang diselamatkan, termasuk satu karakter menyebalkan pacar sang anak perempuan yang secara mengejutkan justru mencuri simpati berkat humor bodohnya. Sayangnya, karakter-karakter lain lebih terasa seperti pion dalam video game ketimbang manusia yang bernyawa.
Keberadaan karakter-karakter ini membuat jalannya flm terasa pincang dan kedodoran di sana-sini. Berantakan dan sangat tidak menarik.
3. Petualangan Tanpa Tujuan

Dengan judul Rebirth, kita berharap ada pembaruan. Tapi yang hadir justru pesan suram tentang kelelahan manusia menghadapi dunia yang rusak dan makhluk purba yang kini hanya jadi masalah. Bahkan film ini secara eksplisit memperlihatkan orang-orang yang merobek spanduk "When Dinosaurs Ruled the Earth" dari museum, seolah ingin bilang sudah cukup, waktunya move on.
Komposer Alexandre Desplat mencoba memetik ulang melodi legendaris John Williams namun tak mampu menyulut kembali api nostalgia. Dan saat Henry Loomis berkata ia ingin mati dan menjadi fosil, rasanya seperti metafora untuk seluruh franchise ini: sebuah warisan besar yang sekarang hanya menunggu dikubur oleh zaman.
Jurassic World Rebirth bukanlah kelahiran kembali, tapi justru tanda bahwa waralaba ini lelah, kehilangan arah, dan mungkin sudah saatnya punah secara sinematik. Saat dinosaurus jadi simbol kejenuhan, bukan keajaiban, maka waktunya memberi ruang bagi imajinasi baru atau seperti sindiran terakhir film ini, biarlah spesies masa depan yang menggali tulang belulang kita dan tertawa melihat betapa membosankannya kita dulu.