- Kikoken disajikan sebagai bola energi CGI yang kualitasnya terlihat murahan dan tidak memiliki bobot visual. Bukannya terasa mematikan, malah terlihat seperti efek TV kelas rendah.
- Spinning Bird Kick tampil lambat, bergantung pada zoom berlebihan dan potongan cepat, dan ironisnya justru memperlihatkan bahwa tendangannya sama sekali tidak mengenai target, para musuh jatuh seolah tumbang oleh hembusan angin.
5 Hal yang Bikin Street Fighter Versi 2009 Lebih Jelek dari Versi 1994

- Mencoba dramatis tapi gagal total
- Interpretasi karakternya malah lebih membosankan dari versi 1994
- Film aksi tapi dengan aksi kurang menonjol
Pada tahun 2009, Street Fighter kembali mencoba peruntungan di layar lebar lewat Street Fighter: The Legend of Chun-Li.
Saat itu, banyak penonton berharap:
“Oke, tim ini pasti sudah belajar dari kegagalan film 1994, kan? Mereka tahu kenapa film Van Damme itu ditertawakan. Kali ini pasti lebih rapi secara narasi, lebih serius secara eksekusi.”
Nyatanya?
Justru sebaliknya.
Alih-alih memperbaiki kesalahan masa lalu, versi 2009 ini malah terasa lebih lemah di hampir semua aspek. Padahal Street Fighter 1994, dengan segala keanehannya, masih dikenang berkat:
-performa total Raul Julia sebagai Bison
-dialog-dialog yang quotable
-serta unsur camp yang setidaknya masih menghibur
Film versi 2009?
Tidak cukup konyol untuk jadi cult classic, tidak cukup solid untuk disebut film laga yang bagus, dan tidak cukup setia untuk memuaskan fans game-nya.
Lalu, apa sebenarnya yang membuat Street Fighter versi 2009 terasa lebih jelek daripada versi 1994?
Mari kita bedah satu per satu.
1. Mencoba dramatis tapi gagal total

Street Fighter: The Legend of Chun-Li mencoba mengambil pendekatan yang lebih serius dan dramatis dengan menjadikannya kisah origin Chun-Li. Bahkan, konsep Street Fighter sebagai turnamen bela diri baru benar-benar disebut di bagian akhir film, sebuah keputusan yang terasa aneh untuk adaptasi game fighting.
Pendekatan ini membuat film 2009 terasa sangat berbeda dari versi 1994 yang campy dan sadar diri. Masalahnya, upaya menjadi “lebih serius” ini justru tidak diimbangi dengan eksekusi yang kuat.
Plotnya dangkal, konflik emosionalnya tidak terbangun dengan baik, dan akting sebagian besar karakternya terasa datar. Alhasil, film ini gagal sebagai drama, namun juga kehilangan kesenangan cheesy dan campy yang setidaknya membuat versi 1994 masih bisa dinikmati secara ironis.
Hasil akhirnya adalah film yang tidak cukup kuat untuk ditonton dengan serius, tapi juga tidak cukup konyol untuk dinikmati sebagai hiburan ringan. Dan ketika itu terjadi, seluruh kelemahan film ini justru terasa semakin menonjol.
2. Interpretasi karakternya malah lebih membosankan dari versi 1994

Mengimbangi karisma Raul Julia sebagai M. Bison jelas bukan perkara mudah, terutama mengingat ia tampil total meski sedang sakit parah. Tapi masalah Street Fighter: The Legend of Chun-Li bukan karena gagal menandingi Julia. Masalahnya: film ini terasa bahkan tidak berusaha menawarkan interpretasi yang menarik.
Versi 2009 menyajikan Bison sebagai pria berjas rapi dengan setelan three-piece suit, diperankan oleh Neal McDonough. Padahal McDonough adalah aktor yang solid jika diberi materi yang tepat. Sayangnya, di sini karakternya terasa hambar, datar, dan sama sekali tidak mencerminkan sosok Bison yang ikonis, baik sebagai diktator flamboyan maupun sebagai ancaman karismatik.
Lalu ada juga karakter lain yang lebih menonjol versi 1994-nya. Jay Tavare sebagai Vega mungkin hanya memiliki sekitar empat dialog, tapi penampilannya tetap mencuri perhatian. Sementara itu, Vega versi 2009 yang diperankan Taboo (Black Eyed Peas) justru kehilangan aura berbahaya, dan diperparah dengan fakta bahwa ia dikalahkan Chun-Li dengan sangat cepat saat akhirnya benar-benar bertarung. Sebuah keputusan yang terasa… sangat aneh.
Pendekatan “film serius” tampaknya diterjemahkan oleh tim produksi sebagai: semua karakter harus terlihat serius, kaku, dan membosankan.
Akibatnya, bukan hanya Bison, tapi juga Chun-Li, Gen, dan mayoritas tokoh penting lain terasa datar dan minim kepribadian.
Satu pengecualian yang layak disebut adalah Michael Clarke Duncan. Ia tetap memancarkan karisma sebagai Balrog bahkan di film seburuk ini. Di dunia ideal, Duncan seharusnya mendapatkan peran Balrog di film Street Fighter yang jauh lebih baik, apalagi ia dikenal sebagai fans game-nya sendiri. Sayangnya, di sini perannya tidak cukup vital untuk mengangkat keseluruhan film, berbeda dengan posisi Raul Julia yang benar-benar menjadi jiwa versi 1994.
3. Film aksi tapi dengan aksi kurang menonjol

Mari kita luruskan satu hal: Street Fighter: The Legend of Chun-Li memang bukan film kaliber Academy Award. Ini adalah film aksi yang diadaptasi dari game fighting legendaris. Jadi standar minimalnya jelas adegan pertarungannya setidaknya harus menghibur.
Masalahnya, di sini justru banyak adegan aksi yang jatuh ke dua ekstrem: tidak seru atau malah bikin nyengir canggung.
Memang ada beberapa set-piece pertarungan yang lumayan, tapi terlalu sering film ini tersandung oleh keputusannya sendiri terutama saat mencoba mengadopsi pendekatan yang katanya “lebih realistis”.
Beberapa contohnya terasa seperti dosa besar:
Alih-alih terasa realistis, hasil akhirnya justru tidak meyakinkan dan memecah imersi.
Dan di titik ini, rasanya sulit untuk tidak berpikir: kalau hasilnya seperti ini, lebih baik sekalian main gila saja, seperti yang dilakukan Jackie Chan di City Hunter (1993). Setidaknya versi itu sadar diri, percaya penuh pada absurditasnya, dan justru karena itu… jauh lebih meyakinkan.
4. Masih saja ada masalah dari segi kostum

Masalah kostum sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah film Street Fighter. Versi 1994 sudah sering dikritik karena banyak karakter yang tampil jauh dari desain game-nya. Ironisnya, Street Fighter: The Legend of Chun-Li bukan memperbaiki masalah ini, tapi justru memperparahnya.
Dari seluruh jajaran karakter, hanya dua yang secara visual masih bisa kita bayangkan sebagai versi live-action karakter game-nya:
- Chun-Li, yang setidaknya sempat tampil dengan hair bun dan kostum biru.
- Vega, yang masih mempertahankan topeng dan cakar besi
Selebihnya? Hampir tidak terasa seperti karakter Street Fighter.
Bison yang sering muncul dengan jas rapi kehilangan aura diktator flamboyan khas game. Charlie, Gen, dan Rose pun mengalami nasib serupa—nama mereka memang sama, tapi ciri khas visual dan kepribadian versi game-nya nyaris lenyap. Mereka terasa seperti karakter orisinal film yang kebetulan diberi nama tokoh Street Fighter.
Yang paling menyedihkan, versi 2009 ini datang setelah film 1994. Artinya, ia seharusnya tahu apa yang dulu dikritik dan mencoba memperbaikinya. Namun alih-alih belajar, film ini seakan memutuskan untuk mengabaikan desain fantastis gamenya sama sekali.
Karena itulah, terlepas dari bagaimana kualitas Street Fighter versi 2026 nantinya, setidaknya ada satu hal yang patut disyukuri:
film tersebut tidak lagi malu-malu merangkul penampilan fantastis dan ikonis dari versi game-nya.
5. Kembali film Street Fighter yang tidak menyorot kontes Street Fighternya sendiri

Salah satu kritik terbesar terhadap Street Fighter versi 1994 adalah ini: meski judulnya Street Fighter, konflik utamanya tidak benar-benar berputar pada turnamen bela diri antar petarung jalanan dari seluruh dunia. Filmnya malah terasa seperti G.I. Joe versi bajakan, lengkap dengan konflik militer dan diktator generik.
Pertanyaannya: apakah The Legend of Chun-Li memperbaiki masalah itu?
Jawabannya… tidak juga.
Secara teknis, memang ada beberapa pertarungan yang terjadi di jalanan. Tapi karena film ini secara eksplisit diposisikan sebagai kisah sebelum Chun-Li mengikuti turnamen Street Fighter, maka pada dasarnya film ini mengulang kesalahan versi 1994, hanya dengan pendekatan yang berbeda. Sebuah ironi yang cukup ajaib.
Yang lebih membingungkan lagi, Chun-Li sudah berhasil mengalahkan Bison dengan cukup meyakinkan di film ini. Kalau begitu, apa gunanya turnamen Street Fighter ke depannya? Ke mana arah cerita selanjutnya kalau sekuel benar-benar dibuat? Bahkan dari sudut pandang naratif, keputusan ini terasa tidak dipikirkan matang-matang.
Hasil akhirnya adalah film yang berusaha menghindari kesan campy dan cheesy versi 1994, memilih tampil serius, tapi justru jatuh menjadi hambar, kering, dan tanpa identitas
Mayoritas karakternya bahkan terasa seperti tokoh film kelas B murah yang kebetulan diberi nama karakter Street Fighter.
Dampaknya terlihat jelas di angka. Jika Street Fighter (1994) setidaknya masih sukses secara komersial, bahkan menjadi film terlaris kedua Jean-Claude Van Damme sepanjang kariernya, The Legend of Chun-Li hanya meraup sekitar $12,8 juta dari budget $50 juta.
Sebuah kegagalan total.
Kalau menurutmu sendiri gimana?
Apakah film ini memang tidak punya peluang sejak awal, atau justru gagal karena salah memahami apa yang membuat Street Fighter dicintai?


















