Review Brahms: The Boy II, Sekuel yang Salah Langkah
Sekuel The Boy yang seharusnya tidak perlu dipaksakan
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Masih ingat dengan film The Boy yang hadir di tahun 2016? Kalau kamu tidak ingat kemungkinan besar kamu memang tidak menonton film tersebut, sebab The Boy merupakan sebuah sleeper hit yang tertutup dengan film horor lainnya yang cukup populer. Seperti misalnya The Conjuring 2 atau Don’t Breathe.
Kalau kamu tidak ingat, mari kita mundur sedikit. The Boy bercerita mengenai sebuah rumah dan boneka misterius yang ditinggalkan oleh keluarga Heelshire. Setiap hari boneka tersebut membuat ulah dengan bergerak sendiri ataupun melakukan hal-hal lainnya yang ajaib. Dari situ sang nanny, percaya kalau bonek tersebut memiliki roh Brahms yang mati karena kebakaran 20 tahun yang lalu.
Faktanya, boneka tersebut bisa bergerak karena suatu hal yang lebih rumit ketimbang sekedar roh anak kecil yang jahat atau mengamuk. Twist di akhir film ini mampu melambungkan pendapatan The Boy hingga enam kali lipat dari modalnya.
Pendapatan yang menggiurkan inilah yang menjadi dasar dari salah seorang yang berada di belakang film The Boy untuk membuat sekuelnya yang tayang tahun ini.
1. Masih tentang Brahms sang boneka porselen
Kalau kamu menonton film pertamanya, kamu pasti tahu kalau seseorang kembali merangkai boneka Brahms yang pecah di bagian akhir film tersebut, dan film ini benar-benar melanjutkan kisah tersebut. Bedanya kali ini yang menjadi korban adalah seorang keluarga muda yang terdiri dari Liza (Katie Holmes), Sean (Owain Yeoman), dan sang anak Jude (Christopher Convery).
Keluarga ini pada awalnya adalah keluarga normal yang hidup bahagia, tapi semua berubah sejak Liza menjadi korban perampokan acak di rumahnya. Sejak insiden tersebut Liza menjadi menutup diri pada semua orang, termasuk pada suaminya. Sementara itu Jude yang menyaksikan sang ibu dianiaya, jadi sangat tertutup dan tidak mau berbicara pada siapapun.
Melihat kondisi keluarganya yang memburuk, Sean memutuskan untuk pindah ke desa untuk memperbaiki hubungan emosi dengan sang istri dan kemampuan berbicara sang anak. Keputusan ini kebetulan didukung dengan pekerjaan Sean yang bisa dilakukan di mana saja.
Sesuai dengan dugaan, Sean ternyata memilih rumah keluarga Heelshire. Bedanya, kali ini rumah yang digunakan adalah guest house. Jadi cukup jauh dari rumah utama yang menjadi tempat kejadian film prekuelnya.
Saat mencapai rumah tersebut, Sean dan Jude memutuskan untuk berjalan-jalan di hutan. Tanpa sengaja Sean menemukan rumah utama keluarga Heelshire. Sementara itu Jude malah menemukan boneka Brahms yang dikubur di dalam hutan.
Selain rumah dan boneka, mereka juga bertemu dengan sang penjaga rumah, Joseph (Ralph Ineson). Dari situ keluarga tersebut harus berhadapan sekali lagi dengan teror boneka Brahms yang dihadirkan dengan cara yang sedikit berbeda dengan prekuelnya.
Baca Juga: Teaser Film Rurouni Kenshin The Final dan The Beginning Dirilis!
2. Sekuel yang seharusnya tidak dibuat
Ada satu hal yang menyebabkan film The Boy menjadi sebuah sleeper hit yang kami perhitungkan di tahun 2016. Film tersebut mengambil rute lain ketimbang jalan instan tentang boneka berhantu yang kisahnya keburu diangkat oleh John R. Leonetti di tahun 2014 melalui Annabelle.
Rute tersebut melibatkan plot twist di akhir film yang memperlihatkan kalau sang boneka ternyata bergerak bukan karena ada hantu atau iblis jahat yang tinggal di dalamnya. Brahms bergerak karena memang digerakkan oleh Brahms asli yang tinggal di dalam tembok rumah keluarga Heelshire.
Yes, sebuah twist menarik yang menghilangkan semua momen paranormal yang terjadi di awal film. Sayangnya Brahms: The Boy II dibuat seperti menghancurkan twist tersebut, dan menghilangkan semua elemen menarik dari teror boneka Brahms.
Brahms: The Boy II mengambil rute singkat yang mengiyakan kalau boneka tersebut merupakan boneka berhantu yang sudah meneror setiap keluarga yang memilikinya. Hingga akhirnya boneka tersebut dimiliki oleh nenek moyang keluarga Heelshire.
Tapi kalau memang boneka tersebut sudah berhantu dari dulu kala, kenapa boneka tersebut dinamai sebagai Brahms yang merupakan anak dari keluarga kaya yang hidup di The Boy? Pemberian nama dan pemilihan plot ini terlihat sangat malas, padahal sutradara dan penulis naskah dalam sekuel ini masih sama dengan film pertamanya (William Brent Bell dan Stacey Menear).
Penggunaan tempat Heelshire Mansion juga menjadi mentah begitu saja. Sepertinya tempat ini digunakan hanya sebagai alat untuk menjelaskan kalau sang boneka tidak bisa terbang dan mengambang begitu saja walaupun berhantu.
Selain itu, bagaimana caranya Brahms memilih korban ataupun host selanjutnya juga tidak dijelaskan. Rasanya kalau dibahas lebih lanjut, kami bisa saja membuat sebuah artikel komplit yang isinya membahas "10 plot hole di Brahms: The Boy II". Untungnya kami tidak punya banyak waktu untuk menulis hal tersebut.
3. Akting yang sangat biasa saja
Katie Holmes sebagai bintang utama dalam film ini, juga menunjukkan kualitas yang tidak terlalu impresif. Holmes yang sebenarnya sering berperan sebagai ibu, dalam film ini justru tidak terlihat sebagai sosok ibu yang tegar dan berjuang demi sang anak. Mungkin hal ini merupakan tuntutan naskah, tetapi kami tidak melihat adanya percikan emosi yang cukup untuk menggambarkan perasaan seorang ibu yang sesungguhnya.
Lagi-lagi kami akan menyalahkan naskah yang terlalu datar dan tidak memiliki banyak ruang untuk mengungkapkan emosi ataupun eksplorasi karakter. Sepertinya naskah film ini dibuat dengan poin-poin sederhana yang hanya menunjukkan dialog dan screenplay yang digunakan di setiap adegan.
Latar belakang juga ikut ambil bagian dari rusaknya film Brahms: The Boy II. Ketimbang menggunakan latar seram yang biasanya hadir di rumah-rumah besar keluarga bangsawan, film ini malah menggunakan sebuah guest house kecil yang modern dan berwarna putih.
Padahal warna putih bukanlah pilihan yang baik di film horor. Warna tersebut membuat fokus penonton menjadi datar dan menghilangkan banyak elemen kengerian yang muncul dari warna lainnya.
4. Kesimpulan? Semoga tidak ada sekuel lagi
Yak, walaupun kejam, tetapi sejatinya kami tidak akan mengharapkan sekuel lagi dari The Boy. Tapi walaupun begitu sejatinya film ini menawarkan ketegangan yang cukup walaupun terbilang sangat generik untuk film horor.
Selain itu film ini juga memiliki twist-nya tersendiri walaupun kurang terasa greget ketimbang twist di The Boy. Tapi twist tersebut menjelaskan kenapa bonek Brahms bisa kembali lagi ke bentuk semulanya.
Mungkin efek dari film sebelumnya membunuh banyak teror yang kami saksikan di Brahms: The Boy II. Seperti misalnya saat sang boneka berpindah ke ruangan lain, yang di otak kami adalah, boneka tersebut kembali digerakan orang lain. Atau mungkin ada ruangan lain dari rumah utama yang terhubung dengan guest house tersebut. Yah, hal-hal logis yang menjadi pilar utama The Boy.
Brahms: The Boy II kami beri nilai 3 dari 5 bintang review yang biasa kami berikan. Mungkin kamu akan kecewa dengan film ini, tapi setidaknya pendekatan baru yang diberikan di dalam filmnya membuat kamu tidak perlu menyaksikan prekuelnya untuk mengerti keseluruhan plot film ini.
Oh iya, judul poin keempat ini kami berikan bukan untuk menjelek-jelekan, tapi sejatinya kami lebih mengharapkan kalau The Boy dibuatkan prekuelnya atau cerita asal usulnya. Sehingga kami jadi lebih paham kenapa boneka ini berhantu atau kenapa diberi nama Brahms.
Baca Juga: Bukan Prioritas, Produksi Film Call of Duty Ditunda oleh Activision