- Penampakan The Seeress (diperankan Björk), sosok perempuan yang mungkin halusinasi, mungkin visi nyata, tampil menghantui dengan rongga matak osong, memberi Amleth petunjuk untuk memulai perjalanan balas dendamnya.
- Valkyrie dalam visi Amleth, dengan mata biru yang tidak duniawi dan gigi berukir, seolah-olah membawa jiwanya menuju Valhöll, sebuah momen yang begitu surealis.
- Lanskap Islandia, tempat Fjölnir tinggal. Bukit hijau, lembah sepi, dan rumah terpencil yang tidak punya tetangga, itu semua memperkuat kesan bahwa Fjölnir adalah orang yang berkuasa namun terasing, hanya ditemani prajurit dan para budaknya.
Review Film The Northman (2022), Bukan Semata Film Viking Buas!

- The Northman bukan film Viking penuh aksi, melainkan lebih gelap dan emosional.
- Visual film ini sangat kuat dan memukau, dengan komposisi visual yang terasa seperti lukisan.
- Film ini ditujukan untuk penonton dewasa karena tema cerita yang kompleks dan karakter moral abu-abu.
Pada tahun 2022, The Northman, karya epik bertema Viking garapan sutradara Robert Eggers, sayangnya tidak sempat tayang di bioskop Indonesia. Namun kini filmnya sudah tersedia di Netflix, dan banyak penonton mulai bertanya-tanya:
“Apakah film ini memang layak ditonton?”
Pertanyaan itu wajar, karena The Northman bukan tipe film aksi Viking yang biasanya identik dengan adegan brutal, raid, dan heroisme maskulin. Film ini menawarkan sesuatu yang jauh lebih kompleks, lebih gelap, dan lebih emosional.
Jadi, sebelum kamu menekan tombol play, mari kita kupas: apa sebenarnya yang membuat The Northman begitu unik, dan apakah sesuai dengan hype besarnya?
Sinopsis The Northman (2022)
Amleth, pangeran Viking muda, menyaksikan kematian ayahnya dan penculikan ibunya oleh pamannya, Fjölnir. Ia melarikan diri dan tumbuh dewasa sebagai prajurit yang haus balas dendam. Setelah beberapa tahun, Amleth kembali untuk memenuhi sumpahnya dulu: membunuh Fjölnir, membalaskan kematian ayahnya, dan menyelamatkan ibunya.
1. Bukan film Viking penuh aksi!

Izinkan saya mengutip salah satu entri di TV Tropes untuk kategori “Audience-Alienating Premise” The Northman:
“Benar, era Viking memang menjual… tapi mungkin tidak ketika filmnya berjenis slow burn, dengan hanya satu (dan itu pun singkat) adegan pertempuran sungguhan saat para Viking beraksi, sementara sebagian besar trailer justru menonjolkan aspek tersebut. Sebagian besar durasi film malah dipenuhi mistisisme Old Norse dan ritual-ritual aneh yang mungkin tidak familier bagi penonton umum.
Situasinya juga tidak terbantu oleh materi pemasaran yang hanya menampilkan Amleth sebagai berserker bertelanjang dada, padahal ia sebenarnya tidak menghabiskan banyak waktu tampil sebagai berserker di layar. Ia cepat-cepat mencukur rambut panjang khas barbar dan menghabiskan sebagian besar sisa film — kecuali klimaks, sebagai seorang budak.”
Dan di situlah letak masalah terbesar The Northman, bukan dalam kualitas filmnya, tetapi dalam ekspektasi yang dibangun pemasarannya.
Mulai dari poster yang memperlihatkan Amleth sebagai berserker bertelanjang dada, hingga trailer yang fokusnya awamnya pada penyerbuan wilayah Slavic oleh para berserker (yang merupakan kejadian di awal film!), wajar kalau banyak orang mengira film ini akan menjadi semacam Kill Bill versi Viking: aksi brutal nonstop, pertarungan penuh amarah, dan perjalanan balas dendam tanpa kompromi.
Jangan salah: cara Amleth menuntut balas memang brutal.
Namun karena The Northman berangkat dari legenda kuno yang kelak menjadi inspirasi Hamlet, metode balas dendam yang dipilih Amleth tidak langsung dan bukan semata adu otot. Sebaliknya, ia mengandalkan intrik psikologis, infiltrasi, dan permainan mental. Dan untuk sampai ke tahap itu pun, filmnya bergerak sangat perlahan.
The Northman adalah film yang bisa memikat dan memuaskan asal kamu menontonnya dengan ekspektasi yang tepat.
Jadi jangan menekan tombol play jika yang kamu cari adalah film Viking dengan aksi terus-menerus.
Tapi kalau kamu siap untuk balas dendam yang gelap, penuh intrik, dan dibalut mistisisme Norse, film ini bisa jadi pengalaman yang luar biasa.
2. Visual adalah salah satu kekuatan utama film ini

Ini adalah film Robert Eggers, jadi bisa ditebak, kekuatan visual menjadi salah satu senjata paling memukau di sini.
Ada banyak gambar dan adegan yang akan tinggal di benak penonton bahkan setelah film berakhir. Contohnya:
Setiap komposisi visual dalam The Northman terasa seperti lukisan, dari cahaya obor dan asap ritual, hingga hujan yang membasahi desa, hingga warna abu-abu pucat padang rumput yang tak berujung.
Eggers tidak sekadar menyajikan dunia Viking apa adanya, kadang ia menyajikan juga unsur-unsur fantastis (yang sering kali mungkin tak beneran terjadi).
Karena itu, mungkin cara terbaik menikmati The Northman adalah dengan bersabar dan membiarkan visualnya meresap ke mata dan memori kita.
3. Film untuk penonton dewasa, karena banyak alasan

The Northman jelas ditujukan untuk penonton 17+, tetapi bukan semata karena ada adegan seksual atau kekerasan grafis. Ya, film ini menampilkan kekerasan yang tanpa kompromi, termasuk beberapa cara “kreatif” Amleth mengeksekusi balas dendamnya. Ya, film ini punya unsur sensual. Namun kedewasaan film ini tidak berhenti di level itu.
Yang jauh lebih “dewasa” justru ada pada tema ceritanya.
Ini adalah kisah balas dendam yang dibentuk oleh nilai-nilai Norse klasik: kehormatan, takdir, harga diri, kemuliaan, dan kematian. Cara Amleth menjalankan balas dendam bukanlah perjalanan heroik sederhana, melainkan proses panjang, gelap, dan sering kali memancing konflik moral. Penyajiannya yang lambat, meditatif, dan penuh kontemplasi lebih mungkin diresapi oleh penonton dewasa ketimbang remaja yang mengharapkan aksi berkelanjutan.
Tentu saja, bukan berarti setiap penonton dewasa otomatis cocok.
Jika tidak nyaman dengan film bertempo lambat atau narasi yang lebih fokus pada atmosfer dan psikologi dibanding aksi fisik, The Northman bisa terasa berat bahkan melelahkan.
Namun bagi penonton yang bisa mengapresiasi karakter moral abu-abu, film ini sangat memuaskan. Hampir tidak ada karakter yang sepenuhnya baik maupun jahat.
Amleth, sang protagonis, pertama kali kita lihat sedang ikut serta dalam penyerbuan desa di wilayah Kievan Rus. Jadi ia bukan pahlawan putih bersih.
Fjölnir, antagonis utama, juga bukan monster; ia kejam, tetapi ia juga seorang ayah, kepala keluarga, dan pemimpin yang sudah jatuh dari tahtanya.
Film ini menuntut penonton untuk menyaksikan manusia apa adanya, bukan hitam putih, dan untuk sebagian penonton, terutama yang lebih dewasa, pendekatan ini justru menjadi salah satu nilai jual utamanya.
4. Didukung oleh aktor-aktor yang sangat kuat

Model penceritaan yang lambat, atmosferik, dan sangat “nyeni” seperti The Northman mudah sekali runtuh bila fondasinya, yakni para pemeran, tidak tepat. Untungnya, film ini sangat kuat di aspek akting.
Alexander Skarsgård memberikan performa luar biasa sebagai Amleth: garang, brutal, dan didorong oleh hasrat balas dendam… namun ia juga menunjukkan sisi rapuh dan konflik batin saat ia menyadari bahwa balas dendam yang dikejarnya tidak sesederhana yang ia bayangkan.
Amleth bukan sekadar karakter pria berotot yang menghunus kapak dan pedang, dia adalah seseorang yang digerus trauma, takdir, dan obsesi, dan Skarsgård mengeksekusi itu semua tanpa berlebihan.
Nicole Kidman memerankan Ratu Gudrún dengan cara yang mungkin mengejutkan penonton. Dia tidak diposisikan sekadar sebagai “wanita yang harus diselamatkan”, melainkan figur kompleks yang punya kepentingan, ambisi, dan rahasia sendiri. Satu adegan konfrontasi inti antara Gudrún dan Amleth bahkan menjadi salah satu momen akting paling memorable di film ini.
Claes Bang sebagai Fjölnir juga luar biasa. Ia memulai film sebagai antagonis, pembunuh yang merebut tahta, tetapi seiring cerita berjalan, kita dipaksa melihatnya sebagai manusia: seorang pria yang pernah menang, kemudian jatuh, namun tetap mempertahankan harga diri dan perannya sebagai kepala keluarga. Ia jahat, tetapi bukan karikatur.
Aktor-aktor dengan durasi tampil singkat pun tidak menyia-nyiakan layar:
Björk sebagai Seeress
Willem Dafoe sebagai Fool / Heimir
Ethan Hawke sebagai Raja Aurvandill
Meski masing-masing tampil sebentar, mereka memberikan kesan yang bertahan lama, membantu menciptakan dunia yang terasa mistis, nyata, dan mengancam.
Dan tentu, Anya Taylor-Joy sebagai Olga, wanita Slavic yang nasibnya kemudian terjalin dengan Amleth. Keberadaannya bukan sekadar pemanis atau sidekick; ia memberi dimensi emosional, dinamika moral, dan chemistry yang sangat penting bagi perjalanan tokoh utama. Performanya konsisten kokoh bahkan di tengah jajaran aktor besar lainnya.
5. Tapi harus saya tekankan lagi: tempo film ini lambat

Kalau kamu membaca poin-poin sebelumnya, mungkin The Northman terdengar seperti paket lengkap: visual yang luar biasa, akting yang solid, dunia Viking yang autentik, dan perjalanan balas dendam yang emosional serta brutal.
Semua itu memang benar, tetapi ada satu hal yang sangat menentukan apakah kamu akan jatuh cinta pada film ini atau justru merasa “overrated”:
Tempo ceritanya itu memang beneran sangat lambat.
Narasi The Northman bukan tipe yang mendorong penonton dari satu aksi besar ke aksi berikutnya. Justru sebaliknya, film ini memilih untuk membangun atmosfer secara perlahan, meresapi ritual, menekankan beban emosional karakter, dan membiarkan tensi tumbuh sedikit demi sedikit hingga ledakan akhirnya di klimaks.
Dan di sinilah titik penentu selera penonton.
- Jika kamu cocok dengan gaya penceritaan kontemplatif, atmosferik, dan berbasis psikologi, film ini bisa terasa luar biasa.
- Tetapi jika kamu datang dengan ekspektasi aksi nonstop ala film Viking mainstream, besar kemungkinan kamu akan merasa kecewa.
Secara pribadi, gaya penceritaan ini sangat cocok dengan saya, dan justru menjadi alasan mengapa The Northman terasa begitu istimewa. Namun saya sepenuhnya memahami, bahkan menghormati, jika ada penonton yang merasa gaya ini tidak klik.
6. Kesimpulan
Menonton The Northman di tahun 2025 justru terasa oke bagi saya. Sekarang gambaran penuh soal film ini sudah jelas, dan saya menonton dengan ekspektasi yang tepat.
Saya datang untuk melihat visual memikat khas Robert Eggers, kisah proto-Hamlet dengan karakter abu-abu moral, dan performa akting kelas atas.
Dan itulah persis yang saya dapatkan.
Namun perlu diakui: film ini bukan untuk semua orang.
Temponya lambat, narasinya padat atmosfer, dan fokusnya lebih ke ritual, psikologi, dan takdir ketimbang aksi Viking nonstop.
Jika kamu masuk dengan asumsi bahwa film ini berisi adegan berserker dari awal sampai akhir, hasilnya hampir pasti: kamu akan kecewa berat.
Tapi jika kamu siap untuk drama balas dendam yang gelap, intens, dipenuhi mistisisme Norse, dan disajikan dengan visual luar biasa, The Northman adalah pengalaman sinematik yang sangat layak.
Dari saya pribadi nilainya adalah 4 dari 5 bintang.
Itu review The Northman versi saya.
Kalau kamu sudah nonton, bagaimana pendapatmu?
Coba ceritakan di kolom komentar!
| Producer | Mark Huffam, Lars Knudsen, Robert Eggers |
| Writer | Sjón, Robert Eggers |
| Age Rating | D 17+ |
| Genre | Drama |
| Duration | 136 Minutes |
| Release Date | 22-4-2022 |
| Theme | Balas dendam, moral ambigu |
| Production House | Focus Features |
| Where to Watch | Netflix |
| Cast | Alexander Skarsgård, Nicole Kidman, Claes Bang |



















