Review Mortal Kombat (1995) Film Adaptasi Game Terbaik Era 90-an

- Film ini Terasa Paham Gamenya
- Film kelas B yang dielevasi oleh performance aktornya
Sambil menunggu Mortal Kombat II yang dijadwalkan rilis pada 2026, rasanya pas untuk sedikit bernostalgia. Kita mundur ke 1995, ke momen ketika Mortal Kombat untuk pertama kalinya diadaptasi ke layar lebar, dan secara mengejutkan, berhasil meninggalkan kesan yang kuat.
Di era ketika adaptasi game ke film sering berakhir kacau, Mortal Kombat justru tampil berbeda. Tidak sempurna, tidak sepenuhnya akurat, tapi entah kenapa… film ini terasa mengerti gamenya.
Lalu, bagaimana kesannya jika ditonton ulang sekarang?
Mari kita bedah Mortal Kombat (1995) dari kacamata nostalgia dan lihat kenapa film ini masih sering disebut sebagai adaptasi game terbaik di era 90-an.
Sinopsis Mortal Kombat (1995)
Sekelompok petarung Earthrealm berpartisipasi dalam turnamen Mortal Kombat untuk melindungi Bumi dari ditaklukkan oleh kekuatan jahat.
1. Yang Paling Dasar: Film Ini Terasa Paham Gamenya

Sebagai adaptasi, Mortal Kombat (1995) jelas tidak sepenuhnya setia pada game aslinya. Bahkan, film ini punya “dosa besar” yang sering disorot fans: Scorpion dan Sub-Zero direduksi menjadi tukang pukul Shang Tsung, membuat karakteristik dan rivalitas unik mereka nyaris hilang.
Namun di luar itu, fondasi utama gamenya tetap utuh.
Masih ada turnamen bela diri maut dengan taruhan nasib dunia. Masih ada Shang Tsung sebagai pengawas dan manipulator di balik layar. Masih ada Goro sebagai "mid-boss." Pertarungan disajikan dalam format duel satu lawan satu, di berbagai arena berbeda—yang terasa seperti stage-stage di dalam game.
Yang tak kalah penting, karakter-karakternya (meski mengalami penyesuaian) tetap mudah dikenali sebagai versi film dari sosok di game. Liu Kang (Robin Shou) masih terasa sebagai protagonis lurus dan disiplin, sementara Johnny Cage (Linden Ashby) sukses membawa aura aktor sok jago yang nyentrik tapi kompeten.
Hal-hal dasar seperti ini mungkin terdengar sepele sekarang. Tapi di era 90-an, pendekatan seperti ini sebenarnya langka, bahkan nyaris ajaib. Cukup bandingkan dengan Street Fighter (1994) yang kehilangan rasa “street fighting keliling dunia”, atau Super Mario Bros. (1993) yang interpretasinya… ya, benar-benar ajaib dengan caranya sendiri.
Di titik inilah Mortal Kombat terasa berbeda: film ini mungkin tidak sempurna, tapi jelas dibuat oleh orang-orang yang setidaknya mengerti apa itu Mortal Kombat.
2. Film kelas B yang dielevasi oleh performance aktornya

Dengan budget yang lebih kecil dibanding Street Fighter (1994), sekitar 20 juta dolar versus 35 juta dolar, Mortal Kombat (1995) memang punya aura film kelas B. Di beberapa bagian, efek visualnya terasa seadanya, dan jajaran aktornya pun mayoritas bukan nama besar, bahkan untuk standar era 90-an.
Namun yang membuat film ini menonjol adalah satu hal krusial: banyak aktornya tampil maksimal.
Christopher Lambert berada di posisi yang agak lucu di atas kertas, memerankan dewa petir bernama Rayden (iya yang ini ditulisnya begitu). Raiden seharusnya bernuansa Asia tapi Rayden ini jelas-jelas bule Barat. Tapi karisma yang ia bawa begitu kuat. Performanya mengingatkan pada perannya sebagai Connor MacLeod di Highlander: sosok bijak, misterius, sedikit jahil, dan terasa beda dari dunia di sekitarnya. Ia menjadi jangkar tonal film ini.
Lalu ada Cary-Hiroyuki Tagawa sebagai Shang Tsung. Secara fisik, ia mungkin tidak sepenuhnya menyerupai versi game saat itu, tapi totalitas aktingnya membuat karakter ini langsung ikonik. Begitu ikoniknya, hingga puluhan tahun kemudian, Mortal Kombat 11 menghadirkan Shang Tsung sepenuhnya dengan wajah dan suara Tagawa.
Trevor Goddard juga tak kalah menarik. Awalnya ia mencoba aksen Cockney Inggris, tapi yang keluar justru aksen Australia... dan anehnya, itu masih masuk ke karakternya dan jadi memorable. Bahkan, aksen Aussie tersebut kemudian diadopsi permanen ke karakter Kano di game-game selanjutnya.
Di sisi hero, Linden Ashby berhasil menyajikan Johnny Cage dengan kombinasi sok jago, nyablak, tapi kompeten. Sementara Robin Shou (Liu Kang) dan Talisa Soto (Kitana) memberikan performa yang minimal solid, cukup untuk menopang cerita tanpa menjadi beban.
Gabungan semua ini membuat Mortal Kombat terasa lebih dari sekadar film adaptasi game 90-an dengan budget 20 jutaan. Ini adalah film kelas B yang diangkat oleh aktor-aktornya menjadi sesuatu yang punya jiwa dan daya ingat panjang.
3. Tentu film ini masih punya kelemahan

Apakah Mortal Kombat (1995) film yang sempurna?
Tentu saja tidak.
Ada beberapa kelemahan yang cukup menonjol. Salah satunya adalah pengolahan karakter para ninja (Scorpion, Sub-Zero, dan Reptile) yang terasa kurang maksimal. Mereka lebih sering berfungsi sebagai ancaman visual ketimbang karakter dengan identitas kuat. Namun, dengan jumlah tokoh yang sangat banyak, memang terasa ada beberapa karakter yang “dikorbankan” demi fokus cerita.
Lalu ada duel Liu Kang vs Reptile, yang terasa agak janggal. Pertarungannya muncul mendadak dan setelah selesai nyaris tidak pernah disinggung lagi, seolah ini adalah match tambahan yang ditempel belakangan. Dari sisi struktur cerita, ini jelas terasa tambalan.
Karakter Sonya Blade juga punya masalah tersendiri. Meski Brigitte Wilson secara visual cukup cocok, penampilannya sebagai petarung terasa terbatas dan ia bahkan sempat jatuh ke peran sandera, membuatnya terkesan sebagai “gadis action palsu” dibanding petarung elite seperti di game.
Dan tentu saja, ada efek visual yang bahkan untuk standar tahun 1995 pun terasa kurang meyakinkan.
Namun menariknya, banyak dari kelemahan ini tetap punya sisi yang membuat penonton lebih maklum... atau bahkan masih bisa dinikmati.
Duel Liu Kang vs Reptile, meski terasa tempelan, justru punya koreografi yang memikat dan menjadi salah satu adegan pertarungan paling diingat. Brigitte Wilson pun bisa dimaklumi keterbatasannya, mengingat ia sebenarnya adalah pengganti Cameron Diaz yang cedera sebelum syuting dimulai. Andai Diaz jadi terlibat, ia kemungkinan besar akan menjadi nama besar kedua setelah Christopher Lambert, mengingat momentumnya yang sedang naik pasca The Mask (1994).
Akhirnya, bahkan di bagian-bagian paling ganjilnya sekalipun, Mortal Kombat (1995) sering kali masih berhasil menghibur. Entah karena niat, kebetulan, atau kombinasi keduanya, film ini punya cara unik untuk tetap membuat penontonnya memaafkan kekurangannya.
Dan itu, untuk film adaptasi game 90-an, sudah merupakan pencapaian tersendiri.
4. Kesimpulan?

Gelar “film adaptasi game terbaik era 90-an” memang terdengar seperti pujian… sekaligus hinaan terselubung.
Soalnya, saingan Mortal Kombat (1995) di era itu adalah film-film seperti Street Fighter (1994), Super Mario Bros. (1993), Double Dragon (1994), Wing Commander (1999), belum lagi sekuelnya sendiri yang ambyar, Mortal Kombat: Annihilation (1997).
Yep. Hampir semuanya punya masalah besar masing-masing.
Namun justru di tengah lanskap itulah Mortal Kombat (1995) menonjol. Film ini menghibur, ditopang oleh performa aktor yang kuat, dan menyajikan adegan laga yang cukup memuaskan. Yang terpenting, film ini masih punya spirit gamenya, sesuatu yang ternyata sangat langka di era 90-an.
Bagi saya, gelar “film adaptasi game terbaik” ini bahkan bertahan cukup lama. Baru di dekade ini, adaptasi game benar-benar melompat jauh lewat judul-judul seperti Arcane, The Last of Us, dan Fallout. Dan itu menunjukkan betapa jauhnya standar adaptasi dulu tertinggal.
Jadi, untuk penilaian pribadi saya: 3,5 dari 5 bintang.
Bukan dari kacamata film kualitas Oscar, karena jelas ini bukan itu.
Tapi sebagai film aksi 90-an yang berusaha menerjemahkan spirit gamenya sebaik mungkin, Mortal Kombat (1995) tergolong solid. Terutama karena charm-nya masih terasa bahkan setelah puluhan tahun berlalu.
Kalau menurut kamu sendiri gimana?
Setuju nggak dengan penilaian ini? Sampaikan pendapatmu di kolom komentar!
| Producer | Lawrence Kasanoff |
| Writer | Kevin Droney |
| Age Rating | 13+ |
| Genre | Action |
| Duration | 101 Minutes |
| Release Date | 18-8-1995 |
| Theme | Good versus evil |
| Production House | New Line Cinema, Threshold Entertainment |
| Where to Watch | HBO Max |
| Cast | Linden Ashby, Cary-Hiroyuki Tagawa, Robin Shou, Bridgette Wilson, Talisa Soto, Christopher Lambert |


















