Review Film Street Fighter 1994, Respek untuk Raul Julia sang Bison

- Sinopsis Street Fighter (1994)
- Tapi Raul Julia beneran all-out untuk film ini
- Beberapa komedinya memang kena
Tahun 1994, Street Fighter II masih jadi buah bibir di kalangan gamer Indonesia, baik yang rajin nongkrong di arcade maupun yang main di home console. Komik-komik bajakan Hong Kong-nya menjamur dan laris manis, diburu para gamer yang haus akan cerita dari semesta Street Fighter.
Maka ketika adaptasi filmnya tayang di bioskop, dibintangi Jean-Claude Van Damme yang kala itu masih berada di puncak popularitas, rasanya wajib ditonton. Saya pun ikut duduk di bangku bioskop.
Namun bahkan sebagai bocah, saya sudah bisa merasakan ada yang… aneh. Film ini terasa janggal dan jauh dari ekspektasi yang dibangun oleh gamenya.
Meski begitu, entah kenapa Street Fighter (1994) tetap saya tonton berulang kali... mulai dari format LaserDisc (yes, era kuno itu...), VCD, DVD, hingga penayangan ulang di TV kabel. Dan seiring waktu, meskipun jelas film ini penuh keanehan dan keputusan kreatif yang dipertanyakan, ada pula aspek-aspek tertentu yang justru layak dihargai dan diapresiasi.
Apa saja?
Simak ulasan Street Fighter (1994) berikut ini.
Sinopsis Street Fighter (1994)
Kolonel Guile memimpin operasi militer untuk menjatuhkan M. Bison, diktator kejam yang menguasai Shadaloo City. Dengan ambisi menaklukkan dunia, Bison mengembangkan proyek pasukan super soldier demi memperkuat cengkeraman kekuasaannya.
Di tengah konflik berskala global ini, Guile bekerja sama dengan berbagai petarung dari seluruh dunia, masing-masing dengan motif dan latar belakang berbeda, untuk menghentikan rencana gila Bison.
Mampukah Guile dan para sekutunya menjatuhkan sang diktator sebelum dunia jatuh ke tangan Shadaloo?
1. City Hunter (1993) lebih Street Fighter daripada film ini

Masalah utama Street Fighter (1994) sebagai adaptasi adalah betapa jauhnya ia menyimpang dari sumber aslinya. Guile digambarkan bertubuh lebih pendek dengan aksen Belgia yang aneh, banyak karakter berubah drastis dari versi game-nya, kostum tak akurat, dan jurus-jurus ikonik entah tidak muncul sama sekali atau terasa sangat underwhelming.
Ironisnya, representasi Street Fighter yang lebih setia justru muncul dalam adegan singkat di City Hunter (1993), saat Jackie Chan berhadapan dengan Gary Daniels.
Di sana, Jackie dan Gary mengenakan kostum yang akurat, bertarung dengan efek suara khas game, dan bahkan diiringi lagu tema asli Street Fighter. Dalam hitungan menit, adegan tersebut terasa lebih “Street Fighter” daripada keseluruhan film adaptasi resminya.
Sementara itu, Street Fighter versi 1994 tampak berusaha keras dibuat lebih “Amerika”, bahkan sampai menjadikan Guile sebagai tokoh utama alih-alih Ryu. Namun alih-alih terasa epik atau serius, pendekatan ini justru membuat filmnya jatuh ke ranah camp yang aneh.
2. Tapi Raul Julia beneran all-out untuk film ini

Kisah di balik layar ini mungkin sudah sering kamu dengar.
Raul Julia, pemeran M. Bison, sebenarnya telah didiagnosis kanker perut sejak 1991. Ia merahasiakan kondisinya dari publik, bahkan saat tubuhnya semakin kurus, ia menyebutnya sekadar efek diet.
Peran Bison ia ambil bukan demi prestise, melainkan karena alasan yang sederhana dan menyentuh: anak-anaknya menyukai Street Fighter.
Apakah secara fisik Raul Julia benar-benar cocok sebagai Bison? Mungkin tidak, terutama jika dibandingkan dengan penggambaran modern Bison yang konsisten besar, kekar, dan mengintimidasi secara fisik. Dan karena dia sudah sakit, jelas dia tidak bisa berakting sendiri untuk menyajikan adegan aksi dengan optimal..
Namun Raul Julia selalu punya senjata lain: karisma. Sejak peran terdahulunya seperti Gomez Addams, sudah jelas bahwa ia mampu memenuhi layar hanya dengan gestur, intonasi suara, dan ekspresi. Di Street Fighter (1994), pada salah satu fase terakhir hidupnya, ia menghadirkan Bison yang kocak, teatrikal, namun tetap meyakinkan sebagai diktator megalomania yang berbahaya, sosok yang memang harus disingkirkan.
Tak heran jika hingga hari ini, Raul Julia masih terasa sebagai aspek terkuat, paling berkesan, dan paling “hidup” dari film Street Fighter (1994).
3. Beberapa komedinya memang kocak

Meski Street Fighter (1994) jelas film yang aneh, harus diakui: beberapa momen komedinya benar-benar kena sasaran.
Salah satu yang paling ikonik tentu jawaban M. Bison kepada Chun-Li, kejam, dingin, tapi justru kelamnya itulah yang membuatnya lucu:
“For you, the day Bison graced your village was the most important day of your life. But for me, it was Tuesday.”
Ada juga momen konyol Zangief saat melihat siaran truk yang melaju di layar TV, lalu panik berteriak, “Cepat! Ganti channelnya!”, lelucon sederhana, tapi timing-nya pas dan mudah diingat.
Saking melekatnya versi Zangief di film ini, ketika desain karakter Street Fighter (2026) diungkap (dan itu pun mirip Zangief), sempat muncul komentar di Twitter yang berbunyi kurang lebih, “Ajaib juga, mereka selalu menemukan aktor yang pas untuk Zangief, tapi kesulitan casting karakter lain.”
Ya, ini jelas bukan adaptasi Street Fighter yang ideal. Akting banyak pemainnya terasa kelas B, ceritanya pun sering meleset. Namun setidaknya, di tengah kekacauan itu, film ini masih berhasil menyelipkan beberapa momen komedi yang benar-benar menghibur.
4. Jenis film yang mungkin campy, tapi berkesan

Dengan komedi yang sebagian sudah tergolong klasik (bahkan masih sering dikutip hingga sekarang) serta penampilan solid dari aktor seperti Raul Julia, Street Fighter (1994) akhirnya menjadi film yang… unik.
Saya tidak akan menyebutnya adaptasi yang bagus. Namun elemen-elemen tertentu, terutama komedi dan penokohan karakter seperti M. Bison, Zangief, dan Dee Jay, berhasil mengangkatnya dari sekadar “adaptasi buruk” menjadi film yang masih lumayan dinikmati untuk tontonan santai.
Justru karena itu, kegagalan Street Fighter: The Legend of Chun-Li (2009) terasa jauh lebih mencolok. Film tersebut menjadi contoh adaptasi yang tidak hanya buruk secara kualitas, tetapi juga gagal menawarkan satu pun aspek yang cukup kuat untuk sekadar menghibur.
Pada akhirnya, Street Fighter (1994) mungkin campy, berantakan, dan jauh dari ideal—namun ia setidaknya punya jiwa, momen, dan performa yang membuatnya tetap diingat hingga hari ini.
5. Kesimpulan

Saya memberikan Street Fighter (1994) nilai 2,5 dari 5 bintang.
Ini jelas bukan adaptasi yang loyal terhadap Street Fighter. Bahkan jika kita membandingkannya dengan film-film 90-an lain, adegan singkat Street Fighter di City Hunter (1993) versi Jackie Chan terasa lebih loyal pada gamenya ketimbang seluruh rangkaian pertarungan di film ini.
Menontonnya kembali di 2025 juga cukup membuka mata... akting sejumlah aktornya terasa jauh lebih kaku dan kering daripada yang saya ingat.
Namun anehnya, film ini tidak sepenuhnya ampas. Di balik segudang masalahnya, Street Fighter (1994) masih punya “hati”. Beberapa humornya benar-benar kena dan bahkan sudah jadi klasik, sementara performa Raul Julia terasa tulus dan total, seolah ia memang mengerahkan seluruh tenaganya demi menghibur anak-anaknya yang penggemar Street Fighter.
Jadi meski nilainya berada di bawah 3 bintang, ini tetap film yang masih bisa menghibur jika kamu hanya mencari tontonan laga iseng, tanpa ekspektasi tinggi soal adaptasi setia.
Gimana menurutmu?
Sampaikan pendapatmu di kolom komentar!
| Producer | Edward R. Pressman, Kenzo Tsujimoto |
| Writer | Steven E. de Souza |
| Age Rating | 13+ |
| Genre | Action |
| Duration | 102 Minutes |
| Release Date | 23-12-1994 |
| Theme | Tirani, rebellion |
| Production House | Edward R. Pressman Productions, Capcom Co. Ltd. |
| Where to Watch | DVD, Apple TV |
| Cast | Jean-Claude Van Damme, Raul Julia, Ming-Na Wen, Damian Chapa, Kylie Minogue |


















