- mantan hitokiri (Shujiro dan Bukotsu),
- pemanah Ainu (Kamuykocha),
- mantan ninja (Kyojin),
- guru perguruan pedang (Ukyo Kikuomi),
- murid-murid Kyohachiryu, aliran yang tersembunyi (Iroha dan para saudara seperguruannya),
- hingga enforcer Kodoku yang sangat kuat dan misterius (Sakura).
Penilaian Series: Last Samurai Standing Season 1, Penuh Aksi Pedang

- Seri Last Samurai Standing menarik perhatian dengan latar era Meiji dan tema battle royale samurai yang intens.
- Karakter-karakter dalam seri ini memiliki penokohan yang kuat, beragam, dan memikat dari berbagai latar belakang.
- Plot utama yang belum selesai di episode 6 menjadi masalah khas seri Netflix, namun aksi dan karakter membuatnya direkomendasikan untuk para penggemar seri aksi.
Pada Rabu malam (19/11/2025), akhirnya saya menamatkan Last Samurai Standing, sebuah seri yang menampilkan perjuangan terakhir para shizoku, mantan samurai yang dipaksa bertarung demi hadiah uang besar di era ketika kejayaan mereka sudah tinggal sejarah.
Bagaimana penilaian saya terhadap seri ini?
Apakah layak ditonton, terutama bagi para penggemar samurai dan drama aksi?
Mari kita ulas!
Synopsis Last Samurai Standing season 1 (2025)
Pada era Meiji (akhir abad ke-19), 292 petarung berkumpul di Kuil Tenryū-ji, Kyoto, selepas matahari terbenam, tertarik oleh hadiah besar sebesar ¥100.000. Aturannya sederhana: rebut tanda kayu milik peserta lain dan menempuh perjalanan hingga ke Tokyo. Siapa yang berhasil mencapai tujuan, dialah pemenangnya.
Salah satu peserta, Shujiro Saga, ikut dalam kontes berbahaya ini demi satu tujuan pribadi: menolong istri dan anaknya yang sedang sakit.
1. Langsung memikat perhatian saya

Yang pertama kali mendorong saya mencoba Last Samurai Standing adalah rekomendasi dari teman kantor di IDN: “Kayak battle royale, tapi tokohnya samurai.”
Lebih tepatnya: mantan samurai.
Seri ini mengambil latar era Restorasi Meiji, sekitar satu dekade setelah Perang Boshin. Dari kelas istimewa yang dulu memegang banyak hak, para samurai kini kehilangan posisi mereka, bahkan dilarang membawa pedang di tempat umum. Shujiro, tokoh utama kita, hidup miskin; satu anaknya sudah meninggal, dan keluarganya yang tersisa menderita kolera. Tanpa pilihan lain, ia menerima undangan aneh yang menjanjikan hadiah 100.000 yen bagi pemenang.
Tema battle royale selalu punya daya tarik sendiri: banyak karakter, banyak potensi konflik, dan rasa tegang bahwa tidak semua favorit kita akan bertahan hidup hingga akhir. Last Samurai Standing menegaskan itu sejak awal, bahkan karakter yang terlihat menonjol di episode 1 (dan sempat disorot di trailer) ternyata tewas cepat di episode 2.
Salah satu kekuatan terbesar seri ini adalah aksi pertarungannya. Baik duel pedang satu lawan satu maupun bentrokan massal, semuanya dikoreografikan dengan gaya yang mengingatkan saya pada Rurouni Kenshin live-action: gerakan cepat, akrobatik, intens, tapi masih tetap terasa membumi. Hampir setiap episode menyajikan satu pertarungan yang benar-benar menggigit, dengan format dan tensi yang berbeda-beda.
Ditambah dengan intrik konspirasi di balik Kodoku serta pergulatan batin Shujiro dan Futaba Katsuki, gadis muda yang mengikuti perjalanan mereka, enam episode Last Samurai Standing terasa sangat memikat hingga mudah saja ditonton habis dalam satu malam.
2. Karakter adalah salah satu kekuatan utama seri ini

Untuk cerita bertema battle royale, penokohan adalah aspek yang wajib dieksekusi dengan benar. Kita harus peduli pada tokoh utama, punya antagonis yang kuat, ditemani sekutu-sekutu menarik, dan tentu saja, karakter abu-abu yang membuat kita bertanya-tanya: “Dia bakal bantu atau malah bunuh tokoh utama kita?”
Last Samurai Standing sukses besar dalam hal ini.
Seri ini menampilkan beragam karakter dari latar belakang yang kaya dan khas era transisi Meiji:
Hampir semuanya tampil memikat. Bahkan karakter yang hanya muncul sebentar sebelum mati pun tetap mendapatkan pengenalan yang cukup kuat untuk meninggalkan kesan.
Seri ini juga menghadirkan dinamika yang kini cukup familiar di pop culture: hubungan antara figur “ayah” dan “anak.” Dalam kasus ini, bukan ayah–anak kandung, melainkan Shujiro dan Futaba. Futaba yang polos, terseret ke dalam kontes sadis karena keadaan, menjadi kontras yang pas bagi Shujiro, seorang mantan algojo yang sangat kuat tapi menyimpan trauma dan luka masa lalu. Keduanya saling menyeimbangkan, dan hubungan mereka menjadi salah satu pusat emosi dalam cerita.
3. Tapi seri ini punya masalah khas seri Netflix

Last Samurai Standing berakhir di episode 6, tapi plot utamanya jelas belum selesai. Ini memang murni Season 1.
Meski satu antagonis besar sudah berhasil diatasi, masih banyak peserta Kodoku yang tersisa. Shujiro pun masih jauh dari Tokyo, dan ironisnya, beberapa sosok penting yang berpotensi membongkar atau menghentikan Kodoku justru dieliminasi lebih awal. Dengan kata lain, cerita baru saja mulai memanas ketika season ini berakhir.
Ini adalah pola yang cukup khas untuk seri-seri Netflix. Saya langsung teringat pada House of Ninjas: antagonis utama season memang teratasi, tetapi kisah besarnya masih menggantung.
Masalahnya?
Kita sebagai penonton harus deg-degan menunggu apakah seri ini akan benar-benar mendapatkan Season 2. Netflix terkenal tidak selalu royal dalam memperpanjang seri, dan penantian itu selalu membuat frustrasi.
Namun melihat Last Samurai Standing masuk Top 10 Netflix di banyak negara, peluangnya terbilang cukup besar. Harapan itu ada, dan mudah-mudahan tidak disia-siakan.
4. Direkomendasikan untuk...

Dengan aksi yang gila-gilaan dan deretan karakter yang memikat, Last Samurai Standing sangat saya rekomendasikan untuk para penggemar seri aksi, terutama mereka yang menyukai pertarungan pedang penuh gaya. Fans Rurouni Kenshin (versi live-action) kemungkinan besar akan jatuh hati, sebab seri ini tidak hanya sama-sama memiliki latar era Meiji, tetapi juga menyajikan koreografi pertarungan yang setara dalam intensitas dan keseruan.
Bahkan buat penonton yang biasanya lebih nyaman nonton anime dibanding live-action, seri ini tetap layak dicoba. Variasi karakter yang unik, dinamika hubungan antar tokohnya, serta duel-duelnya yang selalu segar membuat Last Samurai Standing punya daya tarik lintas genre.
Namun sebaliknya, saya tidak merekomendasikan seri ini bagi penonton yang sensitif terhadap kekerasan yang eksplisit. Last Samurai Standing menampilkan banyak pertumpahan darah, kematian brutal baik oleh pedang maupun senjata api, hingga potongan tubuh yang diperlihatkan cukup detail. Jika hal-hal seperti ini bukan selera kamu, seri ini mungkin akan terasa terlalu sadis.
5. Kesimpulan

Saya memberi Last Samurai Standing Season 1 nilai 4,5 dari 5 bintang.
Ini adalah pembukaan yang sangat kuat. Kamu akan dibuat peduli pada perjalanan Shujiro dan Futaba, sekaligus terpikat, atau dibuat kesal atau penasaran, oleh para kontestan dan penyelenggara Kodoku yang masih tersisa. Setiap karakter meninggalkan kesan, dan setiap episode menambah lapisan baru pada misteri besar yang sedang dibangun.
Namun harus diakui, setelah episode 6 berakhir, season ini memang terasa sebagai fondasi untuk konflik yang jauh lebih besar. Ini baru pemanasan, sebuah set-up masif untuk pertarungan dan intrik yang lebih epik di musim berikutnya.
Sekarang tinggal satu pertanyaan penting:
apakah Netflix akan berbaik hati memberikan Season 2?
Melihat hype dan popularitasnya, harapannya cukup besar, tapi tetap saja kita harus menunggu.
Kalau menurutmu bagaimana?
Sampaikan pendapatmu di kolom komentar!
| Producer | Kosuke Oshida |
| Writer | Michihito Fujii |
| Age Rating | D 17+ |
| Genre | Action |
| Duration | 58 Minutes |
| Release Date | 13-11-2025 |
| Theme | Samurai |
| Production House | Netflix |
| Where to Watch | Netflix |
| Cast | Junichi Okada, Yumia Fujisaki, Kaya Kiyohara |



















