GENRE: Action Drama
ACTORS: Leonardo DiCaprio, Sean Penn, Benicio Del Toro
DIRECTOR: Paul Thomas Anderson
RELEASE DATE: 24 September 2025
RATING: 4/5
Penilaian Film One Battle After Another: Antara Revolusi dan Keluarga

- Refleksi atas Ideologi dan Kehidupan Sehari-hari
- Karakter dan Dinamika Keluarga
- Gaya Sinematik
Paul Thomas Anderson kembali dengan proyek ambisius yang menyulut perbincangan luas di kalangan pecinta film. Setelah sukses mengadaptasi Inherent Vice satu dekade lalu, kali ini ia menoleh ke novel Vineland karya Thomas Pynchon dan menyulapnya menjadi One Battle After Another. Film berdurasi hampir tiga jam ini menggabungkan satire politik, komedi gelap, dan drama keluarga yang disfungsional, dibalut dengan gaya sinematik yang liar khas Anderson.
Dibintangi Leonardo DiCaprio sebagai Bob, seorang revolusioner lusuh yang sudah kehilangan arah, film ini juga menghadirkan Teyana Taylor sebagai Perfidia, pemimpin karismatik yang berani sekaligus kontroversial. Didukung oleh Regina Hall, Chase Infiniti, Sean Penn, dan Benicio del Toro, deretan nama besar ini membawa film menjadi sajian penuh energi dan kontras emosional. Skor musik Jonny Greenwood menambah intensitas, mempertegas nuansa paranoia sekaligus absurditas yang menjadi jantung kisahnya.
Lebih dari sekadar tontonan aksi, One Battle After Another berusaha membaca ulang sejarah kontra-budaya Amerika dengan cara yang relevan bagi kondisi politik kontemporer. Film ini membicarakan isu imigrasi, kekerasan negara, hingga identitas generasi baru yang mewarisi trauma lama. Lebih gilanya lagi, beberapa aksi aparat dan pencapaian di dalamnya, mengingatkan kondisi Indonesia saat ini yang masih berada di persimpangan jalan.
1. Refleksi atas Ideologi dan Kehidupan Sehari-hari

Seiring waktu, film ini menunjukkan bahwa perlawanan bukanlah momen heroik tunggal melainkan siklus yang terus berulang. Lewat perjalanan karakter Bob Ferguson yang dulu revolusioner kini menjadi lelaki yang hidup dalam paranoia dan kehilangan identitas, kita melihat bagaimana ideologi muda yang idealis bisa terkikis oleh waktu, kekerasan, dan kelelahan batin. Namun film ini tidak menyerah kepada keputusasaan. Perlawanan masih memungkinkan meskipun terkadang dalam bentuk yang jauh dari romantis atau megah.
Tema-tema seperti imigrasi, kekerasan negara, pengasingan, hingga dominasi militer tidak diberikan sebagai sampingan melainkan bagian pokok yang menggarisbawahi bagaimana institusi besar dan kebijakan publik membentuk kehidupan individu dan keluarga. Konflik politik disandingkan dengan konflik internal keluarga, menjadikan skala besar dan kecil saling membentur dan saling memengaruhi.
2. Karakter dan Dinamika Keluarga

Bob meskipun protagonis tidak berfungsi sebagai figur sempurna. Dia lelah, tersesat, bahkan sering lupa kode-kode yang dulu ia pakai dalam pergerakan. Anak perempuannya, Willa, menjadi lensa yang sangat penting. Ia mewakili generasi baru yang mewarisi bukan hanya trauma tetapi juga tanggung jawab untuk memilih jenis perlawanan mereka sendiri. Hubungan ayah dan anak di antara hal-hal populer seperti pertanyaan tentang bahasa, identitas, dan harapan sosial terasa nyata dan menyentuh.
Perfidia sebagai pasangan sekaligus pemimpin revolusi mendapatkan sorotan kuat. Ketegasannya, kebijaksanaannya dalam menggunakan kekuasaan, serta kompleksitas moralnya memperkaya lapisan drama. Pertanyaan apakah tujuan menghalalkan cara atau kapan cara menjadi pembenaran ketidakadilan menjadi inti dilema yang ia hadirkan.
3. Gaya Sinematik, Nada, dan Atmosfer

Film ini sangat berisik dalam arti positif. Visualnya intens, aksi dan kejutan muncul tanpa henti, sementara musik latar sangat agresif dalam membangun ketegangan. Di sisi lain terdapat momen-momen hening dan reflektif terutama dalam interaksi antara Bob dan Willa yang memberi ruang untuk napas dan introspeksi.
Tonasi film cepat beralih. Dari adegan revolusi bersenjata ke kejar-kejaran mobil di gurun, lalu beralih ke potret keluarga yang rapuh dan kembali ke kekerasan sistemik. Perubahan mood ini bisa terasa membingungkan bagi penonton yang mengharapkan cerita linear. Justru di situlah kekuatannya karena dunia nyata juga penuh gesekan tanpa garis pemisah yang jelas antara pahlawan dan penjahat.
4. Arti Sebuah Kegamangan

Meski begitu, One Battle After Another bukan tanpa kekurangan. Dengan durasi mendekati tiga jam dan banyaknya subplot yang berseliweran, beberapa karakter terasa lebih berfungsi sebagai simbol daripada individu yang sepenuhnya hidup. Hal ini membuat keterikatan emosional penonton terkadang melemah terutama pada tokoh-tokoh sampingan. Kepadatan ide juga menjadi tantangan tersendiri. Anderson memasukkan terlalu banyak isu mulai dari imigrasi, supremasi kulit putih, kekuasaan militer, hingga dinamika keluarga. Sebagian penonton mungkin merasa kewalahan oleh informasi yang menumpuk tanpa arah yang jelas.
Selain itu, film ini meninggalkan banyak hal dalam ambiguitas. Nasib kelompok revolusioner, masa depan Willa, hingga moralitas karakter utama sengaja dibiarkan menggantung. Bagi sebagian penonton, ketidakjelasan ini bisa terasa mengganggu karena tidak ada resolusi yang memuaskan. Namun di sisi lain, ambiguitas justru menjadi kekuatan film karena selaras dengan pesan besar yang ingin disampaikan. Dalam dunia yang penuh konflik dan disorientasi, jarang ada jawaban yang sederhana atau akhir yang benar-benar tuntas.
5. Sebuah Monolog Kesimpulan

Walau bukan film sempurna, One Battle After Another adalah salah satu karya paling relevan dalam sinema kontemporer. Ia berani menggabungkan gema sejarah aktivisme dengan situasi politik hari ini tanpa berpura-pura bahwa solusi mudah ada. Film ini membangkitkan pertanyaan tentang arti identitas ketika institusi menekan, arti menjadi orang tua ketika konflik terus membayangi, dan bagaimana generasi baru memilih perang budaya mereka sendiri.
Sebagai tontonan, film ini mendebarkan. Sebagai refleksi, ia mengganggu. Sebagai karya seni, ia ambisius. Anderson memungkinkan pemirsa bukan hanya menyaksikan pertempuran tetapi merasakan betapa melelahkannya pertarungan itu sekaligus menyadari bahwa ia tetap diperlukan.



















