GENRE: Action, Superhero
ACTORS: Ben Affleck, Henry Cavill, Gal Gadot
DIRECTOR: Zack Snyder
RELEASE DATE: 25-3-2016
RATING: 3/5
Penilaian Film Nostalgia: Batman V Superman, Duel Dua Superhero DC!

- Sinopsis film Batman v Superman: Dawn of Justice yang mengisahkan konflik antara Superman dan Batman, serta perjalanan mereka menuju kerja sama dalam menghadapi ancaman besar.
- Durasinya yang panjang membuat film terasa padat dengan subplot yang belum menyatu dengan baik, namun pada paruh kedua film mulai menunjukkan ketegangan yang memanas.
- Karakterisasi Superman, Batman, dan Wonder Woman masih menjadi topik kontroversial, meski penampilan visual yang megah tetap menjadi highlight dari film ini.
Superman (2025) akan tayang di Indonesia pada hari Rabu, 9 Juli 2025. Menjelang debut film terbaru dari DCU arahan James Gunn ini, mari kita nostalgia, mengulas kembali beberapa film pendahulunya yang pernah membentuk persepsi kita terhadap sang Man of Steel.
Salah satunya adalah film yang sangat ikonik sekaligus kontroversial ini.
Review ini pertama kali saya tulis dan terbitkan pada 25 Maret 2016, saat Batman v Superman: Dawn of Justice dirilis di bioskop. Sebuah film yang kala itu jadi pertemuan perdana dua ikon besar DC Comics di layar lebar, dan memicu perdebatan panjang di kalangan fans serta kritikus.
Masih relevankah film ini setelah hampir satu dekade?
Apakah pendapat saya masih sama seperti dulu?
Simak ulasan ulang kami dalam Penilaian Film Nostalgia: Batman v Superman berikut ini!
1. Sinopsis film

Pasca pertempuran dahsyat melawan Jenderal Zod di Man of Steel, Superman berusaha memperbaiki citranya. Ia terus menggunakan kekuatannya untuk menolong siapa pun, di mana pun. Namun tak semua orang percaya padanya. Keberadaannya sebagai makhluk super dari luar angkasa tetap memicu rasa takut dan ketidakpercayaan global.
Ketika sebuah misi penyelamatan Superman justru memicu kontroversi internasional, dunia mulai mempertanyakan: apakah ia pahlawan… atau ancaman?
Sementara itu, di kota Gotham, Bruce Wayne, alias Batman, menyaksikan langsung kehancuran yang melanda Metropolis. Bagi Bruce, sosok Superman bukan penyelamat, tapi bahaya yang tak bisa dibiarkan. Didorong trauma dan rasa takut, ia mulai menyusun rencana untuk menghadapi makhluk yang menurutnya bisa menghancurkan dunia kapan saja.
Dua ikon keadilan, dua cara pandang berbeda, satu konfrontasi yang tak terelakkan.
Batman v Superman: Dawn of Justice menyajikan pertarungan dua legenda… dan konsekuensinya akan menggema di seluruh dunia.
2. Durasi yang di 2016 terasa panjang dan masih tetap terasa panjang

Salah satu hal pertama yang saya sorot dari Batman v Superman: Dawn of Justice versi bioskop adalah durasinya: 153 menit, atau dua setengah jam. Di tahun 2016, durasi sepanjang ini terasa sangat berani untuk film superhero, terutama dengan tone yang gelap dan atmosfer yang berat.
Saat itu, saya bahkan sempat memberi imbauan bagi orang tua yang ingin membawa anak-anak: pikirkan dua kali. Bukan hanya karena nuansa film yang lebih cocok untuk penonton remaja dan dewasa, tapi juga karena panjangnya durasi berpotensi membuat anak-anak gelisah di kursi bioskop.
Kini, film ini tersedia di platform streaming seperti HBO Max, jadi kamu bisa menonton dengan lebih fleksibel di rumah. Tapi tetap saja, sensasi bahwa film ini terasa panjang masih bisa kamu rasakan, dan itu bukan tanpa alasan.
Film ini dipenuhi berbagai subplot yang berdiri sendiri dan baru mulai terasa menyatu menjelang akhir.
- Ada misi Batman untuk menyelidiki “White Portuguese.”
- Ada kilas balik masa lalu Bruce Wayne yang coba memperkenalkan trauma versi baru.
- Ada segmen Superman menyelamatkan orang-orang, sembari digambarkan bergulat dengan krisis kepercayaan publik.
- Lex Luthor pun menjalankan ambisi misteriusnya dengan gaya yang teatrikal.
- Dan Lois Lane menyelidiki kasusnya sendiri, nyaris seperti subplot terpisah.
Semua ini dijejalkan ke penonton dalam sekitar satu jam awal film, membuat pacing terasa padat sekaligus tidak seimbang. Momen yang harusnya membangun ketegangan justru kerap terasa mengulur waktu.
Memang, berbagai elemen ini akhirnya berpadu menuju klimaks yang cukup berkesan dan spektakuler. Tapi itu pun datang setelah perjalanan panjang yang bisa membuatmu, jujur saja, tergoda mengecek ponsel lebih dari sekali.
Dan yang menarik? Ini bahkan bukan versi terpanjangnya.
Kalau kamu menonton Batman v Superman: Ultimate Edition, durasinya melonjak jadi 182 menit alias 3 jam penuh, menyajikan versi yang lebih lengkap, tetapi tentu lebih menuntut komitmen waktu dan fokus.
3. Namun setelah build up panjang itu, filmnya memang seru

Meski awal film terasa lambat dengan banyak subplot berseliweran, Batman v Superman akhirnya mulai menunjukkan taringnya saat memasuki paruh kedua. Ketegangan meningkat, dan atmosfer semakin memanas menuju konfrontasi yang telah dijanjikan di judulnya.
Benar, konflik antara Batman dan Superman mungkin tidak dibangun secara seimbang, khususnya dari sisi Superman. Motivasinya untuk menghadapi Batman kadang terasa lemah dan kurang terjelaskan. (Serius, hanya karena keberatan dengan metode vigilante-nya, Superman langsung menyatroni Gotham malam-malam?)
Namun begitu pertarungan mereka benar-benar terjadi, saya rasa banyak fans tetap akan menikmati momen itu. Visualnya megah, skenarionya penuh dentuman, dan buat yang menanti "Siapa yang akan menang?"—film ini memberikan duel yang cukup memuaskan di ranah sinematik.
Lalu datanglah kejutan di klimaks, di mana konflik pribadi berubah menjadi ancaman bersama.
Di tahun 2025 ini mungkin bukan spoiler besar lagi bahwa Batman dan Superman akhirnya harus bekerja sama, bersama Wonder Woman, untuk menghadapi ancaman besar bernama Doomsday. Trio Trinity DC Comics akhirnya bersatu di layar lebar untuk pertama kalinya—momen yang monumental bagi banyak penggemar.
Sayangnya, momen itu juga sudah dibocorkan di trailer saat film pertama kali rilis.
Alih-alih menjaga kejutan dan menggoda penonton dengan fokus pada konflik Batman dan Superman, pihak marketing justru menampilkan Doomsday… lengkap dengan adegan Wonder Woman bergabung dalam pertarungan. Alhasil, saat momen itu benar-benar terjadi dalam film, impact-nya terasa kurang mengejutkan.
Bahkan beberapa bagian duel Batman vs Superma, yang seharusnya jadi highlight utama, sudah ditampilkan lebih dulu di materi promosi. Di tahun 2016, saya ingat cukup kecewa karena banyak “wow moment” justru terasa familiar saat akhirnya tayang di bioskop.
Untungnya, satu hal penting berhasil disimpan rapat-rapat: nasib Superman menjelang akhir film tidak dibocorkan dalam trailer. Momen emosional ini setidaknya memberikan efek kejutan dan bobot naratif yang kuat, sebagai penutup dari film yang sempat terasa melelahkan tapi akhirnya memberikan sesuatu yang layak dikenang.
4. "Martha"

Dalam review asli saya pada 2016, saya tidak banyak membahas bagian ini karena alasan spoiler. Tapi sekarang, hampir satu dekade berlalu, rasanya sudah cukup aman untuk menyoroti salah satu momen paling kontroversial dari Batman v Superman: momen "Martha."
Meski saya masih menikmati duel epik Batman melawan Superman, dan cukup bisa menerima transisi dari pertarungan itu ke kerja sama Trinity DC menghadapi Doomsday, momen “Martha” tetap menjadi ganjalan, bahkan hingga sekarang.
Secara konsep, saya paham maksudnya. Batman dalam film ini digambarkan sebagai sosok yang sudah melampaui batas. Brutal, sinis, kehilangan arah moral, dan jelas tak lagi memegang prinsip "tidak membunuh" yang biasanya melekat pada dirinya.
Namun dalam sekejap, ketika Superman yang sekarat memohon agar ibunya diselamatkan, dan menyebut nama "Martha", ada sesuatu yang menyentuh Batman. Sosok alien yang selama ini ia benci dan anggap ancaman ternyata memiliki ibu, manusia biasa, yang namanya sama persis dengan Martha Wayne, ibu Bruce.
Dari perspektif psikologis, ini adalah momen pemicu traumatis yang menyentak sisi manusiawi Bruce Wayne, yang telah lama terkubur dalam kemarahan dan paranoia.
Tapi sayangnya, eksekusinya terasa terlalu mendadak dan tidak halus.
Transformasi Batman dari siap membunuh ke tersentuh dan panik terasa instan, dan nyaris komikal bagi sebagian penonton.
Tak heran kalau momen ini menjadi bahan olok-olok internet selama bertahun-tahun, memunculkan kelakar seperti:
“Kalau nama ibunya Superman bukan Martha, tapi Janet atau Karen, atau siapalah, apakah Batman tetap berhenti?”
Dan memang, terlalu kebetulan rasanya bahwa satu kata itulah yang memutar arah konflik besar ini. Sebuah turning point penting seharusnya terasa emosional, organik, dan masuk akal. Momen “Martha” sayangnya justru jadi simbol dari potensi emosional yang tidak dieksekusi dengan cukup halus.
5. Karakterisasi yang kalau dilihat lagi di 2016 juga masih bikin dahi berkerut

Bagian selanjutnya dari Penilaian Film Nostalgia: Batman v Superman ini menyentuh aspek penting: penokohan para karakternya. Wajar, karena pada dasarnya film ini bukan hanya tentang konflik dua ikon DC, tapi juga semacam pondasi awal untuk semesta Justice League yang saat itu tengah disiapkan.
Henry Cavill sejak Man of Steel sudah tampak solid sebagai Superman. Secara fisik, ia cocok, dan di film ini ia juga mendapat lebih banyak momen heroik. Sayangnya, karakterisasi Clark Kent tetap terasa datar dan terlalu sering diposisikan sebagai simbol, bukan pribadi. Masalah ini makin terasa jika kamu bandingkan dengan versi Superman di komik atau animasi yang punya lebih banyak sisi emosional dan manusiawi.
Ben Affleck sebagai Batman? Awalnya banyak yang pesimis, mengingat trauma publik dari Daredevil (2003), tapi saya sendiri merasa Affleck justru cukup berhasil membawakan sosok Bruce Wayne yang lebih tua, sinis, dan penuh trauma. Bahkan hingga 2025 pun, saya masih menganggap ini salah satu penampilan aktingnya yang cukup kuat, meski karakternya kontroversial (nanti kita bahas kenapa).
Wonder Woman? Di trailer dan poster, ia sering ditampilkan sejajar dengan dua tokoh utama, sehingga banyak penonton mungkin berharap ia akan punya peran besar dalam konflik. Namun kenyataannya, Diana hanya muncul di subplot kecil, sebelum akhirnya ikut turun di klimaks menghadapi Doomsday. Latar belakangnya masih dirahasiakan dan baru dieksplorasi di film solonya.
Secara teknis, ini keputusan yang tepat. Karena film ini sudah dijejali begitu banyak subplot dan konflik internal, menambahkan origin Wonder Woman di sini hanya akan menambah beban durasi yang sudah panjang. (Bahkan dengan 182 menit di Ultimate Edition, film ini masih terasa padat.)
Dibandingkan Man of Steel, versi Superman di sini memang tampil lebih heroik dan lebih berhati-hati dalam menghadapi konflik. Ia sebisa mungkin tidak membunuh. Sebuah peningkatan dari kontroversi di film sebelumnya.
Tapi sekarang mari bicara soal penyajian Batman, yang hingga kini masih memicu perdebatan.
Batman versi Batman v Superman adalah vigilante yang tak ragu membunuh. Bukan seperti Superman di Man of Steel yang membunuh karena terpaksa, Batman di sini benar-benar meledakkan mobil musuh, menghantam keras kepala penjahat, dan meluncurkan misil ke arah musuh-musuh di darat. Kita memang tak diperlihatkan mayatnya, tapi dengan tingkat kekerasan seperti itu, peluang mereka selamat amat kecil.
Saya pribadi bisa menerima bahwa ini adalah versi alternatif Batman, yang sudah lama bertarung, sudah kehilangan banyak hal, dan menjadi semakin ekstrem. Tapi saya juga tak menyalahkan fans garis keras Batman yang marah keluar bioskop karena karakter ini terasa melanggar prinsip utamanya. Bahkan Batman di The Dark Knight milik Nolan yang jauh lebih grounded pun tetap teguh memegang kode etik “no killing.”
Dan kejanggalannya tidak berhenti di sana.
Kalau Batman dalam film ini adalah tipe yang tega membunuh kriminal, kenapa Joker versi DCEU (yang diimplikasikan sudah membunuh Robin) masih hidup?
Batman bisa saja memberi kelonggaran untuk Deadshot karena punya anak, atau Harley karena dianggap korban. Tapi Joker? Ini adalah penjahat yang sudah menyakiti Batman secara personal dan emosional, jauh lebih dari para penjahat biasa yang kita lihat ia habisi dengan brutal.
Apakah Batman memang membiarkan Joker hidup karena alasan tertentu? Atau ini hanya inkonsistensi penulisan? Hingga kini pertanyaan itu belum benar-benar terjawab.
Kesimpulannya, meski ada beberapa penampilan akting yang kuat, karakterisasi dalam film ini terasa inkonsisten dan kadang berlawanan dengan esensi dari karakter yang sudah puluhan tahun dikenal penggemar.
6. Kesimpulan

Jadi, bagaimana kesan akhir saya terhadap Batman v Superman setelah hampir satu dekade sejak perilisannya?
Saat pertama menontonnya di 2016, saya memberi film ini nilai 7 dari 10. Sekarang, dengan sistem penilaian baru Duniaku.com yang berbasis 5 bintang, saya merasa skor yang paling pas adalah 3 dari 5 bintang.
Film ini punya kualitas teknis dan visual yang mengesankan. Nuansa kelam dan sinematik khas Zack Snyder tetap terasa kuat, dan adegan pertarungan Batman versus Superman jelas menjadi highlight—t, rutama karena ada banyak referensi visual dari The Dark Knight Returns karya Frank Miller.
Namun masalah utamanya tetap sama, bahkan semakin terasa saat ditonton ulang: terlalu banyak subplot yang tidak seluruhnya disatukan dengan mulus, pacing yang tidak konsisten, serta karakterisasi yang bisa memicu debat panjang di antara penggemar, terutama soal Batman yang brutal dan momen "Martha" yang... ya... hingga hari ini masih jadi bahan meme.
Apakah film ini buruk? Tidak. Bahkan saya rasa Batman v Superman tetap bisa dinikmati, terutama oleh penonton yang sabar dan terbiasa dengan film panjang. Namun apakah film ini menggali potensi penuhnya sebagai fondasi semesta DC? Sayangnya tidak juga.
Kalau kamu belum pernah menonton, dan penasaran seperti apa awal mula terbentuknya DC Trinity di layar lebar, film ini tetap layak ditonton. Namun jangan berharap semua pertanyaan dijawab atau semua karakter dikembangkan maksimal—karena bahkan dengan durasi nyaris 3 jam, masih terasa ada banyak hal yang tersisa di ruang editing.
Itulah Penilaian Film Nostalgia: Batman v Superman dari saya.
Bagaimana pendapatmu sendiri soal film ini? Apakah menurutmu film ini underrated, atau justru terlalu dibesar-besarkan? Sampaikan di kolom komentar!



















