Review Star Wars The Last Jedi: The Force Is (not) Strong With This One
Di luar dugaan, Star Wars: The Last Jedi terasa kurang rapi dan membosankan dari segi penceritaannya. Sayang sekali.
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Star Wars: The Last Jedi memang memiliki tumpukan momen-momen yang akan memuaskan penggemar trilogi pertama seri Star Wars, serta perkembangan cerita yang cukup di luar dugaan. Sayangnya, The Last Jedi memiliki penyajian yang kurang fokus dan cukup berantakan.
Setelah tahun lalu sempat diberi "hidangan pembuka" lewat film Rogue One: A Star Wars Story yang merupakan kisah penjembatan antara Star Wars III dan IV, akhirnya Star Wars: The Last Jedi yang merupakan kelanjutan dari trilogi baru yang dimulai lewat Star Wars: The Force Awakens (2015) telah tiba!
[duniaku_baca_juga]
The Force Awakens hadir dengan membawa fenomena baru, tidak hanya memuaskan rasa kangen dan nostalgia kepada fans-fans yang sudah "mengabdi" sejak tahun 1977, namun juga memperkenalkan Star Wars kepada generasi baru, sehingga antisipasi akan sekuelnya menjadi begitu tinggi.
[read_more id="354978"]
Sama seperti pendahulunya, The Last Jedi diproduksi dengan tingkat kerahasiaan yang tinggi, cukup mengagumkan mengingat ada jarak antara dua tahun dan hampir tidak ada kebocoran cerita sedikitpun. Tak hanya itu, jarak antara satu trailer dan lainnya juga sangat jauh dengan hanya sedikit plot point yang terungkap di tiap trailernya.
Wafatnya Carrie Fisher; pemeran Putri Leia Organa semenjak film pertama Star Wars tahun 1977 juga menambah kehebohan akan antisipasi perilisan film ini, karena ingin memberikan penghormatan terakhir terhadap aktris yang melejit namanya berkat saga fiksi ilmiah ini.
Lantas, setelah hampir persis dua tahun menunggu, apakah Star Wars: The Last Jedi menjadi sebuah kelanjutan yang memuaskan? Atau malah hanya mengundang kekecewaan? Simak ulasannya di sini!
Oh, tapi sebelumnya... sulit untuk membahas mendalam The Last Jedi tanpa spoiler. Penulis sudah berusaha untuk meminimalisir, namun mungkin ada unsur-unsur dalam ulasan ini yang bisa terasa seperti itu.
Karenanya, peringatan ini diberikan untuk yang mau menonton filmnya bebas dari bocoran:
SPOILER ALERT!!!
Sinopsis
Setelah berhasil memukul mundur pasukan First Order dan menghancurkan Starkiller Base, para anggota Resistance harus menerima fakta bahwa mereka masih kalah jauh dari segi jumlah armada, terutama setelah lawan mereka berhasil membumihanguskan sebagian besar aliansi Republik.
Absennya bala bantuan membuat Jendral Leia Organa (Carrie Fisher) selaku pemimpin Resistance untuk membawa pasukannya mundur dari pertempuran demi mencegah jatuhnya korban jiwa yang lebih banyak, meskipun ia harus ditentang oleh anak buahnya sendiri yaitu Poe Dameron (Oscar Isaac) dan Finn (John Boyega) yang baru saja terbangun dari komanya.
[read_more id="355446"]
Sementara itu, Rey (Daisy Ridley) akhirnya telah sampai ke planet tempat persembunyian Jedi Master Luke Skywalker (Mark Hamill); yang mengasingkan diri setelah dikhianati oleh muridnya sendiri. Meskipun Rey memohon kepada Luke untuk kembali ke medan peran dan melatihnya menjadi Jedi sejati, sang Master mentah-mentah menolaknya akibat trauma di masa lalu yang masih menghantuinya.
Konflik internal juga dialami oleh Kylo Ren/Ben Solo (Adam Driver), yang hatinya masih terpecah belah setelah membunuh ayahnya sendiri di pertempuran sebelumnya, membuat situasi di antara dirinya dan sang Pemimpin Agung Snoke (Andy Serkis) semakin memanas.
Rentetan konflik dan tragedi ini akan membawa kisah para pahlawan dan villain menuju sebuah klimaks yang tidak akan pernah diduga-duga sebelumnya.
Penasaran bagaimana kualitas filmnya? Simak di halaman kedua!
Penceritaan yang Kacau dan Cenderung Antiklimaks
Jujur saja, penulis adalah penggemar berat seri Star Wars sejak kecil. Entah sudah berapa kali penulis menonton ulang film-film Star Wars terdahulu, termasuk film animasi Star Wars: The Clone Wars yang serba nanggung itu, dan masih teringat sekali seberapa ketagihannya penulis bermain Star Wars: Battlefront II yang asli di konsol PS2.
Penulis juga masih teringat segirang apa ketika akhirnya bisa menyaksikan logo Star Wars muncul di layar lebar dengan musik tema ikonik dari John Williams menggelegar lewat sound system bioskop yang tiada duanya ketika The Force Awakens tayang. Atau ketika Darth Vader kembali di penghujung film Rogue One.
[read_more id="355286"]
Namun ketika akhirnya menonton Star Wars: The Last Jedi, penulis juga sadar bahwa yang namanya cinta itu tidak boleh buta. Kenyataan kadang memang terbalik dengan harapan, namun ini juga merupakan kewajiban penulis untuk mengulas secara objektif dan sesuai dengan hati nurani, meskipun seberapa besar keinginan untuk mengatakan bahwa The Last Jedi merupakan film yang bagus dan layak tonton.
Namun, kali ini, tidak bisa dipungkiri bahwa Star Wars: The Last Jedi adalah entri yang lumayan mengecewakan di saga Star Wars.
Subplot pertama mengenai kisah antara tiga tokoh utama di The Last Jedi yaitu Rey, Kylo, dan Luke mungkin merupakan salah satu (atau satu-satunya?) poin terkuat di sekuel ini. Rian Johnson selaku penulis naskah dan sutradara bisa dibilang berhasil dalam mengembangkan hubungan antara ketiga karakter ini menuju arah yang tidak kita duga sebelumnya.
Pujian patut dilayangkan kepada Mark Hamill yang bisa memberikan dimensi baru dari karakter sang Jedi Master Luke yang sekarang sudah tua dan benar-benar berbeda jauh sejak terakhir kita temui di film Return of the Jedi (1983), lumayan menambah intrik dan rasa penasaran. Dari tatapan mata hingga nada suara, Hamill memperlihatkan sisi rentan Luke yang tak pernah kita lihat sebelumnya.
Hubungan emosional antara Rey dan Kylo (yang sebaiknya tidak usah dibahas lebih detil di sini) juga menjadi tambahan yang cukup mengejutkan dan menarik, terutama dalam pengembangan karakter Kylo yang semakin lama semakin ambigu kesetiaannya. Sayangnya, seperti di prekuelnya, Rey tetap menjadi karakter mary sue yang serba sempurna dan bisa, tanpa ada perkembangan yang cukup berarti.
Sayangnya, dua subplot lain di The Last Jedi terasa amat lemah dan kurang menarik, membuat penceritaan di film ini terasa kacau dan bertele-tele. Pernah kesal dengan filler Naruto yang mengada-ada dan membosankan? Ya kurang lebih seperti itulah.
Memperlihatkan konflik internal baik dari kubu Resistance maupun First Order, mungkin Rian Johnson berniat untuk membuat sebuah drama yang kompleks dan intim, serba mengaburkan batas antara yang baik dan yang jahat.
Atau mungkin ia berniat untuk memberikan nuansa kisah petualangan luar angkasa klasik lewat subplot kisah petualangan karakter Finn dan Rose, namun story arc kedua karakter ini terasa terdiskoneksi dengan kisah utama The Last Jedi.
Tak ada satupun dari kisah ini yang benar-benar menarik. Tak ada drama yang menggigit dan emosional, karakter-karakternya bagaikan karikatur belaka tanpa terasa ada yang dikembangkan dengan baik. Pada akhirnya, The Last Jedi hanya berfokus pada tiga karakter di awal: Rey, Luke, dan Kylo. Karakter lainnya? Well, you'll see.
Layaknya sebagian besar film kedua dari sebuah trilogi, The Last Jedi yang berperan sebagai penjembatan antara The Force Awakens dan Episode IX harus terpuruk pada kutukan kisah "middle-of-the-act", di mana ia hanya berperan sebagai pendorong naratif dan sesekali memperkenalkan beberapa elemen kisah yang baru, namun nyaris sama sekali tidak memberikan resolusi yang memuaskan.
Lantas apakah ini membuat The Last Jedi menjadi film yang benar-benar buruk? Tentu saja tidak. Masih ada beberapa momen-momen yang luar biasa menarik dan emosional yang tidak pernah kita duga sebelumnya akan terjadi di sini. Mulai dari referensi akan karakter-karakter lama, hingga cameo yang mengejutkan.
Penggemar trilogi orisinal Star Wars tidak akan kecewa, bila The Force Awakens terasa seperti sekedar pelepas rasa rindu terhadap A New Hope belaka, maka The Last Jedi jauh lebih segar dari seri cerita dan benar-benar terasa seperti sebuah sekuel untuk kisah Return of the Jedi ketimbang pengulangan apa yang sudah terjadi sebelumnya.
Dari sisi teknis jelas The Last Jedi sangat unggul. Tidak seperti Justice League yang menghamburkan uang $300 juta demi reshoot yang malah memperparah kualitas filmnya, pertempuran luar angkasa yang dipenuhi dengan tembakan laser dan ledakan di film ini tampak cantik dan enak dilihat.
Sedangkan untuk musik dari John Williams mungkin tak akan pernah bisa se-ikonik trilogi orisinal maupun prekuel, namun setidaknya dibandingkan The Force Awakens , Williams sepertinya berhasil menemukan mojo-nya yang sempat hilang. Beberapa reprise dari motif lama seperti "Leia's Theme" dan "Force Theme" juga kembali ia bangkitkan dengan sangat megah di sini, memberikan efek nostalgia yang cukup dalam dan emosional.
Verdict
Pada akhirnya, kemegahan sisi teknis Star Wars: The Last Jedi tak sanggup menyelamatkan entri ini sebagai film yang mengecewakan. Ada momen-momen yang menarik dan emosional, namun sayangnya semua harus terkubur akibat penceritaan yang tidak rapi dan membosankan di paruh awal dan tengah film.
Diedit oleh Fachrul Razi