Kisah Perjalanan Agate Studio dari Awal Penuh Kegagalan hingga Meraih Kesuksesan
Begini rupanya perjalanan panjang dari sebuah developer game, banyak jatuh bangunnya loh. Ini pembahasannya!
Perlahan tapi pasti, Indonesia mulai menjadi negara yang memiliki taring di industri game. Salah satu buktinya adalah dengan adanya developer game lokal, Agate Studio. Sebelum memiliki nama hebat dan diakui seperti saat ini, rupanya perjalanan Agate Studio tak mudah dan berlubang.
Melalui Campus Checkpoint yang digelar oleh Duniaku.net di Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Selasa (31/10/17), salah satu petinggi Agate, Wiradeva Arif menceritakan perjalanan panjang yang harus dilaluinya bersama rekan-rekan lainnya yang juga berkontribusi dalam mendirikan developer game asal Bandung tersebut.
[duniaku_baca_juga]
“Agate merupakan perusahaan pengembang game yang berdiri di atas mimpi kami, para anak muda yang gemar bermain game dan ingin menciptakan game untuk berbagi kebahagiaan dengan dunia. Sehingga, bisa dibilang jika Agate merupakan langkah kami untuk membuat dunia jauh lebih baik,” tutur pria yang akrab disapa Devon tersebut.
Walau merupakan perusahaan yang berdiri secara resmi pada tahun 2009, namun para pendiri Agate telah berkumpul dan menciptakan game sejak tahun 2007. Game pertama yang dibuatnya adalah Twilight, yang bertujuan untuk mengikuti lomba pengembangan game yang digelar oleh sebuah majalah game pada saat itu.
Wiradeva Arif, CPO Agate Studio[/caption]
“Kami (pendiri Agate) pada saat itu hendak mengikuti sebuah perlombaan pengembangan game yang digelar oleh sebuah majalah. Berangkat dari 50 orang, yang terdiri dari mahasiswa teknik informatika dan beberapa orang dari fakultas lain, salah satunya adalah fakultas desain, dan akhirnya berhasil membuat Twilight, game pertama kali,” kata Devon
Sayangnya, game yang hanya berdiri dalam bentuk dokumen tersebut gagal meraih posisi juara. “Karena pada saat itu hanya dalam bentuk dokumen, yah pada akhirnya kami kalah,” katanya sambil tertawa.
[read_more id="326508"]
Perjalanan Agate berlanjut. Belum menyerah akan kekalahan tersebut, para pendiri Agate kembali mengikuti sebuah lomba pada tahun 2008 yang digelar oleh Microsoft, Dream Build Play. Ajang perlombaan yang diikuti oleh Agate tersebut secara otomatis mengharumkan nama bangsa, karena untuk pertama kalinya Indonesia hadir sebagai salah satu negara yang menciptakan game untuk konsol Xbox 360.
“Kami mengikuti perlombaan yang dibuat untuk konsol Xbox 360 yang digelar oleh Microsoft, Dream Build Play. Dan, game yang kami bawa pada saat itu adalah PonPoron. Game itupun disukai oleh banyak orang, dan mulai dari situ kami ingin terus menciptakan game yang dapat membuat bahagia para pemainnya,” katanya.
Simak kelanjutan kisah perjalanan Agate di halaman kedua!
Sayang, PonPoron yang memiliki banyak peminat tersebut saat pameran berlangsung tersebut kembali gagal meraih posisi juara. “Yah sayangnya PonPoron juga gagal membawa kami sebagai juara pada perlombaan itu,” ucap Devon.
[duniaku_baca_juga]
Walau telah gagal 2 kali, namun para pendiri Agate tetap teguh dengan pendirian mereka, yang pada akhirnya kembali mengikuti sebuah perlombaan pada tahun 2009. “Kami mengikuti Imagine Cup yang digelar pada 2009. Kali ini, kami tidak hanya membawa satu game, melainkan 3 game sekaligus. Kami benar-benar serius pada perlombaan tersebut,” cerita Devon.
3 game yang dibawa oleh Agate pada saat itu adalah Blank, Wish dan Farewell Night. “Kami mendapatkan apresiasi yang cukup besar pada saat itu dengan ketiga game kami, ya walaupun kemenangan masih belum dapat diraih”.
Di tahun yang sama, 15 orang pendiri Agate akhirnya memutuskan untuk membangun sebuah perusahaan. “Dikarenakan tekanan orang tua yang dialami oleh salah satu teman kami, yang dipaksa untuk bekerja di perusahaan, dan kami tidak ingin untuk dia kehilangan mimpinya yang terus ingin membuat game, kami akhirnya mendirikan Agate sebagai sebuah perusahaan,” jelas Devon.
[read_more id="323825"]
Agate pada awalnya berdiri dengan diisi oleh 15 orang. “Dengan 15 orang pendiri, Agate berdiri sebagai sebuah perusahaan. Pada saat itu, penghasilan kami hanya USD5 atau sekitar Rp 50 ribu, yang hanya cukup untuk membeli pulsa,” jelas Devon yang dilanjuti dengan tawanya.
Adapun modal pertama yang dimiliki kelima belas orang tersebut hanyalah sebesar Rp 100 juta. “Berkat uang tabungan dari masing-masing pendiri, akhirnya terkumpulah modal sebesar 100 juta. Yang anehnya, sebanyak 80 juta kami habiskan untuk menyewa sebuah kantor, dan sisanya untuk membeli peralatan kantor,” kata Devon.
sumber: Seagames[/caption]
Pada akhir tahun 2009, Agate yang tengah mengalami permasalah finansial menggelar meeting besar-besaran. “Karena modal yang sangat tipis, kami mengadapakan rapat untuk memutuskan berlanjut atau tidaknya Agate.”
Berkat antusiasme para pendiri yang tinggi, sisa modal yang mereka miliki akhirnya digunakan seluruhnya untuk mengembangkan sebuah game berbasis web, yang kala itu tengah booming. Dan akhirnya, Agate berhasil meraih keuntungan yang besar, salah satunya dari Football Saga 2, yang bahkan meraih keuntungan hingga Rp 200 juta perbulannya.
“Football Saga 2 adalah game sukses yang berhasil membawa kami menginjakan kaki di masa ini. Antusiasme yang tinggi membuat kami berhasil melewati masa-masa yang sangat sulit, dan pada saat itu hingga tahun 2012 kami terus mengembangkan game berbasis web, yang booming di platform Facebook,” kata Devon.
Belum selesai, simak kelanjutan perjalanan Agate di halaman ketiga!
Saat ini, Agate menyongsong hampir segala platform dengan game-game besutannya. Salah satunya adalah platform mobile, yang memang saat ini paling digemari oleh banyak orang. Salah satu contoh game besutannya adalah Juragan Terminal, game clicker adiktif hasil kolaborasi dengan pengembang Tahu Bulat. Game itu pun berhasil diunduh sebanyak 500 ribu kali.
Setelahnya, Agate pun ingin mengubah wajah kampanye yang sebelumnya dikenal cukup buruk dimata masyarakat. Presiden Jokowi pun dibuatkan game untuk kampanye saat itu sebagai langkah kampanyenya, dan berhasil meraih 1 juta download. Jumlah yang sangat besar untuk sebuah game buatan lokal.
[read_more id="284173"]
Game lain yang saat ini cukup fenomenal dari kubu Agate adalah Fantasista, yang merupakan lanjutan dari Football Saga 2. Selain itu, kini Agate juga tengah bersiap untuk meluncurkan sebuah game bagi platform Steam dan juga Nintendo Switch, yakni Valthirian Arc, yang berlandaskan game mobile Valthirian Arc 2.
“Perjalanan kami memang tidak mudah, namun impian kami untuk menjadi pengembang game besar seperti Square Enix dan juga Konami jauh lebih besar dan kuat dibandingkan halangan yang ada dihadapan,” kata Devon.
Penyerahan Piagam dari Pihak UI kepada Petinggi Agate.[/caption]
Saat ini, Agate telah memiliki seorang komisaris yang juga merupakan pendonor dana bagi perusahaannya. Agate pun berhasil menjadi salah satu dari beberapa developer lokal yang mendapat perhatian dunia.
Bermula dari 15 orang karyawan, kini Agate memiliki 150 karyawan di seluruh kubu perusahaannya. Dimulai dari gaji sebesar Rp 50 ribu perbulan, kini perusahaan tersebut mampu memberikan gaji yang melewati batas UMR ke masing-masing karyawannya. Bermula dari sebuah game yang berbentuk dokumen, kini Agate memiliki 200 lebih game, dan juga lebih dari 10 project.
Perjalanan Agate merupakan bukti nyata keseriusan anak muda yang ingin berkarya dan membahagiakan orang lain dengan karya mereka. Semoga saja kedepannya akan semakin banyak anak muda yang menduplikasi kesuksesan Agate ini, dan tentu mengharumkan nama bangsa di mata dunia.
Diedit oleh Fachrul Razi