Penilaian Film: Elio, Ketika Kesepian Membawamu ke Tengah Galaksi

- Elio, film animasi Pixar tentang kesepian anak kecil yang mencari tempat di dunia
- Kisah dimulai dari pangkalan militer hingga ke luar angkasa dengan komedi diplomatik dan alien tak terduga
- Meskipun penuh warna dan menyenangkan, Elio kurang dalam kedalaman emosional khas Pixar
Apa yang akan kamu lakukan jika merasa tak ada satu pun yang memahamimu di dunia ini? Bagi Elio, jawabannya sederhana: kirim pesan ke luar angkasa dan berharap ada alien yang mendengar.
Itulah titik awal dari Elio, film animasi terbaru Pixar yang penuh warna, suara, dan keanehan menyenangkan. Di balik dunia luar angkasa yang penuh makhluk aneh dan ruang diplomasi galaksi, tersembunyi kisah seorang anak kecil yang rapuh, kesepian, dan mencari tempatnya di dunia. Disutradarai oleh Adrian Molina (Coco) dan Madeline Sharafian (Burrow), Elio adalah perpaduan antara komedi intergalaksi ala Toy Story, kehangatan emosional khas Spielberg, dan sentuhan aneh nan manis yang mengingatkan pada The Hitchhiker’s Guide to the Galaxy.
1. Dari Pangkalan Militer ke Luar Angkasa

Kisah dibuka di sebuah pangkalan militer, tempat Elio (Yonas Kibreab) kini tinggal bersama tantenya, Mayor Olga (Zoe Saldaña), setelah kehilangan kedua orang tuanya. Olga adalah figur tegas yang sedang berjuang memahami keponakan yang tenggelam dalam duka dan diam. Dunia Elio terasa suram, sampai kunjungan ke museum luar angkasa mengubah segalanya.
Di sanalah Elio menemukan harapan dalam pameran tentang Voyager 1, wahana antariksa yang mengirim pesan damai ke luar angkasa sejak 1977. Merasa ditinggalkan di Bumi, Elio mulai mengirim pesan melalui radio amatir, meminta agar alien menculiknya. Ini mungkin terdengar konyol, tapi justru di sinilah kekuatan emosional film bekerja: Elio menyentuh kita dengan potret anak yang mencari tempat untuk dicintai.
2. Komedi Diplomatik dan Alien yang Tak Bisa Diprediksi

Suatu malam, doanya dijawab. Sebuah momen lucu, aneh, dan ajaib membawanya ke Communiverse, sebuah sidang makhluk luar angkasa mirip versi kosmik PBB. Lewat serangkaian kesalahpahaman, Elio dianggap sebagai “perwakilan resmi dari Bumi”. Ia lalu diminta berdiplomasi dengan Grigon (Brad Garrett), alien keras kepala yang ingin menguasai seluruh galaksi.
Di sini, Elio berubah dari kisah tentang kesepian menjadi komedi politik interstellar, lengkap dengan Elio yang mencoba memahami “seni negosiasi” dan mengingatkan dirinya, “Mulailah dari posisi kekuatan.” Tak lama kemudian, ia bertemu Glordon, anak Grigon yang justru lembut dan penuh empati. Hubungan keduanya menjadi jantung emosional dari paruh kedua film ini.
3. Ketika Cerita Kehilangan Daya Dorong

Sayangnya, setelah kekuatan awal yang menyentuh, Elio mulai kehilangan energi. Dunia luar angkasa yang seharusnya mengembang malah terasa sempit oleh lelucon-lelucon generik dan arah cerita yang semakin absurd. Keputusan naratif seperti Elio harus mengenakan penutup mata biru, atau momen "nyaris mati" yang terlalu Spielbergian, mulai terasa seperti trik plot yang dipaksakan daripada perkembangan karakter yang alami.
Beberapa elemen terasa terlalu formulaik dan template Pixar 101, mulai dari dinamika tokoh utama yang kesepian, sampai alien lucu yang sebenarnya berhati lembut. Itu tidak berarti film ini gagal total. Justru Elio menyimpan momen-momen yang tulus dan hangat, hanya saja momen-momen itu tenggelam dalam kegaduhan narasi yang semakin tak fokus.
4. Sebuah Hiburan yang Penuh Warna, Tapi Kurang Dalam

Secara keseluruhan, Elio adalah film musim panas yang menyenangkan: warnanya cerah, dunianya aneh, dan pesannya tetap relevan. Anak-anak mungkin akan jatuh cinta pada makhluk-makhluk lucu dan visual penuh warna. Tapi bagi penonton dewasa yang terbiasa dengan kedalaman emosional khas Pixar, film ini mungkin terasa ringan dan kurang menggigit.
Elio adalah film tentang anak yang merasa tidak dilihat, lalu tiba-tiba jadi pusat perhatian seisi galaksi. Dalam absurditas dan kelucuannya, ia berbicara tentang kebutuhan universal akan pengakuan, kasih sayang, dan rasa memiliki. Walau tak mencapai kedalaman seperti Inside Out atau Coco, Elio tetap menyimpan pancaran kecil yang bisa menyentuh, terutama bagi mereka yang pernah merasa sendirian.
Kesepian, pencarian jati diri, dan kebutuhan akan koneksi adalah tema yang sudah lama jadi kekuatan studio ini. Namun dalam Elio, tema-tema itu terlalu sering dikorbankan demi tawa dan twist galaksi yang tak selalu berhasil. Film ini punya hati, tapi nadinya berdetak pelan.