Penilaian Film: How to Train Your Dragon (2025), Ketika Remake yang Setia Tetap Menyentuh Hati

- Adaptasi live-action dengan realisme rapuh
- Pemeran solid, namun kurang memberi warna baru
- Kesetiaan pada sumber, tapi tetap menyentuh hati
GENRE: Animasi
ACTORS: Mason Thames, Nico Parker, Gerard Butler
DIRECTOR: Dean DeBlois
RELEASE DATE: 11 Juni 2025
RATING: 3/5
Tak banyak remake yang dikerjakan langsung oleh penciptanya. Tapi How to Train Your Dragon versi 2025 adalah pengecualian yang langka sekaligus menarik. Dean DeBlois, yang dahulu menyutradarai versi animasi ikonis tahun 2010 bersama Chris Sanders, kembali duduk di kursi sutradara untuk membesut versi live-action ini. Hasilnya? Sebuah film yang terasa seperti pelukan nostalgia, hangat, familiar, dan tetap menyentuh hati, meski tanpa kejutan.
Cerita yang diangkat nyaris identik: seorang remaja Viking bernama Hiccup (kali ini diperankan oleh Mason Thames) yang merasa tak cocok di dunia keras yang dihuni oleh para pejuang pemburu naga. Tapi hidupnya berubah saat ia menjalin persahabatan dengan Toothless, seekor Night Fury, naga misterius dan kuat yang ternyata jauh dari kata buas. Bersama, mereka membangun jembatan perdamaian antara dua dunia yang sebelumnya saling bermusuhan.
Kisah ini masih sekuat dulu. Dan meskipun kita tahu ke mana arah ceritanya akan berjalan, kekuatan emosionalnya tetap bekerja. Bahkan, DeBlois berhasil mempertahankan esensi yang membuat film aslinya begitu dicintai, dari pemandangan langit terbuka hingga momen-momen lirih yang membuat kita bertanya: bisakah keberanian hadir lewat kelembutan?
1. Realisme yang Rapuh, Tapi Tetap Menyala

Adaptasi live-action selalu memiliki tantangan unik, terutama saat harus menerjemahkan slapstick komedi dan ekspresi emosional khas animasi ke dunia nyata. Di sinilah film ini sempat tersandung, terutama di babak awal. Beberapa lelucon terasa kaku, dan visualisasi dunia Berk yang dulunya hidup dalam warna dan imajinasi, kini sedikit kehilangan magi-nya.
Namun untungnya, para pemain tampil solid. Mason Thames membawa rasa rapuh yang pas untuk Hiccup, tanpa kehilangan semangat karakteristiknya yang penuh rasa ingin tahu. Sementara itu, Nico Parker sebagai Astrid mampu tampil karismatik dan lugas, walau porsinya tidak banyak berubah dari versi sebelumnya. Tapi bintang sejati film ini mungkin justru Gerard Butler yang kembali memerankan Stoick, ayah Hiccup. Kali ini dengan janggut dan helm besar, ia tetap berhasil menghadirkan figur ayah yang keras kepala tapi berhati lembut. Dinamika antara Stoick dan Hiccup menjadi salah satu elemen emosional yang paling menonjol dalam film ini.
Ada tambahan kecil di sana-sini. Karakter Gothi yang diperankan Naomi Wirthner memiliki peran lebih substansial, dan hubungan antara Snotlout dan ayahnya Spitelout mendapat satu subplot kecil. Tapi semua itu tetap dalam koridor aman, nyaris seperti catatan kaki dari kisah utama.
3. Setia Pada Sumber, Namun Kurang Memberi Warna Baru

Kesetiaan adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, How to Train Your Dragon (2025) adalah bukti bahwa DeBlois benar-benar menghormati karya aslinya. Ia tak mencoba menciptakan ulang dengan pendekatan radikal,ia tahu mana bagian yang penting untuk dijaga. Musik ikonik John Powell yang kini diorkestrasi ulang tetap memukul tepat di hati, terutama saat “Test Drive” mengiringi adegan terbang perdana Hiccup dan Toothless. Rasanya seperti pulang ke masa kecil.
Namun, sisi lain dari kesetiaan itu adalah minimnya kejutan. Hampir setiap momen besar terasa seperti rekonstruksi adegan demi adegan dari versi animasi. Tidak ada pendekatan visual baru, tidak ada perluasan tema yang signifikan. Di tengah tren remake yang berani bereksperimen seperti The Little Mermaid atau Lilo & Stitch (yang juga ditangani oleh DeBlois), versi ini justru terasa terlalu aman.
Hasilnya adalah film yang tetap menyentuh dan indah, tapi sedikit kehilangan urgensinya. Kita menangis bukan karena cerita baru, tapi karena kita tahu kapan kita akan menangis. Kita tersenyum bukan karena kejutan, tapi karena ingatan akan masa lalu.
4. Akhirnya, Ikatan Itu Tetap Kuat

Pada akhirnya, kekuatan sejati dari How to Train Your Dragon tetap ada: hubungan Hiccup dan Toothless. Tak peduli bentuknya animasi atau live-action, ikatan mereka adalah jantung cerita. Dalam tangan DeBlois, cerita tentang keberanian, penerimaan, dan pengorbanan ini masih beresonansi kuat. Ia mungkin terlalu mencintai materi aslinya hingga enggan menyentuhnya dengan tangan baru, tapi justru karena itu, ia bisa menjaga detak jantung film ini tetap hidup.
How to Train Your Dragon (2025) adalah remake yang hampir terlalu setia pada versi aslinya. Tapi justru dalam kesetiaan itulah, ia menemukan kekuatannya. Tak semua hal harus diubah untuk tetap bisa menggetarkan hati. Dan kisah tentang seorang anak lelaki dan naganya, masih punya sayap untuk terbang tinggi.