Review Film #TemanTapiMenikah: Drama tapi Membosankan
Menonton #TemanTapiMenikah ini seperti mendengarkan seseorang curhat untuk kepentingannya sendiri, bukan mendongeng untuk orang lain.
#TemanTapiMenikah terjebak dalam cerita nyata yang ia angkat sendiri. Keseluruhan ceritanya adalah klise sehingga tampak membosankan sekali.
Sinopsis
Ditto (Adipati Dolken) terpesona sejak pandangan pertama sejak melihat Ayu (Vanesha Prescilla) main sinetron anak-anak. Dewi Fortuna berpihak pada Ditto karena Ayu masuk SMP yang sama dengannya, semeja pula. Sejak saat itu, mereka berdua bersahabat baik.
Sepanjang masa remaja, keduanya berpacaran dengan orang lain. Namun, di balik persahabatan kental mereka, ada benih-benih cinta yang tumbuh.
#TemanTapiMenikah atau #TemanLaluMenikah?
Ayudia Bing Slamet dan Ditto Percussion di dunia nyata.[/caption]
#TemanTapiMenikah (ya, judulnya memang format tagar seperti itu) diangkat dari buku berjudul Teman Tapi Menikah. Buku itu ditulis Ayudia Bing Slamet, yang berisi kisah nyata pertemuannya dengan suami: Ditto Percussion. Seperti halnya kenyataan, Ayu dan Ditto menjalani hubungan persahabatan selama sebelas tahun hingga kemudian menikah.
Ayu telah menjadi selebritas sejak masih anak-anak. Sepulang sekolah ia harus syuting. Ditto menyukai Ayu karena gayanya yang tomboy. Ditto berusaha meraih hati Ayu dengan berbagai cara, salah satunya nge-band dengan alat musik perkusi.
Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Ditto hanya sahabat dan teman curhat semata bagi Ayu. Ditto memacari gadis-gadis agar Ayu cemburu, sementara jalan cinta Ayu berliku-liku hingga diselingkuhi. Selama 11 tahun, Ditto terjebak friendzone.
Saya awalnya berpikir, cuplikan kemesraan Ditto dan Ayu dalam trailer film ini menunjukkan persahabatan keduanya yang seperti sudah menikah saja. Keduanya memang saling berbagi rahasia (kecuali perasaan Ditto pada Ayu). Di tempat terpisah, ibu mereka senyum-senyum saja ketika mereka akrab. Sayangnya, waktu itu Ayu belum memiliki perasaan yang sama terhadap Ditto. Jadi, jika ternyata bukan seperti itu, apakah tidak sebaiknya #TemanLaluMenikah?
Film ini berusaha menyampaikan pesan berupa pengalaman unik ketika sesama teman kemudian saling menikah. Kata ‘tapi’ dalam judul membuat makna ‘teman’ dan ‘menikah’ itu adalah kontradiksi, padahal emang kenapa? Pertanyaan ‘emang kenapa?’ ini berangkat dari alasan bahwa cerita film #TemanTapiMenikah ini tidak punya urgensi. Seolah-olah menikah dengan teman lama menjadi persoalan besar.
Tidak punya urgensi pun tidak masalah, sebab banyak film drama romantis pun juga tidak punya. Namun, kurangnya urgensi dalam #TemanTapiMenikah juga tidak dibarengi dengan kekayaan cerita yang membuatnya unik.
Terjebak Ceritanya Sendiri
#TemanTapiMenikah terjebak cerita nyata yang ia angkat sendiri. Menonton film yang diadaptasi dari kisah nyata orang lain adalah dua sisi mata uang. Oleh karena berdasarkan orang lain, ada perasaan real dari cerita yang diangkat sehingga sangat mudah relate penonton seperti kita.
Di sisi lain, kisah nyata itu membelenggu filmnya sendiri. Cerita yang telah ditulis lalu diangkat ke medium tertentu seperti buku misalnya, adalah cerita yang telah dipoles sedemikian rupa. Ada hal-hal yang boleh dan tidak boleh ada di dalam cerita tersebut sehingga rentan tidak jujur.
Arti kejujuran itu bukan berarti cerita adaptasi ini bohongan, melainkan konteksnya tidak sepenuhnya hadir. Film #TemanTapiMenikah menyederhanakan kisah teman lalu menikah ini hanya menjadi sepenuhnya kisah perasaan Ditto dan Ayu, seolah-olah dunia ini hanya milik mereka berdua.
Tidak ada konflik berarti di antara keduanya selain masalah Ditto kena friendzone dan Ayu yang diselingkuhi pacarnya. Pun juga, tidak ada kedalaman cerita, seperti faktor lingkungan tempat mereka selama sebelas tahun menyimpan rasa. Apakah Ditto dan Ayu tidak punya teman lain yang nge-cie-cie-in mereka karena terlalu dekat?
Ada dua adegan di mana sosok ibu menggoda keduanya karena terlalu dekat. Sayangnya, film tidak pernah beranjak dari situ dan tampak ogah mengeksplor sisi lain dari akibat persahabatan keduanya.
Adipati Dolken bermain menawan dalam #TemanTapiMenikah, sayang terkekang oleh film yang naskahnya dangkal. Simak kelanjutan review-nya di halaman sebelah!
Archetypes dan Stereotypes
Robert McKee dalam bukunya Story (2006) mengatakan cerita yang elok itu sebaiknya archetypes, bukan stereotypes. Archetypes itu adalah proses di mana pengalaman hidup manusia yang universal dibungkus oleh ekspresi-ekspresi tertentu.
Misal, ada karakter yang kesepian. Pengalaman hidup berupa kesepian itu bisa diterjemahkan ke dalam ekspresi tertentu, seperti mendengarkan kaset ceramah motivasi ketika sedirian di kamar hotel atau pulang kerja di rumah sendirian (seperti film Love for Sale). Jika ceritamu diambil dengan pendekatan stereotypes, proses itu dilakukan sebaliknya.
“Stereotip membuat masing konten dan bentuk ceritanya miskin. Stereotip mengurung cerita menjadi lebih sempit, pengalaman yang terlalu spesifik pada budaya tertentu, dan membuatnya basi,” tulis McKee.
Film #TemanTapiMenikah terjebak dalam stereotypes itu sehingga membuat keseluruhan ceritanya klise. Saya tidak menemukan sesuatu yang baru, pun juga gagal membuat penonton saya rela tersesat oleh kekayaan atau keunikan cerita di dalamnya.
Dilan 1990—yang membawa genre serupa, dan juga diisi perannya oleh tiga aktor dari #TemanTapiMenikah—juga sama dangkalnya. Akan tetapi, ada pengalaman unik yang bisa didapat dari menonton filmnya, seperti gombalan Dilan dan kultur Bandung. Meskipun hal itu klise banget, Dilan 1990 sedikit lebih punya warna daripada #TemanTapiMenikah yang hambar dan basi.
Terkekangnya Adipati Dolken
Adipati Dolken yang memerankan tokoh Ditto menuai pujian hangat setelah memerankan Yudis dalam film Posesif (2017). Dalam Posesif, totalitas aktingnya sepadan dengan totalitas akting lawan mainnya, Putri Marino. Ia juga didukung oleh cerita yang membutuhkan kedalaman emosi agar bisa berhasil.
Dolken bermain apik dalam #TemanTapiMenikah. Film terpantau cukup sering menampilkan mimik wajahnya dalam merespon sesuatu. Ia bisa menjadi keren ketika main basket dan main perkusi, lalu di waktu yang berbeda menjadi rapuh ketika mendengar Ayu akan menikah dengan lelaki lain.
Ia menawarkan kedalaman emosi dan sayangnya terkekang oleh film yang naskahnya dangkal.
Sementara itu, Vanesha Prescilla yang memerankan Ayu tak terlalu cemerlang. Ia mungkin terlihat cukup berkembang sejak perannya menjadi Milea dalam Dilan 1990. Ia berkembang menjadi lebih luwes dan natural. Namun, dalam hal akting menangis, Priscilla tampaknya mesti lebih banyak berlatih.
Kemistri Dolken dan Priscila adalah satu dari sedikit hal yang mampu menyelamatkan saya dari kebosanan menonton film ini. Keduanya tampak menggemaskan ketika sedang mesra, seakan-akan mereka telah nyaman satu sama lainnya.
Jika semua pacar-pacar Ditto dan Ayu terlihat seperti karakter template/stereotip, maka ada Refal Hady yang menjadi Rifnu, calon tunangan Ayu. Pembawaannya kalem dan berpikiran jernih. Sayang seribu sayang, seberapa kinclong pun kharisma Hady, ia tampaknya terus ditikung oleh pria-pria bernama depan D.
Selain akting, hal lain yang dapat dinikmati dari #TemanTapiMenikah adalah sinematografinya. Gambar-gambarnya memang tidak kelihatan heboh dengan panorama atau angle yang unik. Hanya saja, pencahayaannya patut diacungi jempol.
Film sering menggunakan warna kuning neon sebagai warna primer. Dari mulai tempat syuting Ayu sampai tempat duduk di depan mal disinari cahaya kekuning-kuningan. Uniknya, ia dikawinkan dengan warna lain seperti biru dan hijau. Misal, jika kepala Ditto menoleh serong, wajahnya disinari lampu kuning sementara bagian pipi dan pelipisnya warna hijau/biru. Ada kelembutan di dalam keindahan gambar-gambarnya.
Kesimpulan
Menonton #TemanTapiMenikah ini seperti mendengarkan seseorang curhat untuk kepentingannya sendiri, bukan mendongeng untuk orang lain. Sulit sekali untuk terhubung dengan film ini karena ceritanya yang klise dan tidak punya cukup materi menarik untuk difilmkan.
Kemistri Dolken dan Prescilla serta keindahan sinematografinya pun masih belum cukup untuk menambal lubang-lubang kebosanan selama hampir dua jam menonton filmnya.
Diedit oleh Fachrul Razi