Review Target: Konsep Menarik, Eksekusi Serba Tanggung
Dengan mengambil inspirasi dari film Saw, The Hunger Games, sampai Battle Royale, konsep film Target ini menarik. Sayang banyak inside jokes selebritas dan eksekusinya serba tanggung.
Raditya Dika membawa konsep yang kreatif dan menarik ke dalam film Target, tapi tidak berjalan dengan baik sebab eksekusinya serba tanggung. Simak dalam review Target berikut ini.
Melihat pergeseran film-film Raditya Dika ini sebenarnya menarik. Film-filmnya belakangan seolah lebih eksperimental (seperti Hangout) daripada film-film awal kariernya sebagai sutradara (Single dan Koala Kumal).
Dari novel dan film lamanya, Radit menciptakan ciri khasnya tersendiri, yakni penggunaan persona dunia nyata ke dalam cerita fiksi dan self-depreciating jokes alias humor yang menertawakan diri sendiri. Tanpa disadari, unsur ke-“aku”-an Radit selalu terasa di setiap film-filmnya.
Hal itu kemudian menjadi berhasil dalam Koala Kumal (2016) sebab ciri khasnya tersebut cocok dan sejalan dengan tema film yang dibawakan. Sementara dalam Hangout yang lebih eksperimental, Radit gagal memadukan komedi ciri khasnya dengan tema film yang bergenre thriller.
Kegagalan Radit kemudian berlanjut tahun ini sebab film Target juga baik cerita maupun tema tak berbeda jauh. Mengapa ia gagal? Sebelum review Target ini berlanjut, simak sinopsisnya dahulu sebagai berikut.
Sinopsis
Pada suatu hari, sejumlah selebritas dari berbagai kalangan dipanggil untuk bermain dalam film berjudul Target. Maksudnya, ada film lain berjudul Target dalam film Target ini.
Selain judul filmnya yang juga sama, para aktor dan aktris di dalamnya juga berlakon menjadi dirinya sendiri. Mereka ada sembilan orang, yakni Raditya Dika, Cinta Laura Kiehl, Samuel Rizal, Willy Dozan, Abdur Arsyad, Hifdzi Khoir, Ria Ricis, Romy Rafael, dan Anggika Bolsterli.
Mereka dikumpulkan di dalam suatu rumah tak berpenghuni dan belakangan menyadari kalau mereka sedang dijebak dalam permainan hidup dan mati. Siapa yang berhasil bertahan hidup dan juga, siapa dalang di balik permainan maut ini?
Konsep Menarik tapi Humornya Eksklusif
Perlu diakui, film Raditya Dika membawa konsep yang menarik ke dalam filmnya ini. Setidaknya, ada dua film yang kental pengaruhnya, Saw (film franchise sejak 2004) dan The Hunger Games (2012). Kalau mau ditarik sedikit ke belakang, ada film survival Battle Royale (2000).
Konsep tersebut sebenarnya jadi lebih menjanjikan dengan tiap lakon yang memerankan persona dirinya sendiri di dunia nyata. Pun cerita-cerita yang berkelindan di antara mereka juga diambil dari kisah-kisah dunia selebritas.
Samuel Rizal contohnya berakting seperti orang brengsek, congkak, dan egois, sama seperti perannya sebagai Adit dalam Eiffel... I’m in Love (2003), film yang mengorbitkan namanya dulu.
Willy Dozan yang dulunya aktor laga kelas kakap (film-filmnya antara lain Crystal Fist, Kera Sakti, Kung Fu Zombie), kini telah berumur dan di dalam film Target ini, berakting ngondek dan anti-kekerasan.
Setidaknya dari modal karakter tersebut, film Target sudah cukup menarik.
Apa yang problematik dari mengaburkan batas dunia nyata dengan fiksi seperti film ini adalah soal inside jokes-nya.
Inside jokes ini maksudnya adalah lelucon-lelucon eksklusif yang hanya dimengerti oleh suatu segmentasi saja. Dalam hal Target, lelucon tersebut eksklusif dimengerti oleh mereka yang rutin mengikuti kabar selebritas tanah air.
Misalnya, kalau kamu bukan netizen Youtube dan tidak kenal siapa itu Ria Ricis, tentu saja tidak akan nyambung saat Anggika Bolsterli melempar lelucon tentang squishy pada Ricis.
Di tempat yang sama, namun jika dilihat dari sisi yang berbeda, kamu barangkali akan tertawa saat Samuel Rizal dengan wajahnya yang songong itu membaret mobil Radit.
Ia problematik sebab humor-humor yang dilancarkan film Target tidaklah universal. Semua orang tidak punya referensi yang sama sebagai basis mengapa mereka harus tertawa.
Beberapa film asing juga hampir mirip dengan bagaimana film Target memandang humor. Film Game Night (2018) dan Deadpool (2016) juga banyak sekali menggunakan humor eksklusif, hanya saja mereka membahas selebritas Amerika.
Namun perbedaannya ialah, baik Game Night dan Deadpool tidak sebergantung itu pada humor eksklusif seperti halnya Target. Target banyak menjual lelucon ini secara konstan dan mengharapkan penonton bisa tertawa. Hasilnya tentu tidak seperti yang diharapkan.
Meski konsepnya sebenarnya menarik, film Target gagal mencapai target sebab eksekusinya serba tanggung. Cari tahu seperti apa dalam kelanjutan review Target di halaman sebelah!
Eksekusi Serba Tanggung
Eksperimen-eksperimen Radit memang boleh diapresiasi, namun yang sebenarnya disayangkan ialah Radit dan film-filmnya tidak berkembang ke arah yang lebih baik, terutama penyutradaraannya.
Selain mengkoordinasikan departemen lain untuk dapat berjalan sesuai visi si sutradara, ia pun harus bisa dengan jelas menyampaikan pesan dan emosi lewat adegan. Dalam Target, Radit gagal di sini.
Ambil contoh sederhana seperti ini:
Di awal film saat para lakon baru saja memasuki rumah tak berpenghuni, mereka dijamu makan malam di meja makan. Mereka melontarkan candaan sekaligus kecurigaan, terutama Anggika yang menuduh makanan yang disajikan tersebut beracun.
Sesaat setelah tuduhan itu keluar, Anggika langsung tersedak-sedak dan tidak sadarkan diri di atas meja. Lakon yang lain terdiam sejenak, lalu Anggika bangun kembali dan tertawa karena barusan hanya pura-pura.
Ada yang kurang pas terasa dari adegan ini. Lucu? Enggak. Seram? Ia tidak bermaksud seram. Adegan ini kemudian jadi penting sebagai pertanda sebab beberapa waktu kemudian, mereka semua pingsan akibat makanan tadi.
Barangkali adegan itu akan lebih menarik seandainya Radit merekam wajah lakon lain yang kaget sebelum Anggika bangun dari kepura-puraannya.
Lewat review Target ini, saya bukan bermaksud mengajari Radit menyutradarai filmnya sendiri, namun hal seperti adegan keracunan itu terjadi di hampir semua adegan.
Dalam adegan Anggika lain misalnya, saat ia menolak untuk ikut arahan Game Master. Saat mencoba kabur, Anggika didorong jauh ke lubang lift oleh sosok tak dikenal. Seperti halnya adegan keracunan tadi, terasa ada yang kurang.
Adegan tersebut seharusnya bisa membuat rumah kosong itu lebih menegangkan karena ada orang asing di tengah mereka. Namun, tidak ada adegan Anggika berjalan sendirian di lorong yang sepi atau peletakan kamera yang seolah-olah mengintip dari tempat gelap.
Anggika mati meninggalkan penonton yang kebingungan harus merasakan apa.
Eksekusi serba tanggung ini membuat penonton seperti saya kesulitan untuk bisa terhubung secara emosional. Paling, hanya adegan flashback kisah cinta Radit dan Cinta Laura sajalah yang berhasil menggugah. Itu pun ditopang oleh kemampuan akting aktris kelahiran Jerman tersebut.
Selain kemampuan akting Cinta, lawakan komedian tunggal Abdul Arsyad, ngondek-nya Willy Dozan, songongnya Samuel Rizal, kebodoran Hifzi Khoir, dan plot-twist menarik di akhir adalah hal-hal yang membuat Target cukup layak untuk ditonton.
Selain itu, tidak ada.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan dari review Target ini, menurut saya Radit harus retrospeksi apa-apa saja yang ia rasa kurang dari film-filmnya belakangan, sebab film Target ini secara eksekusi tidak lebih baik daripada Hangout.
Selain mengembangkan konsep (Radit sebenarnya kreatif), ia pun mesti sadar bahwa kesalahan kedua film tersebut justru ada di hal-hal dasar penyutradaraan (jika ingin menyusul Ernest (yang lahir bukan dari pendidikan perfilman, seperti halnya juga Radit)).
Demikianlah review Target. Kamu sudah nonton? Bagaimana menurutmu filmnya? Sampaikan di kolom komentar, ya.
Mau dapat PS4 dan Nintendo Switch? Kunjungi BEKRAF Game Prime 2018, event industri game terbesar se-Indonesia pada tanggal 13-15 Juli 2018 di Balai Kartini, Jakarta! Kunjungi bit.ly/GamePrime18DN untuk mendaftarkan dirimu GRATIS!
Diedit oleh Doni Jaelani