Review Posesif: Potret Personal Hubungan Beracun
Bisa dibilang, Posesif adalah film Indonesia terbaik tahun 2017 sejauh ini
Mengangkat topik toxic relationship secara intens dan personal, Posesif membuat film-film remaja lain terasa cemen. Simak mengapa dalam review Posesif berikut ini.
Tahun 2017 ini adalah tahun yang baik untuk film Indonesia, khususnya film remaja. Beberapa judul telah keluar, seperti Dear Nathan (Indra Gunawan, 2017) hingga One Fine Day (Asep Kusdinar, 2017). Namun ada dua film remaja yang menarik perhatian tahun ini, Galih dan Ratna (Lucky Kuswandi, 2017) dan Posesif (Edwin, 2017).
Kedua film yang disebut terakhir tersebut berhasil menjadi film yang mengangkat standar film remaja Indonesia. Di masa depan, film-film itu juga layak dikenang seperti halnya kita mengenang film klasik Ada Apa dengan Cinta (2002).
[duniaku_baca_juga]
Sinopsis
Posesif mengambil kisah hubungan Lala (Putri Marino) dan Yudhis (Adipati Dolken). Mereka berdua masih remaja, 17-an tahun, dan bersekolah di SMA yang sama. Lala adalah atlet lompat indah berprestasi dan Yudhis jadi anak baru yang cakep di sekolah.
Keduanya kemudian jatuh cinta. Cinta monyet istilahnya. Mereka saling membahagiakan satu sama lain sebelum keduanya jatuh dalam hubungan saling menyakiti atau dalam istilah kids zaman now adalah toxic relationship. Bagaimana keduanya bisa mencari jalan keluar?
Potret Hubungan yang Intens
[duniaku_adsense]
Ini cinta pertama Lala, Yudhis ingin selamanya.
Sebaris tagline yang kuat dan begitu menjelaskan konsep hubungan Lala dan Yudhis. Bagi Lala, hubungannya dengan Yudhis adalah ajang pencarian jati dirinya. Ia tidak pernah pacaran, pun juga dalam film ini, ia tidak digambarkan punya kisah cinta level apapun sebelumnya.
Alasan yang paling kuat mengapa gadis secantik Lala menjomblo adalah karena ia seorang atlet. Saban pagi Lala jogging, siang sepulang sekolah ia latihan lompat indah. Malam? Tidak ada waktu... kecapekan.
[read_more id="333488"]
Lala merasa ia adalah korban dari ambisi ayahnya yang seorang pelatih, mengingat sang ibu adalah atlet lompat indah berbakat dan berprestasi sebelum dijemput ajal. Seperti sindiran Yudhis, “kamu melakukan ini karena disuruh atau memang karena keinginan kamu?”
Sementara itu bagi Yudhis, pacaran dengan Lala adalah soal memiliki. Dari ucapan dan gerak-gerik perilaku, Yudhis sangat obsesif terhadap Lala. Ia menggeser les bimbel agar punya waktu bersama, rela melukai orang lain yang mendekati Lala, hingga upayanya memaksa Lala pindah pilihan universitas agar bisa bersama.
Kekerasan bukan hal yang tabu untuk Yudhis demi versi “hubungan baik”-nya dengan Lala.
Penyutradaraan Edwin membuat Posesif lebih tampak seperti horor-thriller ketimbang drama remaja. Simak di halaman selanjutnya.
[duniaku_baca_juga]
Dalam separuh awal film, kita tak diberi tahu latar belakang Yudhis. Apa yang menyebabkan ia seposesif dan seagresif itu? Penonton di depan saya membubuhkan frasa “film psikopat” ketika merekam film ini di Instagram (jangan ditiru!). Edwin (Babi Buta yang Ingin Terbang, 2008), dan penulis naskah Gina S. Noer (Habibie & Ainun, 2012) sukses membutakan mata penonton untuk membenci Yudhis.
Posesif ini adalah film komersil pertama Edwin setelah sebelumnya membuat film-film pendek. Babi Buta yang Ingin Terbang (Blind Pig Who Wants To Fly) memenangkan International Federation of Film Critics (FIPRESCI) Awards 2009 lalu dan Kebun Binatang (Postcards from the Zoo) meraih nominasi Golden Bear Berlinale di tahun 2012.
Kembali lagi pada karakterisasi sebelumnya, itulah yang membedakan Posesif dengan film remaja lain, katakan saja One Fine Day, film remaja terkini sebelum Posesif. Baik karakter Lala maupun Yudhis diberi kesempatan untuk menunjukkan sisinya yang lain. Mereka tidak satu dimensi saja, seperti jika seseorang digambarkan jahat, ia memang dan akan selamanya jahat. Sinetron Indonesia banyak terjebak dalam lubang ini.
[read_more id="338562"]
Semakin film beranjak akhir, penonton bisa melihat kenyataan bahwa Lala tidak sebaik yang kita kira, atau Yudhis tidak sejahat itu. Mereka berdua sejatinya adalah korban dari sistem relasi yang lebih besar. Semua punya dosanya masing-masing.
Karakter yang multi-dimensi seperti Lala dan Yudhis ini membuat penonton bersimpati, oleh selanjutnya menjadi relatable dalam kehidupan sehari-hari remaja. Banyak muda-mudi masa kini yang akrab dengan istilah toxic relationship.
Film Posesif adalah film yang penting untuk menyebarkan awareness terhadap kekerasan dalam hubungan. Ia tidak bermaksud menggurui penonton tentang bagaimana kita harus berhubungan secara sehat, tetapi memberi kita sebuah contoh pahit daripadanya.
Dalam hubungan percintaan, pertengkaran itu hal yang biasa. Tetapi seharusnya tidak ada tempat untuk kekerasan. Pria seperti Yudhis seringkali menggunakan tangannya sebagai manifestasi dari dominasinya terhadap pasangan. Seberapa pun usahanya untuk meminta maaf setelahnya, itu tetap akan kelihatan menjijikkan.
Begitu juga dengan wanita yang punya stereotip mood labil atau suka ngambekan. Kadang-kadang bikin pasangan gerah dan menjadi sumber hubungan beracun.
Tidak hanya memaparkan masalah dan menyebarkan awareness, Posesif juga bijak dalam menunjukkan kepada penonton bahwa selalu ada api di balik tebalnya asap. Penting bagi pasangan untuk saling mengerti satu sama lain tanpa melakukan penilaian terburu-buru.
Hubungan percintaan yang sebaiknya berada dalam konsep saling menyayangi berubah menjadi saling menyakiti satu sama lain. Namun walaupun saling menyakiti, banyak pasangan masih tetap ingin mempertahankan hubungannya.
Edwin dan juga Gina mengangkat hal yang cukup tabu tersebut ke dalam layar lebar.
Tabu dalam format miring karena penggunaan tema ini tidak ada yang melarang atau menentang, namun banyak film remaja Indonesia yang ogah mengangkatnya. Film remaja kita banyak terjebak dalam pusaran tema yang itu-itu saja, tanpa, misalnya mengangkat topik kekerasan dan kesehatan mental remaja dalam hubungan asmara.
Jika pada film remaja lain akan sering ditemukan adegan romantis, Posesif justru mempertontonkan kekerasan fisik secara brutal sehingga terasa perihnya.
Posesif tidak seperti tipikal film remaja lain yang dipenuhi—atau sengaja dipenuhi—adegan-adegan cheesy. Ia lebih mirip horor-thriller daripada drama remaja: menegangkan sembari menciptakan kengerian bagi penonton. Posesif dengan berani menunjukkan hubungan pesakitan Lala dan Yudhis secara intens sekaligus creepy.
[duniaku_adsense]
Selain penyutradaraan Edwin dan naskah Gina di atas, performa Putri Marino dan Adipati Dolken patut diacungi empat jempol. Ini adalah debut pertama bagi Putri, namun kualitas aktingnya membuat banyak aktris lain terasa seperti sedang main-main saja. Putri menambahkan ketulusan lewat ekspresi wajah serta gerak tubuhnya. Singkatnya, ia terlihat total memerankan Lala.
Penampilan Adipati juga luar biasa. Kita bisa melihat karakter Yudhis yang rumit dengan sisi-sisi lainnya yang tak tampak di layar. Naskah Gina memang tidak menjelaskan secara gamblang bahwa Yudhis adalah remaja dengan problem kejiwaan, akting Adipatilah yang menunjukkan hal tersebut secara subtil di sepanjang film.
Keduanya membuat film ini terasa personal dan sangat pantas diganjar Piala Citra untuk pemeran utama pria dan wanita terbaik.
Selain itu, pemilihan lagu-lagunya juga patut mendapat apresiasi. Posesif memasukkan lagu-lagu seperti Sampai Jadi Debu oleh Banda Neira hingga Dan... oleh Sheila on 7. Lagu Dan... yang bercerita tentang permintaan maaf jadi berubah maknanya ketika dinyanyikan oleh Yudhis dan Lala. Tapi it's in a good way. Ternyata bisa cocok juga dengan film ini.
Pada akhirnya, tanpa bermaksud melupakan film-film yang akan tayang hingga akhir tahun nanti, Posesif adalah film Indonesia terbaik tahun 2017 sejauh ini. Walaupun didera oleh kontroversi, jumlah 10 nominasi yang ia dapat dalam pergelaran Festival Film Indonesia 2017 memang layak adanya. Semoga film remaja Indonesia selanjutnya dapat belajar dari film ini.
Diedit oleh Fachrul Razi