Review Mile 22: Menyia-nyiakan Bakat Tarung Iko Uwais
Mile 22 menyia-nyiakan bakat tarung silat Iko Uwais, meski pada akhirnya Iko juga yang menjadi penyelamat film. Simak mengapa dalam review Mile 22 berikut ini.
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Mile 22 menjadi salah satu film paling ditunggu publik Indonesia tahun ini, tidak lain dan tidak bukan karena keterlibatan aktor Iko Uwais di dalamnya.
Performa Iko sebagai aktor dan ahli bela diri profesional pertama kali terlihat sejak film pertamanya, Merantau (2009). Namun, kepopulerannya mulai melejit berkat dua film The Raid (2011) dan The Raid 2 (2014) yang sama-sama disutradarai Gareth Evans.
The Raid layaknya sebuah showcase bagi Iko untuk kemudian dikenal tidak hanya di Indonesia, tapi juga di dunia. Ia lalu jadi cameo dalam Star Wars: The Force Awakens (2015) dan mulai mendapat sedikit lebih banyak screen time lewat film Beyond Skyline (2017).
Apa yang membuat Mile 22 menarik dalam konteks Iko ialah film kali ini tak menempatkannya menjadi sekadar karakter hura-hura saja. Sedari trailer, Iko sudah punya peran penting bersama aktor Mark Wahlberg.
Sutradara Mile 22 sendiri, Peter Berg, pun menyatakan bahwa alasannya membuat film aksi ini adalah karena kekagumannya terhadap Iko.
Mile 22 mulai tayang di bioskop Indonesia sejak Selasa, 21 Agustus lalu. Sebelum lebih lanjut memasuki review Mile 22, tonton dan baca dulu sinopsisnya sebagai berikut:
Sinopsis
Li Noor (Iko Uwais) ialah polisi negara bernama Indocarr (Indonesia?) yang merangsek masuk ke kedutaan Amerika dan menuntut diberikan suaka. Sebabnya, ia diburu pemerintah Indocarr karena memiliki informasi penting yang dapat menyelamatan umat manusia dari kehancuran.
“Naikkan saya ke pesawat menuju Amerika dan saya akan memberi tahu segalanya,” ujar Li Noor.
Maka, anggota kontraktor militer bernama Overwatch yang bekerja untuk Amerika menugaskan James Silva (Mark Wahlberg) dan timnya untuk mengantar dan melindungi Li Noor ke bandara sejauh 22 mil (35 km) dari kedutaan.
Di perjalanan, konvoi Silva diserang habis-habisan oleh pasukan elite Indocarr yang menginginkan Li Noor hidup atau mati.
Indonesia yang Bukan Indonesia
Penulis naskah Lea Carpenter pun tampaknya ingin menampilkan negara Indocarr (nama macam apa ini?) seperti layaknya Indonesia dalam kenyataan sebenarnya.
Li Noor, Alice (diperankan Lauren Cohan, sekondannya Silva), dan sejumlah pasukan Indocarr misalnya, berbahasa Indonesia. Bahkan memakai kata ganti khas Jakarta, lo dan gue.
Sayang, selain bahasa, budaya yang tampil tentang Indonesia sama sekali bukan budaya Indonesia dan ini cukup lucu. Lucu karena bagi orang luar negeri, hal-hal trivial seperti ini tidak disadari, akan tetapi bagi orang Indonesia mungkin penting.
Di Mile 22, latar yang seharusnya jalanan Jakarta tak seperti Jakarta, justru mirip kota di negara-negara Amerika Tengah. Tidak ada pedagang yang lapaknya menyerobot jalan, sepeda motor yang parkir di trotoar, bus Transjakarta, dan yang paling penting daripada yang terpenting, kemacetan hebat tiada akhir.
Sebagai identitas, Jakarta tidak hanya soal fisik saja, tapi juga budaya manusia yang menghidupinya. Peter Berg dan Lea Carpenter mestinya tahu orang Indonesia itu tidak santai dan mengurus urusannya masing-masing ketika terjadi bom dan baku tembak; orang Indonesia itu berkerumun di TKP.
Di Mile 22, warga sipil yang melihat baku tembak pasukan Silva dan pengejar mereka hanya diam seolah-olah tindak kekerasan dengan senjata api sering terjadi, seperti stereotip negara-negara Amerika Tengah di mana baku tembak sering terjadi.
Ini berbahaya karena menjadi stereotip orang asing terhadap kondisi jalanan Indonesia.
Syuting Mile 22 sendiri dilakukan di Bogota, ibukota Kolombia.
Mile 22 tidak mengakomodasi kemampuan tarung yang jadi ciri khas utama Iko Uwais, namun di sisi yang sama Iko berhasil jadi bintang. Simak mengapa dalam review Mile 22 di halaman sebelah!
Camerawork dan Editing Buruk
Persoalan utama mengapa Mile 22 gagal memanfaatkan kemampuan tarung Iko adalah cara film ini menggerakkan kamera dan mengedit adegan-adegannya.
Ambil contoh adegan tarung Iko dalam adegan klinik berikut ini. Begitu banyak take yang dipotong dengan segera. Setiap pukulan atau tendangan dipotong sebelum mengenai sasaran, sehingga membuatnya kurang bertenaga dan dampaknya kurang terasa.
Coba lihat potongan adegan tarung Mile 22 dalam video yang di-tweet @Fandango berikut ini.
https://twitter.com/Fandango/status/1029049955334467585
Lalu coba bandingkan dengan bagaimana Gareth Evans memotong adegan tarung di The Raid ini.
Dalam The Raid, setiap pukulan benar-benar terasa sakit karena proses editing tidak menipu kita seolah-olah pukulan-pukulan itu kena.
Selain soal editing, gerak kamera oleh penata kamera Jacques Jouffret terasa tergesa-gesa pun juga terlalu lasak. Sulit untuk menonton aksi-aksi Iko secara jelas karena kamera tidak menyorotnya dengan layak.
Kombinasi dua hal tersebut membuat seolah-olah Iko adalah aktor yang tak bisa seni bela diri atau aktor yang fisiknya tak bisa diandalkan. Coba lihat aksi Liam Neeson yang membutuhkan 15 cut hanya agar bisa memanjat pagar saja.
Padahal, salah satu dari lawan tarung Iko dalam adegan belatar klinik tadi adalah Rama Ramadhan yang juga main di The Raid.
Jadi, mengapa Peter Berg dan krunya menggunakan pilihan artistik seperti itu? Mungkin karena skill yang tidak memadai dari penata kamera dan editornya.
Atau mungkin juga untuk menjaga tempo film tetap cepat. Sedari awal, Mile 22 sudah menggeber tempo dengan adegan penggerebekan. Tempo itu tak juga turun bahkan dalam adegan percakapan.
Dialog-dialog yang diucapkan karakternya, terutama James Silva dan Alice sungguh bergegas. Subtitle saja kesulitan mengikuti kecepatan mereka berbicara.
Sebagai film aksi, tempo cepat itu nyaris sebuah keharusan. Film aksi ingin memompa adrenalin penontonnya dengan adegan-adegan yang intens. Dalam hal ini, Mile 22 berhasil menjaga ketegangan sepanjang film.
Hanya saja, seandainya film ini berhasil memanfaatkan kemampuan tarung Iko sembari menjaga tempo yang tetap cepat, Mile 22 akan jauh lebih berkesan.
Iko Bersinar, Wahlberg Melempem
Meski tidak didukung oleh teknis yang mengakomodasi skill-nya sepenuhnya, Iko tetap bersinar sepanjang film. Aksi-aksinya menarik untuk ditonton dan masih tetap brutal. Masih ada adegan yang membuat saya merasa “sakit” karena pukul-pukulan Iko.
Kharismanya sebagai ahli seni bela diri silat tak terbendung, bahkan oleh bintang Mark Wahlberg.
Wahlberg sudah menjadi kolaborator Berg sebelum Mile 22. Bersama-sama, keduanya telah menelurkan film-film seperti Lone Survivor (2013), Patriots Day (2016), dan Deepwater Horizon (2016).
Wahlberg melempem karena naskah tak membuatnya jadi karakter yang mudah dicintai. Ia memaki orang, tidak punya empati, dan kompas moralnya dipertanyakan. Mile 22 sepertinya berusaha membuat karakter Silva jadi badass seperti John Wick.
Sayang, tak ada resolusi atau momen yang membuatnya layak untuk disayangi penonton, seperti momen ketika John Wick mengamuk karena anjingnya mati. Perkembangan karakternya jalan di tempat.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan review Mile 22 ini, Peter Berg dan krunya membuat Iko seolah-olah tak cakap dalam seni bela diri lewat gerak kamera dan editing yang tergesa-gesa. Iko Uwais menjadi alasan utama mengapa kamu harus nonton film ini. Kalau kamu penggemar berat film aksi, barangkali juga bakal suka.
Demikian review Mile 22; apakah kamu tertarik menontonnya? Kalau sudah nonton, bagaimana pendapatmu tentang film ini? Sampaikan di kolom komentar, ya!