Review Kulari ke Pantai: Keluar Bioskop dengan Perasaan Bahagia

Dari orang yang sama di balik Petualangan Sherina dan Laskar Pelangi, film Kulari ke Pantai ini sangat menyenangkan dan menghangatkan hati. Sa keluar bioskop dengan perasaan bahagia.

Review Kulari ke Pantai: Keluar Bioskop dengan Perasaan Bahagia

Meski beberapa kali mood rusak karena product placement yang kurang mulus, sa tidak berhenti tersenyum saat dan sesudah menonton Kulari ke Pantai. Banyak pelajaran positif, banyak kebahagiaan, juga banyak kehangatan. Simak review Kulari ke Pantai berikut ini.

Film anak-anak adalah genre film yang cukup jarang tayang di bioskop Indonesia yang dipenuhi oleh horor, komedi, dan drama romantis. Untuk bisa menikmati film yang bisa dinikmati anak, kita masih bergantung pada film animasi dari luar negeri seperti produk Disney dan Pixar.

Padahal, film anak punya sejarah yang cukup terang dalam lanskap film Indonesia. Petualangan Sherina (2000) misalnya, menjadi pilar kebangkitan film nasional di akhir dekade 90-an.

Beberapa tahun setelahnya, film Laskar Pelangi (2008) menjadi salah satu film Indonesia terlaris dengan raihan 4,7 juta penonton sebelum baru bisa disalip Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1 delapan tahun kemudian.

Seperti dikutip dari CNN Indonesia yang mengutip siaran pers Miles Films, jumlah film anak-anak tidak lebih dari 15 judul dari 500 judul film Indonesia selama kurun waktu 5 tahun belakangan. Maka dari itu, keresahan produser Mira Lesmana dan sutradara Riri Riza sebenarnya masuk akal.

Review Kulari ke Pantai: Keluar Bioskop dengan Perasaan Bahagia

Upaya mereka (dan filmmaker Indonesia lain) untuk membuat film anak patut diapresiasi. Selain itu, Kulari ke Pantai ini juga ditunggu-tunggu sebab baik Mira maupun Riri adalah orang yang sama dengan orang yang membikin Petualangan Sherina dan Laskar Pelangi.

Jadi, kita sebagai penonton bisa mengharapkan kualitas.

Sebelum masuk review Kulari ke Pantai, tonton trailer dan sinopsisnya dulu sebagai berikut.

Sinopsis

Film yang judulnya diambil dari petikan puisi Rangga di Ada Apa dengan Cinta (2002) ini bercerita tentang petualangan/ road-trip seorang ibu bernama Uci (Marsha Timothy) bersama putrinya Sam (Maisha Kanna).

Keduanya berencana melakukan perjalanan darat sejauh 1.025 km dari Jakarta ke Banyuwangi demi menemui peselancar idola Sam di Pantai G-Land.

Akan tetapi sebelum berangkat, keduanya kedatangan sepupu Sam yang bernama Happy (Lil’li Latisha) saat kumpul keluarga di Jakarta. Happy yang cenderung sombong dan lebih suka bermain ponsel pintar membuatnya tak cocok dengan Sam yang lebih suka berpetualang di alam.

Oleh karena sering cekcok, ibu Happy, Kirana (Karina Suwandi) menyuruh Happy untuk ikut perjalanan Uci dan Sam.

Menghangatkan Hati

 

Review Kulari ke Pantai: Keluar Bioskop dengan Perasaan Bahagia

Sejak dari trailer, kita sudah bisa merasakan kebahagiaan dan kehangatan film Kulari ke Pantai ini.

Lagu temanya yang dibawakan oleh RAN berkontribusi besar. Namun, kebahagiaan dan kehangatan itu sejatinya datang dari kombinasi optimisme dan kepolosan ala film anak dengan perkembangan karakter ala road movie.

Dinamika tokoh anak Sam dan Happy adalah bahan bakar utamanya. Sam adalah tipe—sa mengutip ucapan Happy—“anak kampung” yang senang nge-bolang. Sifatnya yang ekspresif dan pemberani mengingatkan kita pada Sherina.

Sementara sepupunya Happy adalah “kebalikan”-nya. Ia menasbihkan dirinya sendiri “glam girls” dan lengket dengan gawai. Karakter Happy ini mewakili stereotip generasi anak-anak Indonesia masa kini yang akrab dengan teknologi dan lebih global. Happy fasih berbasa Inggris.

Review Kulari ke Pantai: Keluar Bioskop dengan Perasaan Bahagia

Sejak awal, kita melihat seperti apa dua karakter yang berbeda kepribadian ini bertemu dan melakukan perjalanan bersama-sama di dalam mobil. Mereka lucu, polos, dan untungnya, kedua aktris cilik ini punya kemampuan akting yang baik sehingga interaksi mereka terasa dinamis dan natural.

Bagi anak-anak yang menonton, kisah Sam dan Happy ini relatable dan menyenangkan. Sementara bagi penonton yang lebih dewasa, mereka merangsang ingatan masa kecil, menimbulkan perasaan gemas dan nostalgik.

Hal itu kemudian dikombinasikan dengan elemen road movie. Road movie adalah film perjalanan yang dikatakan berhasil jika ada perubahan sikap dari karakter yang melakukan perjalanan tersebut.

Perkembangan karakter itulah yang membuat penonton mudah untuk tersentuh. Dalam konteks Kulari ke Pantai ini, ia adalah tentang bagaimana Sam dan Happy belajar untuk toleran dan menerima satu sama lain.

Bayangkan saja Petualangan Sherina digabungkan dengan 30 Hari untuk Selamanya (2007), bedanya, kali ini perjalanannya dari, oleh, dan untuk anak-anak.

Film ini juga tak luput dari cacat minor, seperti product placement-nya yang kurang mulus. Simak di kelanjutan review Kulari ke Pantai di halaman sebelah.

Product Placement yang Mengganggu

Review Kulari ke Pantai: Keluar Bioskop dengan Perasaan Bahagia

Memasukkan iklan ke dalam film sebenarnya fine-fine saja, tapi bagi Kulari ke Pantai ia terasa seperti beban. Mengapa beban? Karena film beberapa kali berkompromi mengubah narasinya demi memfasilitasi sejumlah merk untuk tampil.

Yang paling mengganggu tentu saja produk air minuman dalam kemasan warna hijau. Dalam suatu adegan saat Sam sedang hyper setelah minum teh manis, ia nyerocos sambil mengangkat-angkat botol minum bermerk.

Adegan itu memang penting untuk menunjukkan sisi lain dari Sam yang tidak bisa mengonsumsi gula. Tapi, adegan itu justru jadi aneh dan canggung karena tujuannya terasa bukan untuk menampilkan cerita tentang Sam, melainkan iklan semata.

Review Kulari ke Pantai: Keluar Bioskop dengan Perasaan Bahagia

Kompromi itu kemudian membuat mood jadi terganggu sebab tempo film pun ikut kacau. Product placement ini banyak terjadi di awal film dan untung saja mood kembali ke jalan yang benar berkat Dodit Mulyanto, si pemilik hotel “kontemplasi”, yang selalu sukses memancing tawa.

Konflik Tipis

Review Kulari ke Pantai: Keluar Bioskop dengan Perasaan Bahagia

Selain soal product placement, Kulari ke Pantai ini nyaris menjadi film anak yang komplit kalau bukan karena konfliknya yang tipis. Spoiler ahead.

Pada suatu malam di Gunung Bromo, Sam dan Happy akhirnya serius bertengkar. Happy marah karena Sam memotong pembicaraan lewat video call-nya dengan sahabat “glam girls”-nya di Jakarta.

Sam melakukan hal itu karena ia mendengar Happy membohongi dirinya sendiri dengan menyebut perjalanan mereka membosankan. Padahal, Happy senang-senang saja. Bahkan bertemu gebetan.

 

Konflik mereka ini terasa kurang greget. Bukan soal awal mula pertengkaran seperti di atas, melainkan cerita saat Happy kabur dan berniat pulang sendiri ke Jakarta. Terlalu mudah upaya film ini untuk mempertemukan mereka bertiga kembali. Konflik lain yang datang setelahnya pun tidak cukup dramatis.

Meskipun konfliknya tipis, Kulari ke Pantai berhasil membuat resolusi yang memuaskan. Baik Sam dan Happy belajar banyak dari perjalanan mereka. Itulah hal yang membahagiakan.

Pengingat Kekayaan Alam dan Budaya Indonesia

Review Kulari ke Pantai: Keluar Bioskop dengan Perasaan Bahagia

Perlu sa katakan dalam review Kulari ke Pantai ini bahwa film-film Indonesia lain boleh belajar dari sini tentang bagaimana memotret pemandangan. Sudah banyak film Indonesia yang memotret latar—terutama latar luar negeri—dengan eksploitatif.

Maksudnya, banyak gambar bagus, tapi tidak ada emosi yang tercipta. Kulari ke Pantai ini berbeda. Ia tidak hanya menampilkan gambar-gambar cantik pedesaan di Temanggung, pantai di Pacitan, hingga Gunung Bromo, tapi juga memotret budaya dan spirit di dalamnya.

Setiap tempat punya cerita dan cerita itu membantu penonton untuk semakin suka dengan tiap lokasi yang dikunjungi.

Selain tempat, para karakter di dalam Kulari ke Pantai ini juga unik-unik. Dodit Mulyanto yang memerankan Mukhidi lucu sekali, namun yang paling menarik adalah Suku_Dani yang memerankan backpacker bernama Dani.

Review Kulari ke Pantai: Keluar Bioskop dengan Perasaan Bahagia

Aksen Papua-nya yang kental (Dani memakai kata ganti “sa” untuk “saya” dan sa jadi tertarik menggunakannya dalam review Kulari ke Pantai ini) dan anekdot yang ia ceritakan setelah petikan ukulele berhasil mencuri perhatian.

Kesimpulan

Review Kulari ke Pantai: Keluar Bioskop dengan Perasaan Bahagia

Sebagai konklusi dari review Kulari ke Pantai, meski punya cacat minor berupa kurang mulusnya product placement dan konfliknya yang tipis, Kulari ke Pantai berhasil membawa semangat film anak-anak yang optimis, menyenangkan, dan tentu saja menghangatkan hati. Sa keluar bioskop dengan energi positif.

Demikian review Kulari ke Pantai. Kamu sudah nonton? Bagaimana menurutmu? Sampaikan di kolom komentar, ya!


Mau dapat PS4 dan Nintendo Switch GRATIS? Kunjungi BEKRAF Game Prime 2018, event industri game terbesar se-Indonesia pada tanggal 13-15 Juli 2018 di Balai Kartini, Jakarta! Kunjungi bit.ly/bgp2018 untuk mendaftarkan dirimu GRATIS!

Artikel terkait

ARTIKEL TERBARU