Review Film Dilan 1990: Sajian Manis dari Seorang Pria di Bandung
Dilan 1990 ternyata tidak semenggelikan trailer-nya. Sebuah sajian roti cokelat dengan taburan keju yang manis dan menggemaskan!
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Film adaptasi dari novel laris ini menyajikan sajian manis nan menggemaskan. Sulit untuk tidak tersipu menontonnya. Simak review Dilan 1990 berikut ini.
Dari sekian judul film Indonesia yang paling ditunggu-tunggu tahun 2018 ini, Dilan 1990 adalah salah satunya. Novel Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990 karya Pidi Baiq yang terbit 2014 lalu ini laris manis di pasaran.
Maka, wajar jika banyak kepala, terutama penggemar berat novelnya berekspektasi macam-macam terhadap adaptasinya ini. Film Dilan 1990 tayang perdana di bioskop Indonesia pada 25 Januari lalu dengan beban berat untuk dipanggul.
[duniaku_baca_juga]
Sinopsis
Bandung, September 1990. Milea (Vanesha Prescilla) baru saja pindah sekolah dari Jakarta. Oleh karena ia cantik, banyak pria mencoba mendekatinya. Ada Nandan (Debo Andryos), ketua kelas; Kang Adi (Refal Hady), guru les private; hingga seorang pria bernama Dilan (Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan), siswa berandal pentolan geng motor.
Di tempat lain, Milea sedang punya bacar bernama Beni (Brandon Salim). Namun, (ya jelas) seperti judul filmnya, hati Milea jatuh tertuju pada seorang begajul bernama Dilan. Walaupun kelakuannya menjengkelkan, tetapi Dilan mampu menunjukkan sisi terbaiknya.
Setia pada Novel
Seperti halnya karakter Dilan dalam film yang setia pada Milea, film Dilan 1990 ini juga setia pada pembawaan novelnya. Novelis Pidi Baiq menulis novelnya lewat sudut pandang Milea. Milea dituliskan sedang menulis cerita tentang kisahnya di masa lalu ketika bertemu dengan Dilan.
Sudut pandang Milea ketika ada di dalam novel menjelma menjadi narasi, begitu juga dengan di film. Narasi di dalam novel sangat penting dan bahkan biasa menjadi tumpuan utama untuk menuturkan cerita. Namun, medium film punya kemampuannya sendiri. Sifatnya yang audio-visual membuat ia bisa bercerita lewat gambar dan suara, tak melulu harus dijelaskan dengan voice over.
Hampir keseluruhan novelnya adalah tentang hidup sehari-hari Milea dan bagaimana ia memandang Dilan. Dilan ini karakter yang cukup rumit juga. Rumit karena cukup sulit diterima oleh akal sehat jika kita membandingkannya dengan karakter di kehidupan nyata sehari-hari.
Ia badass (adu jotos dengan guru), smartass (menjawab asal-asalan di lomba cerdas cermat), tapi sayang pada keluarga dan tentunya romantis pada Milea. Ia tanpa cela, semacam Gary Stu, versi laki-laki dari Mary Sue, label yang diberikan untuk karakter fiksi yang terlihat sempurna.
Inilah yang diangkat bulat-bulat ke dalam film. Dilan berbicara bahasa Indonesia baku sementara orang-orang di sekitarnya berbahasa pasaran semua. Cukup menggelikan juga mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Dilan, berbeda rasanya ketika dibaca lewat novel. Namun, Iqbaal beberapa kali berhasil mengembangkannya menjadi lebih natural, meski beberapa kali juga masih terdengar menggelikan.
Dilan sebenarnya sudah punya masalah soal cerita dan karakterisasi sejak masih berupa novel. Temukan seperti apa di halaman sebelah.
Cerita yang Tipis
Cerita Dilan 1990 ini sebenarnya sederhana saja. Tentang kisah sehari-hari Milea, Dilan, dan semua orang di sekitarnya. Jika kamu suka film tentang ide-ide besar, barangkali akan memicingkan mata menontonnya.
Namun, masalah dalam Dilan 1990 bukan sederhana atau tidak kisah yang ingin ia ceritakan, tetapi bagaimana film ini terlalu sibuk pada dua karakter utama mereka sementara tidak menggali karakter di sekitarnya.
Cerita tentang Dilan ini sebenarnya sudah problematik sejak berupa novel. Membaca novel Dilan itu seperti mendengar seorang cewek bernama Milea datang ke rumahmu untuk curhat. Ia curhat tentang betapa keren pacarnya, sementara dalam curhatan yang sama, menjelek-jelekkan orang lain semaunya.
[read_more id="364358"]
Dilan memang terlihat sempurna sebagai kekasih, ia sukses bikin iri banyak pembaca pria. Namun dalam buku pertamanya, 1990 (buku selanjutnya 1991), Dilan tak banyak diberi kesempatan untuk menjelaskan mengapa dia orangnya rebel. Satu-satunya bocoran adalah poster Ayatollah Ruhollah Khomeini, pemimpin besar Iran di kamarnya (yang diganti menjadi quote Ronald Reagan di film).
Khomeini adalah pemimpin revolusi ketika ia mengakhiri rezim monarki Persia yang telah berdiri 2500 tahun. Khomeini mungkin mengubah watak Dilan. Selain itu, barangkali karena ayahnya seorang tentara yang waktu itu menjadi profesi yang disegani saat Orde Baru.
Tak hanya Dilan yang notabene orang paling penting dalam cerita ini, tetapi juga para karakter pendukung lainnya. Nandan diceritakan culun simply karena dalam novel ia digambarkan culun, begitu juga dengan Kang Adi yang pemaksa dan Beni yang kasar. Kita tidak diberi kesempatan untuk kenal tabiat mereka seutuhnya.
[duniaku_baca_juga]
Masalah itulah yang kemudian ikut terangkat ke dalam film—saking setianya ia pada novel. Saya merasa kasihan sekaligus menyayangkan ketika menonton para karakter datang dan pergi hanya untuk memuluskan plot Milea-Dilan sebagai pasangan kekasih. Ia juga tak berbeda jauh dengan film remaja cheesy lainnya yang lebih suka mengeksploitasi karakter protagonis laki-lakinya, dalam hal ini Iqbaal sebagai Iqbaal, bukan sebagai Dilan.
Kemistri Iqbaal dan Vanesha
Setelah porsi karakterisasi seperti yang sudah dibahas di atas berkurang, Dilan 1990 menggunakan bagian itu untuk pasangan Milea-Dilan. Saya sendiri termasuk orang yang skeptis ketika film ini mengeluarkan trailer-nya waktu itu.
Terlihat sekali trailer-nya ingin menggunakan pesona Iqbaal dikombinasikan dengan kata-kata puitis dari novel yang jatuhnya jadi menggelikan. Saya membayangkan bagaimana sutradara Fajar Bustomi mengarahkan Iqbaal agar adegan itu jadi tidak ewwhh.
Iqbaal adalah aktor remaja potensial Indonesia saat ini. Kepopulerannya barangkali hanya bisa disaingi oleh Jefri Nichol, aktor remaja lainnya. Sejak penampilannya di film remaja Ada Cinta di SMA, Iqbaal sudah menunjukkan bahwa ia punya pesona. Tingkah lakunya menarik perhatian, dan ia berhasil mengerjakan tugasnya dengan baik.
Namun, aktor yang baik juga butuh arahan dari sutradara agar output-nya sesuai dengan visi. Di trailer, bisa dilihat dari matanya bahwa Iqbaal bingung dengan kata-kata asing yang ia ucapkan. Beruntungnya di dalam film, ia berhasil mengembangkannya.
Iqbaal menjawab keraguan orang-orang yang bilang Dilan itu harus tampil bad boy. Ternyata enggak juga, Dilan itu kharismatik. Iqbaal menunjukkannya.
Sementara itu, partner-nya Vanesha Prescilla bermain cukup baik dan mampu membawakan karakter Milea yang diterpa drama kanan-kiri. Namun seperti halnya kepada aktor lain dalam film ini (termasuk Iqbaal), Vanesha boleh coba satu olah tubuh sederhana yang remeh tetapi cukup mengganggu karena tidak dilakukan dengan baik: akting tertawa.
Kombinasi Iqbaal dan Vanesha inilah yang menjadi jualan utama Dilan 1990. Apalagi, materinya (novel) memang sudah cukup baik kalau soal beginian. Kemistri mereka berdua manis: Dilan beberapa kali melempar gombalan kreatif dan Milea tersipu, di lain kesempatan, Milea juga balas merespon dan Dilan juga ikut tersipu lewat pandangan mata di balik poninya yang berantakan.
Nostalgia Masa SMA
Meskipun Dilan 1990 punya kelemahan, terutama dari cerita dan karakterisasinya, kemistri Milea dan Dilan sudah cukup untuk menjadi bahan selebrasi atas cinta monyet dan kisah-kisah roman ketika SMA. Kapan lagi ketika kalian sudah kuliah atau bekerja bisa menggelayut manja di pelukan ibu si pacar?
Dilan 1990 ternyata tidak semenggelikan seperti trailer-nya sampaikan. Ia manis seperti roti cokelat dengan taburan keju yang cukup untuk bikin gemas dan tersipu malu. Dilan 1990 barangkali bukan film yang cocok untuk semua orang. Jika kamu penggemar novelnya, atau juga menggemari Iqbaal, boleh jadi akan suka.
Diedit oleh Fachrul Razi