Review Breathe: Ketika Andrew Garfield Mengidap Polio
Andy Serkis, pemeran Gollum di The Lord of the Rings dan Caesar di Planet of the Apes kini memulai karier sebagai sutradara. Breathe ini adalah debutnya. Filmnya masih tayang di bioskop.
Sutradara Andy Serkis bermain terlalu aman namun berusaha terlalu keras untuk memeras emosi penonton. Simak seperti apa dalam review Breathe berikut ini!
Buat kamu yang pernah nonton trilogi The Lord of the Rings atau trilogi Planet of the Apes pasti kenal dengan Andy Serkis. Ia adalah pemeran Gollum dan Caesar.
Perjalanan karier Serkis terbilang cukup unik karena ia lebih dikenal sebagai aktor di balik “selimut” CGI daripada secara langsung memperlihatkan wajahnya. Selain The Lord of the Rings dan Planet of the Apes, ia juga berperan sebagai King Kong, Captain Haddock dalam Tintin (2011) hingga Supreme Leader Snoke dalam The Force Awakens (2015) dan The Last Jedi (2017).
[duniaku_baca_juga]
Namun kali ini, ia mencoba peruntungannya dengan menjadi sutradara. Lewat rumah produksi The Imaginarium Studios, Serkis memulai debutnya dengan menyutradarai film Breathe.
Berbeda dengan karakteristik Serkis yang rajin bergerak sebagai aktor, kali ini ia menggawangi film tentang orang yang lumpuh karena mengidap polio. Sebelum lebih lanjut membahas review Breathe ini, ada baiknya membaca sinopsisnya terlebih dahulu.
Sinopsis
Kalau kamu orangnya anti dengan spoiler, disarankan tidak menonton trailer di atas. Entah apa tujuan trailer tersebut membeberkan seluruh plot film. Film Breathe yang berdurasi 117 menit ini jadi terlihat seperti versi dua jam trailer.
Breathe diadaptasi dari kisah nyata Robin Cavendish. Ia menjadi lumpuh dari leher hingga ujung kaki karena serangan virus polio. Film dimulai dengan kisah pertemuan Robin (Andrew Garfield) ketika bermain kriket dengan Diana (Claire Fox) yang cantik jelita. Tanpa basa-basi, penulis naskah William Nicholson langsung menampilkan keduanya sudah menjadi pasangan.
Diana lalu hamil bayi yang akan menjadi produser film ini, Jonathan Cavendish. Tragedi dimulai ketika mereka pergi ke Kenya untuk urusan pekerjaan. Di sana, Robin terjangkit virus polio sehingga melumpuhkan hampir seluruh tubuhnya.
Ia kemudian dirawat inap di rumah sakit dengan alat respirator untuk membantu pernapasannya. Dari situlah judul film ini barangkali berasal. Dokter memperingatkan usia pengidap polio hanya bisa bertahan dalam waktu hitungan bulan.
Bagaimana Robin bertahan? Simak lebih lanjut dalam review Breathe di bawah.
Mempersoalkan Jonathan Cavendish
Satu hal penting dalam review Breathe ini ialah, Andy Serkis menceritakan kisah nyata perjuangan keluarga Cavendish dengan sungguh-sungguh dan penuh empati. Namun sepertinya masalah terletak pada Jonathan Cavendish yang menjabat sebagai produser film ini.
Bayangkan saja kamu punya rencana untuk membuat film tentang orang tuamu. Jika kamu menyayangi mereka sepenuh hati, kamu akan berisiko untuk membuat mereka seideal mungkin.
Apalagi kisah Robin ini memang menarik. Robin adalah salah satu pengidap polio yang bisa hidup paling lama di Inggris Raya. Sebagian hidupnya dicurahkan untuk membela kualitas hidup para pengidap polio.
Sementara itu kita tahu manusia tidak ada yang benar-benar ideal. Semua orang punya dosanya masing-masing. Film Breathe ini terjebak dalam glorifikasi dan penyederhanaan karakter yang keterlaluan sehingga membuatnya tak menarik.
Oleh karena kita semua tidak ada yang sempurna, kita cenderung untuk lebih mudah terhubung secara emosional pada mereka yang punya dosa.
Breathe terlihat tidak jujur dalam menceritakan karakternya. Celakanya, ia berusaha semaksimal mungkin untuk memeras emosi penonton. Hanya karena film ini bercerita tentang orang sakit, penonton tak serta merta berkewajiban untuk bersedih.
Padahal, jika dilihat dari premisnya, Breathe berpotensi menjadi film inspirasional sekaligus menghangatkan hati.
Mengapa Breathe dinilai adalah tipe film yang cari aman saja? Simak kelanjutan review Breathe di halaman sebelah!
Film Cari Aman
Kita mengikuti kehidupan Robin Cavendish dalam usahanya untuk hidup. Sebagai pengidap polio dan lumpuh dari leher hingga kaki, praktis hidupnya selalu bergantung pada orang lain... dan tentunya alat respirator. Jika dibagi-bagi, film ini punya tiga babak.
Sebagian awal dari film bercerita tentang kisah percintaan Robin dan Diana. Jika kamu belum menonton trailer atau membaca halaman Wikipedia-nya, barangkali akan mengira film ini drama romantis yang manis antara Andrew Garfield yang tampan dan Claire Fox yang cantik.
Sebagian lain film ini merupakan usaha Robin untuk kabur, baik secara fisik dengan kabur dari rumah sakit dan jalan-jalan ke Spanyol atau secara mental. Bayangkan saja di umurmu yang ke-28 tahun, kamu tidak bisa ngapa-ngapain. Bahkan jika pada waktu itu sudah ada ponsel dan internet, kamu tetap enggak bisa ngapa-ngapain karena, jelas, tanganmu ikut lumpuh.
Hal itu menjadi salah satu dari dua momen menarik tentang karakterisasi tokoh dalam film ini, selain upaya altruistik Robin dan Diana yang menggoda satu sama lain untuk cari pasangan lain saja. Garfield menampilkan sisi lain tokoh Robin yang depresi ingin cepat mati.
Sementara itu, sebagian akhir film mengikuti kisah Robin yang menjadi pembela kualitas hidup para pengidap polio agar tak hanya terpenjara di bangsal rumah sakit.
Penceritaan dan kisah yang ingin dituturkan film ini lempang-lempang saja tanpa ada sesuatu yang mengejutkan atau setidaknya membuat khawatir. Ada dua atau tiga kali momen yang sepertinya berniat mengajak penonton untuk ikut dalam gelombang perasaan karena khawatir tentang Robin.
Namun, Serkis tak mengolahnya lebih jauh alih-alih menyelesaikannya secepat mungkin. Penceritaan Serkis yang main aman ini membuat filmnya kurang mengigit.
Menonton Breathe ini seperti mengemudi mobil di jalanan yang bagus dan lurus. Di satu sisi kita mungkin bisa menikmati segala keindahan alam di sepanjang perjalanan atau menikmati kondisi aspal yang mulus tanpa was-was berbelok. Namun di sisi lain, perjalanan tersebut membosankan dan tidak menarik.
Diselamatkan Performa Aktor
Ini patut apresiasi, penceritaan yang datar dari Andy Serkis diselamatkan oleh performa baik Andrew Garfield dan Claire Fox.
Garfield dengan hanya ditampilkan wajahnya saja cukup mampu membawa tokoh Robin yang sebenarnya pintar. Ia suka sekali menembus batas-batas formalitas dengan celutukan-celutukannya. Suatu ketika, ia skamat seorang direktur dengan celutukan cerdas, dan itu sangat menghibur.
Hanya sayangnya, Garfield belum cocok untuk berperan sebagai karakter kakek-kakek. Walaupun telah berumur 34 tahun, wajahnya masih kelihatan muda untuk jadi tua.
Sementara itu, penampilan terbaik diberikan oleh Claire Fox. Seperti film-film bertema penyakit lainnya, keberadannya tokoh paling emosional adalah hal penting. Dan dalam film ini, Fox adalah mesinnya. Namun yang menjadikannya menonjol adalah kemampuannya untuk membawakan kesedihan tanpa terlalu berlebihan.
Kesimpulan
[read_more id="347353"]
Sebagai kesimpulan review Breathe, film ini boleh saja berupaya untuk memancing emosi penonton dengan adegan-adegan simpatik, seperti ketika Robin meminta untuk mati pada istrinya, Diana.
Namun emosi tak bisa ditampilkan begitu saja dalam visual dan suara, ia harus dibangun lewat usaha. Sangat sulit sekali untuk tergerak walaupun sudah berusaha untuk menjiwai narasi film ini. Seperti halnya berjudi, jika kamu kurang banyak bertaruh, kamu akan menang lebih sedikit. Dan Breathe tidak mengambil risiko itu.
[read_more id="348376"]
Diedit oleh Fachrul Razi