Review Berlin Syndrome: Berpergian ke Luar Negeri Jadi Lebih Menakutkan
Jalan-jalan ke luar negeri memang asik. Tapi bagaimana ceritanya jika kamu diculik dan dikurung orang tak dikenal? Simak review Berlin Syndrome berikut!
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Andi (Max Riemelt) mengancam Clare (Teresa Palmer). Sumber: The Vision Splendid[/caption]
Jalan-jalan ke luar negeri memang asik. Tapi bagaimana ceritanya jika kamu diculik dan dikurung orang tak dikenal? Simak review Berlin Syndrome berikut!
Sinopsis
Seorang turis Australia, Clare (Teresa Palmer) sedang backpacking keliling Jerman. Clare berkelana sendirian, memotret sisa-sisa Berlin ketika Perang Dingin sembari menikmati jajanan. Ia kemudian bertemu dengan pria lokal, Andi (Max Riemelt). Mereka jatuh cinta dan sempat tidur bersama. One night stand.
[duniaku_baca_juga]
Namun nahas, Clare dikurung di apartemen kosong tak berpenghuni oleh Andi yang ternyata punya masalah kejiwaan. Clare kemudian berupaya mencari jalan kabur sementara Andi berkutat dengan masalah dirinya sendiri.
Berlin dan Stockholm Syndrome
Berlin Syndrome diangkat dari novel dengan judul yang sama oleh Melanie Joosten. Judul itu merujuk pada Stockholm Syndrome yang berarti suatu keadaan di mana sandera penculikan menunjukkan tanda-tanda kesetiaan pada penculiknya.
Cerita dalam film ini berlatar Kota Berlin yang masih berkutat dengan masa lalunya ketika masih dibagi dalam dua wilayah: Jerman Barat dengan kebebasan demokrasi dan Jerman Timur yang membanggakan romantika kehidupan yang utopia.
Film yang disutradarai Cate Shortland ini tidak seperti film-film penculikan pada umumnya yang menjual adegan penyiksaan. Berlin Syndrome lebih mirip campuran 10 Cloverfield Lane (2016) dan Fifty Shades of Grey (2015) dengan aura dingin mirip Personal Shopper (2016).
Alih-alih menunjukkan adegan gore, film ini memutuskan untuk mengesplorasi sisi psikologis dari para tokoh, terutama sisi korban (Clare) dan motif pelaku (Andi). Walaupun juga diisi oleh thriller menegangkan, Berlin Syndrome lebih terasa humanis.
Sumber: The Hollywood Reporter[/caption]
Dari awal film, kita melihat bagaimana Andi dan Clare saling malu-malu ketika pertama kali berjumpa. Clare yang ternyata melakukan backpacking untuk mencari jati dirinya ini akhirnya menemukan pelarian yang tepat dalam diri Andi. Andi pun yang secara misterius seorang sosiopat juga menemukan kasih sayang seorang wanita setelah trauma ditinggalkan ibunya sejak kecil.
Berlin Syndrome sangat emosional mempertontonkan bagaimana perasaan dan tindakan Clare sebagai korban. Dengan berusaha untuk realistis, Clare tidak serta merta berpikir jauh untuk merencanakan pelarian secara cerdik, namun kita melihat ia begitu tertekan dan gelisah dengan kehadiran Andi yang lebih superior secara fisik. Di sisi yang lain, ia kebingungan merespons emosi Andi yang berubah-ubah. Kondisi itu ditambah kenyataan bahwa ia sendirian di tanah asing seperti Berlin ini.
Sementara itu, Andi menunjukkan sikap patriarki dan represif terhadap Clare. Ia pendiam dan itu membuatnya tampak lebih menyeramkan. Ia sering mengunjungi ayahnya (Matthias Habich) yang sudah tua renta, menunjukkan bahwa Andi masih punya rasa kemanusiaan.
Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, film ini tidak begitu saja menjual penyiksaan. Pun tidak juga buru-buru menjual kepedihan korban semata. Memang dalam sebagian waktu, Clare dipertontonkan dalam kondisi yang mengenaskan sambil sekali-kali mencari jalan kabur.
Dalam Berlin Syndrome, Clare adalah tokoh utama, namun sebagian besar waktu dalam film ini digunakan sebagai observasi kehidupan Andi. Apa rahasia Andi sehingga ia jadi sangat posesif secara ekstrim? Mengapa dia berbuat seperti itu?
Lewat tempo yang lambat, penulis naskah Shaun Grant dan sutradara Cate Shortland dengan telaten menceritakan kehidupan Andi, sementara kehidupan Clare diceritakan sangat kabur. Kita bahkan tidak diberitahu latar belakang atau sekadar kilas balik ke Australia.
Lambatnya tensi film ini sangat riskan membuatmu mengantuk. Apalagi konflik jarang muncul di antaranya. Namun jika diperhatikan dengan saksama, tempo yang lambat tersebut sangat membantu penonton dalam memahami betapa kesepian hidup para tokoh.Berlin Syndrome menjadi tambah emosional berkat duo Palmer dan Riemelt. Palmer menunjukkan keterampilan akting lewat range of emotion-nya yang luas. Bahkan ketika karakter Clare sempat menunjukkan gejala stockholm syndrome, Palmer memerankannya sangat natural.
Sementara itu Riemelt berhasil membawakan karakter Andi yang sebenarnya berhati baik dan lembut, namun masa lalu dan lingkungannya membuat ia abai terhadap perasaan orang lain. Riemelt berhasil memerankan karakter Andi yang ambivalen, orang dengan kondisi perasaan yang bertentangan terjadi secara bersamaan.
Upaya untuk menceritakan kehidupan Andi, seperti yang telah diutarakan di atas, terbayar lunas lewat akhir film. Dari film ini, kita dapat belajar bahwa ada akhir yang benar-benar adil dan pantas untuk film dengan tokoh penculik dan korbannya.
Diedit oleh Fachrul Razi