Review Jumanji Welcome to The Jungle: This is Central Intelligence’s Homecoming!
Bisakah Jumanji : Welcome to The Jungle menandingi kualitas versi lamanya? Atau film ini hanya akan menjadi pengisi liburan sekolah semata? Simak ulasannya!
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Source: The Film Yap[/caption]
Mampukah Jumanji Welcome to The Jungle menandingi kualitas dari versi lamanya? Ataukah film ini hanya akan menjadi ajang ngelawak bagi Dwayne “The Rock” Johnson dan Kevin Hart setelah sempat berduet di Central Intelligence? Simak ulasannya!
[duniaku_baca_juga]
SPOILER ALERT!
Sinopsis
Ceritanya sendiri bisa dibilang seperti kelanjutan dari film lamanya karena berlatar pada tahun 1996, setahun setelah insiden Jumanji pertama. Di sini, Jumanji seolah sadar kalau permainan board tidak akan memikat anak-anak untuk memainkannya.
Dari sinilah, Jumanji pun berevolusi menjadi video game yang akhirnya menarik perhatian seorang anak. Dan kemudian, cerita berpindah pada masa dua puluh tahun kemudian di mana para tokoh utama kita yang terdiri dari Spencer si kutu buku, Fridge si atlet futball, Bethany si cewek narsis dan Martha si introvert.
Keempatnya harus mendapat hukuman membersihkan gudang yang rencananya akan dipergunakan untuk laboratorium komputer. Pada saat itulah, mereka tak sengaja menemukan video game berjudul Jumanji dan memainkannya. Seperti dalam trailer-nya, para remaja ini pun terseret ke dalam dunia Jumanji.
[duniaku_adsense]
Keempatnya kini hidup dalam avatar yang mereka pilih. Spencer dan Martha yang notabene memiliki tampang biasa saja kini memiliki avatar keren, Dr. Smolder Bravestone dan Ruby Roundhouse. Sedangkan Fridge dan Bethany justru harus menerima kenyataan bahwa avatar mereka, Mouse Finbar dan Prof. Sheldon Oberon adalah karakter payah yang lebih cocok menjadi peran pemain pendukung.
Bagaimana kelanjutan petualangan mereka? Mampukah Spencer dan kawan-kawannya menuntaskan permainan mereka?
Plot Khas Light Novel Isekai
Jika ditanya bagaimana rasanya nonton film ini, penulis akan menjawab bahwa rasanya seperti menonton anime musiman bertema isekai. Tanpa bermaksud membanding-bandingkan, konsep tokoh utama dipindahkan ke dunia lain dengan sejumlah kemampuan ajaib yang diusung terasa amat de javu bagi penonton yang gemar pada konten animanga.
Bandingkan dengan versi lamanya yang tayang pada tahun 1995. Para tokoh utama yang notabene anak kecil justru harus bertahan hidup demi menuntaskan permainan maut ini tanpa bekal kekuatan super sedikitpun. Perbedaan konsep ini tentu saja mempengaruhi kualitas plot cerita yang dibawakan.
[read_more id="355444"]
Yup, konsep ala light novel Jepang inilah membuat jalan ceritanya menjadi mudah ditebak. Kita memulai di titik permulaan dan harus berjalan melalui rute yang ditentukan. Tak lupa, embel-embel seperti life point, sederet kemampuan ajaib yang bisa didapat secara instan serta karakter penduduk yang bertingkah seperti NPC bisa kita ditemui di sini.
Plot twist? Jangan harap! Mengingat ratingnya sendiri untuk usia tiga belas tahun ke atas, film ini tak memiliki plot serumit itu. Untungnya, bumbu cerita remaja yang membosankan dalam awal filmnya tak sepanjang film Power Ranger.
Tidak hanya plotnya saja yang membuat kita seperti menonton anime isekai. Tapi juga karakterisasinya tokohnya benar-benar membuat film justru seperti diperuntukkan untuk para otaku anime. Penasaran? Cek halaman selanjutnya!
Karakterisasi Kaku? Namanya juga Game
Untuk karakterisasinya sendiri, bisa dibilang tak ada yang spesial dari para tokoh-tokohnya. Seperti remaja kebanyakan, kebanyakan hanya memiliki problem yang biasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Sering dipaksa ngerjain tugas ama jagoan sekolah? Cek! Overdosis narsis? Cek! Pilih hobi atau belajar? Cek! Malas olahraga dan tak punya teman? Cek!
Latar belakang yang masih terbilang mendingan daripada kelompok dari film Power Ranger inilah yang membuat para tokoh utama gagal meraih simpati dari para penonton. Hal itu terus berlangsung sampai mereka mengalami pertukaran nasib di dunia Jumanji.
[duniaku_adsense]
Dari sini letak keseruannya dimulai, empat jagoan kita harus menyingkirkan ego masing-masing jika tak ingin mati (sebenarnya mereka memiliki kesempatan mengulang sebanyak dua kali).
Dari mementingkan diri sendiri menjadi mementingkan nyawa orang lain. Proses seperti inilah yang memiliki pesan moral yang bagus bagi para remaja meskipun kesannya dibuat-buat.
Kekurangan film ini justru terletak pada penokohan antagonis dan karakter pendukung lainnya. Tak ada kesan lebih yang ditonjolkan kecuali pengulangan dialog yang membuat mereka seperti terkena jurus time loop dari Doctor Strange. Harap maklum, namanya juga NPC.
Musik Latarnya Membuat Hati Berdebar-debar
[read_more id="355709"]
Untuk aspek musiknya sendiri, sepertinya Jake Kasdan harus berterima kasih pada Henry Jackman. Suasana pedalaman hutan yang ditandai dengan musik tetabuhan ala suku-suku primitif membuat kesan dunia Jumanji terasa begitu kuat dan ikonik.
Namun yang paling penting adalah soundtrack filmnya sendir mengambil salah satu lagu terfavorit para penggemar Guns N' Rosees. Penulis sebenarnya ingin lagu ini diletakkan sebagai lagu sisipan untuk adegan-adegan keren seperti saat Spencer menghadapi geng motor bersenjata lengkap.
Untungnya film ini sedikit tertolong berkat kehadiran Kevin Hart dan Jake Black. Apa saja jasa mereka untuk film ini? Cek halaman terakhir!
Full Slapstick + Dirty Comedy dan Sisipan Cinta dari Pemain Hode
[duniaku_adsense]
Kehadiran Kevin Hart tentu saja patut disyukuri. Lagaknya yang banyak omong dengan lelucon-lelucon kasar yang khas membuat penonton beberapa kali tertawa meskipun banyak yang miss. Tak lupa juga aksi Jake Black yang harus bertingkah feminim mengingat dia adalah jelmaan Bethany yang seorang perempuan.
Dan yang paling membuat penonton tak bisa lupa tentu saja adalah saat momen Jake Black aka Bethany yang harus “berguru” tutorial buang air kecil yang baik dan benar pada Kevin Hart. Jangan lupa, bagaimana lucunya Karen Gillan belajar pada Jake Black tentang cara merayu pria. Adegan-adegan itu berhasil memancing tawa para penonton meskipun ada yang terasa garing dalam prosesnya.
Akan tetapi, tetap saja adegan Jake Black dan Nick Jonas membuat beberapa orang kurang nyaman menontonnya. Untung saja, adegan yang sebenarnya hampir membuat penulis trauma ternyata dipotong.
Kesimpulan : This is Central Intelligence’s Homecoming!
[read_more id="351729"]
Film ini tak menawarkan hal baru kecuali evolusi dari papan permainan menjadi video game. Karakterisasi tokohnya yang biasa-biasa saja. Lalu, plotnya sendiri memang standar mengingat target filmnya memang diperuntukan khusus untuk penonton remaja.
Namun yang agak parah adalah proses sensor yang kurang rapi sehingga mengganggu kenikmatan para penonton. Untungnya, aksi-aksi Dwayne dan para tokoh lainnya yang heboh dan kocak membuat para penonton termasuk penulis terhibur. Koreografi bela diri dan beberapa momen yang memukau dan sekaligus membuat tertawa.
Film ini juga sukses membuat penonton melupakan aspek-aspek penting seperti penokohan, jalan cerita atau hal apa saja yang notabene menjadi urusan kritikus film professional. Tidak hanya itu saja! Jika kita teliti lebih lanjut, sebenarnya film ini hanya mengulang lagi formula dari Jumanji, tapi juga dari Central Intelligence.
Meskipun sebenarnya tokoh utamanya ada empat, jalan ceritanya justru terasa seperti mengarah pada duet antara Dwayne Johnson dan Kevin Hart seperti film mereka sebelumnya. Hanya saja, versinya berganti dari agen rahasia menjadi avatar video game jadul.
Akhir kata, film ini amat layak menjadi tontonan anak-anak dari SMP sampai SMA untuk mengisi masa liburan. Anak SD juga boleh kok menonton film ini asalkan berada di bawah pengawasan orang tua.
Diedit oleh Doni Jaelani