Review Mother's Day - Drama-Komedi yang Kocak dan Menyentuh
Butuh tontonan alternatif yang ringan, menyentuh, namun tetap memiliki sentuhan komedi? Kalau begitu Mother's Day bisa jadi pilihan untuk kamu!
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Butuh tontonan alternatif yang ringan, menyentuh, namun tetap memiliki sentuhan komedi? Kalau begitu Mother's Day bisa jadi pilihan untuk kamu!
Satu Peristiwa Banyak Cerita
[read_more id="250148"]
Pernah menonton Valentine's Day? Kalau tidak, mungkin New Year's Eve? Seperti Mother's Day, dua film tadi adalah film dari sutradara Garry Marshall. Dan sama dengan dua film sebelumnya, Mother's Day pun menyorot satu hari istimewa dari kaca mata banyak karakter.
Sandy (Jennifer Aniston) adalah seorang ibu yang terancam berpisah dengan kedua anaknya setelah mantan suaminya menikah lagi. Miranda (Julia Roberts) adalah figur populer di dunia hiburan yang terlalu fokus pada karir hingga ia tak memiliki suami, apa lagi anak; namun sepertinya dia menyembunyikan sesuatu. Kristin (Britt Robertson) berkali-kali dilamar oleh kekasihnya, Zack, namun ia tak bisa menikah karena diganjal persoalan akan jati diri orang tuanya.
Bradley (Jason Sudeikis) adalah duda beranak dua, yang masih dihantui kematian mendadak istrinya. Ada juga Jesse (Kate Hudson) yang selama ini menyembunyikan fakta tentang kehidupannya, juga pilihan hidup saudarinya, dari kedua orang tuanya. Saat Hari Ibu semakin mendekat, semua tokoh ini harus menghadapi konflik mereka masing-masing
Bertabur Humor dan Momen Menyentuh
Sebagai sebuah drama-komedi, Mother's Day terasa lebih condong ke arah komedi. Kamu-kamu yang takut akan duduk untuk menyaksikan konflik panas ala Sinetron bisa bernafas lega menghadapi konflik di film ini, yang terasa ringan. Terutama karena apapun yang para tokohnya hadapi, mulai dari menghadapi orang tua rasis hingga menangani sendiri pubertas anak, mereka hadapi dengan sikap natural, bukannya terlalu melodrama.
Dan banyak karakter yang memang bisa mengundang tawa di sini. Zack, kekasih Kristin, misalnya. Cowok yang satu ini memang ahli komedi, dengan porsi seimbang antara melawak dan drama hubungannya dengan pacarnya. Begitu pula dengan kedua orang tua Jesse, yang meski rasis dan mewakili stereotip penduduk selatan Amerika Serikat tetap memiliki beberapa momen menghibur.
Namun itu bukan berarti Mother's Day adalah sepenuhnya film yang akan menghajarmu dengan lawakan konstan. Film ini juga memiliki banyak momen menyentuh, terutama menjelang akhir di saat para karakter akhirnya hendak mencapai ujung konflik. Beberapa momen ini dapat membuatmu menitikkan air mata, atau minimal merasa hangat.
Cocok untuk Ditonton Bareng Pacar
Mother's Day memang cocok untuk ditonton bersama pasangan. Bisa dengan pacar atau bahkan suami atau istri bila kamu sudah menikah. Konflik dan drama yang disajikan dapat dengan mudah memikat fan genre ini, sementara komedi yang disajikan seharusnya tetap dapat menghibur penonton yang kurang suka drama-komedi.
Karakternya yang banyak juga membuat film ini mampu menyorot Hari Ibu di Amerika dari berbagai sudut. Suami dan istri, ayah dengan anak, suami dan istri yang sudah bercerai, hingga pasangan orang tua dengan anak mereka yang sudah dewasa. Budaya Amerika yang kental mungkin bisa membuat karakter-karakter ini kurang dekat dengan penonton lokal, namun bisa saja gejolak mereka mengena di hati kamu-kamu yang juga mengalami persoalan serupa.
Masalah dari Banyak Kisah Sekaligus
Namun sutradara Garry Marshall kembali memunculkan masalah yang sama dengan film-filmnya sebelumnya. Banyaknya tokoh dan konflik yang disajikan membuat Mother's Day terasa seperti kumpulan dari sejumlah cerpen, yang ditampilkan sebisanya saja karena keterbatasan durasi.
Jangan salah, itu bukan berarti film ini kelewat singkat. Secara resmi, Mother's Day memiliki durasi 118 menit. Namun mengingat betapa banyaknya karakter yang harus disajikan dan diceritakan, 118 menit itu terdiri dari cerita-cerita yang menjumpai konfliknya tiba-tiba, lalu dengan cepat memperoleh resolusinya. Penulis merasa format ini menghalangi eksplorasi lebih dalam tentang masalah yang dihadapi para karakter.
Di satu sisi, penyajian seperti ini memang ada bagusnya. Waktu yang 118 menit itu terasa berlalu cepat karena banyaknya jalinan kisah yang disajikan. Tapi... karena plotnya terasa dimulai begitu saja, berjalan begitu saja, dan berakhir begitu saja, film ini bisa jadi tak akan meninggalkan kesan setelah kamu meninggalkan bioskop.
Kisah dari film-film Garry Marshall pun semakin tertebak. Mother's Day hanya terasa seperti modifikasi ringan dari Valentine's Day dan New Year's Eve. Kalau kamu sudah menonton dua itu sebelumnya, kamu akan merasa hanya melihat varian lain dari mereka, hanya beda hari dan pemeran saja.
Kesimpulan
Memang, Mother's Day memiliki kekurangan serius. Namun film ini tetap mampu mengocok perut, menyentuh hati, sekaligus memberi sedikit pesan moral mengenai Hari Ibu. (Meski dari sudut pandang budaya Amerika). Di tengah dominasi film aksi dan superhero, Mother's Day adalah alternatif yang oke untuk dinikmati. Dan kalau kamu belum hafal sama pola film Garry Marshall, bisa jadi film ini akan lebih berkesan untukmu.