Bukan Yang Terbaik! Review: Chuunibyou Demo Koi Ga Shitai! Movie: Take On Me
Awas Labil!
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Salah satu kelemahan terbesar adaptasi layar lebar, terutama di dalam anime ialah ketergantungannya pada media lain alih-alih lepas dan memiliki identitasnya sendiri sebagai sebuah film. Hal ini sayangnya, terdapat di dalam Chuunibyou Demo Koi Ga Shitai! Take On Me.
Episode layar lebar Chuunibyou menuntut penontonnya untuk mengerti dulu kenapa kita harus peduli dengan Takanashi Rikka, seorang perempuan pengidap sindrom chuunibyou (yang lebih umum kita kenal sebagai anak labil), dan juga Togashi Yuuta, seorang lelaki mantan penderita chuunibyou yang pada titik ini sudah resmi menjalin hubungan romantis dengan gadis itu.
Mengisahkan tentang rencana kepindahan Rikka yang sangat mendadak akibat kakaknya, Touka yang akan terbang ke Italia, Yuuta memutuskan untuk 'kawin lari' bersama Rikka menyusuri kota demi kota di Jepang!
Tidak menunggu lama, Touka pun meneror teman-teman Yuuta yang juga mengusulkan 'kawin lari' itu untuk mengejar mereka! Apakah kedua pengejar ini, Sanae Dekomori dan Shinka Nibutani (alias Mori Summer) dapat mencapai pasangan baru ini? Ataukah Yuuta dan Rikka dapat mencapai tujuan akhir mereka pada waktunya?
Bagaimanakah impresi awal tentang adaptasi layar lebar anime yang satu ini? Simak di halaman sebelah!
Chuunibyou bukanlah anime terbaik yang digarap oleh Kyoto Animation, apalagi untuk sebuah anime layar lebar. Desain karakter Rikka versi anime oleh Kazumi Ikeda yang lebih ikonik dibandingkan Light Novel-nya sayangnya harus terganjal oleh pengaruh sang sutradara, Tatsuya Ishihara yang mengecewakan.
Pembukaan dan montase jalan-jalan yang terasa tidak perlu adalah penyakit lama Kyoto Animation, yang lebih gemar memamerkan apa yang mereka bisa tampilkan seindah-indahnya daripada tertarik untuk menyesuaikan narasi yang relevan dengan komposisi adegan yang tepat!
Drama remaja ini hanya berkesan sebagai kolase-kolase sinematografi yang memaksakan diri untuk melihat Rikka sebanal maskot imut semata. Yang membuatnya lebih bermasalah lagi, Light Novel yang menjadi sumber atas adaptasi anime tersebut memiliki masalah yang sama dalam narasi Yuuta sebagai remaja bermotivasi tanggung dengan figur orang tua yang tanggung demi kesederhanaan romansa berkedok penyakit sosial ini.
Obsesi akan production value yang dikedepankan mengajak para fans untuk lupa bahwa Chuunibyou kali ini adalah sebuah film. Dengan fokus yang terputus-putus, menonton Chuunibyou terasa seperti menikmati keindahan taman bermain.
K-On! dan Hibike Euphonium, yang ironisnya lebih karena pengaruh Naoko Yamada, adalah pencapaian studio tersebut dalam menciptakan identitas sendiri dan memaknai adaptasi dalam medium yang berbeda dibandingkan Chuunibyou.
Komposisi adegan di dalam mengangkat nuansa-nuansa yang dituju untuk membangkitkan simpati penontonnya kerap dirusak oleh montase pengejaran Dekomori dan Nibutani yang tidak perlu dan hanya ada seolah untuk mengisi kuota dialog pengisi suara.
Hilangkan saja mereka berdua, cukup masukkan adegan-adegan Touka saja, dan tidak akan ada perubahan yang berarti di dalam cerita. Bahkan meskipun mereka yang menggagas ide 'kawin lari' tersebut.
Lantas, apa hal-hal berfaedah dan secara teknis bagus yang bisa kamu temukan di dalam film ini? Temukan jawabannya di halaman sebelah review bebas spoiler ini!
Seperti yang dikatakan di halaman sebelumnya, Kyoto Animation terobsesi akan production value untuk Chuunibyou. Diapresiasi tanpa memperhatikan keperluannya untuk kisah, Akihiro Ura dan Mutsuo Shinohara memberikan sinematografi yang indah dalam mempromosikan setiap sudut kota dari Wakayama hingga Hokkaido.
Maaya Uchida dan Jun Fukuyama tetap memberikan dinamika tepat antara Rikka dan Yuuta meskipun terkungkung dalam interaksi yang medioker yang tidak hanya disebabkan dari dialognya, melainkan juga novel sumbernya.
Sebagai karakter pendukung yang kerap merusak nuansa di dalam medium film layar lebar, Sanae Dekomori dan Shinka Nibutani disuarakan dengan brilian oleh Sumire Uesaka dan Chinatsu Akasaki. Sang kakak, Touka, dijiwai sangat baik oleh Eri Sendai terlepas dari jatahnya yang sedikit.
Musik-musik latar yang digubah oleh komposer Nijine juga jelas melengkapi setiap adegan Chuunibyou, khususnya dalam dialog Yuuta dan Touka yang seolah hanya menjadi poin yang bisa digadang-gadangkan para fans untuk ngotot sebagai 'kisah yang serius'.
Akhir kata, hanya 6/10 yang bisa disematkan pada anime Chuunibyou yang berdelusi dengan kolase gambar-gambar cantik sebagai kisahnya sendiri, tapi tak mampu lepas dari serial televisi dan Light Novel-nya ini.
Diedit oleh Fachrul Razi