Andrew Tobias: "Pemain eSport di Indonesia Hanya Bisa Hidup Berkecukupan"
Andrew Tobias berpendapat bahwa pemain eSport di Indonesia hanya bisa hidup berkecukupan, tidak sesukses pemain di Eropa. Bagaimana Eddy Lim menanggapi ini?
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Andrew Tobias (kedua dari kiri)[/caption]
Ranah eSport tanah air belakangan ramai berkembang. Kemunculan berbagai kompetisi eSport turut menjadi faktor pendorong perkembangan ini. Namun, apakah perkembangan ini berdampak langsung ke kehidupan atlet eSport? Diskusi yang dimulai Andrew Tobias ini memberikan beberapa insight untuk kita.
[read_more id="271259"]
Pada Minggu malam, 19 Februari 2017. Andrew Tobias, salah satu tokoh komunitas eSport di Indonesia membuka diskusi mengenai kondisi pemain eSport di Indonesia:
"Actually esports player in Indonesia can't make a good living.. Just can make an enough living. Beda cerita sama Eropa. Mereka bayar pajak hidup tua uda ditanggung negara. Bisa fokus n jadinya jago.Hidup esports di Indonesia cuma dari sisi entertainer doang yang bisa mumpuni. Ketika gambling icon icon ini disukai orang, bisa dapet sponsor gampang karena cuma individu doang yang disponsor. Sukur2 lagi kl ditonton orang tajir bisa disawer atau donate. I'm very open for discussion." - Andrew Tobias
Dalam perkembangannya, muncul diskusi menarik di halaman komentarnya. Berikut adalah rangkuman dari diskusi yang terjadi dalam post tersebut.
[page_break no="1" title="Pemain eSport di Indonesia Tidak Didukung Negara"]
[duniaku_adsense]
Dari apa yang kami tangkap, Andrew mengungkapkan bahwa pemain eSport di Eropa bisa berkembang dan profesional karena mereka bisa fokus bermain tanpa perlu banyak mengkhawatirkan masa tua mereka, karena di masa tua, banyak sisi kehidupan mereka yang ditanggung negara.
Namun tidak demikian di Indonesia. Nasib pemain eSport kurang diperhatikan. Salah satu pembaca juga berkomentar bahwa kondisi eSport tidak jauh berbeda dengan kondisi olahraga lain seperti bulu tangkis, di mana hanya sedikit pemain yang mendapatkan bayaran secara profesional. Sisanya hanya mendapat bayaran bila memenangkan pertandingan.
Pembaca lain juga berkomentar bahwa IESPA, salah satu organisasi di bawah lembaga pemerintah, FORMI (Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia), tidak memberikan dampak apa pun terhadap perkembangan esport tanah air. Selain itu ia juga mengkritik hasil kerja IESPA, khususnya pada kegagalan penyelenggaran IeSF 8th Esports World Championship pada Oktober 2016.
[page_break no="2" title="Hidup dari Entertainment"]
Pendapat yang juga diutarakan adalah mengenai kondisi pemain eSport yang baru dapat hidup dari dunia entertainment saja. Individu-individu yang bermain baik menjadi idola, kemudian mendapatkan sponsor.
Sponsor-sponsor ini sayangnya juga tidak memberikan banyak dan cenderung hanya memberikannya kepada individu alih-alih ke tim. Karenanya hanya satu-dua orang saja yang dapat hidup layak dari sana.
Beberapa juga berpendapat bahkan secara entertainment pun masih sulit mendapatkan pendapatan dari eSport. Keinginan untuk spending dari para fans eSport dirasa kurang, baik untuk membeli produk atau sekadar tiket, sehingga sulit mendapatkan dukungan dan sponsor, yang berujung pada berhentinya beberapa event dan startup eSport di tanah air.
Ketua IESPA Eddy Lim juga ikut berkomentar mengenai kondisi eSport di Indonesia, apa komentarnya? Cek di halaman selanjutnya!
[page_break no="3" title="Harus Ikut Membangun"]
Kedua dari kiri : Eddy Lim[/caption]
[duniaku_adsense]
Komentar menarik diutarakan oleh Eddy Lim, presiden IESPA saat ini. Pada sebuah komentar di status akun Facebook pribadi Andrew (yang juga membahas topik sama), Eddy setuju dengan komentar Andrew, dan menambahkan bahwa penggemar eSport di tanah air perlu "bangun" dan melihat realitas yang ada.
Masalah yang diangkat Eddy dalam komentarnya adalah kecenderungan penggemar eSport Indonesia yang cenderung "menunggu." Eddy mengibaratkan penggemar eSport Indonesia sebagai orang yang datang ke daerah Sudirman karena melihat potensi mendapatkan penghasilan besar di sana, tapi kemudian hanya duduk dan menunggu ada bos-bos yang datang memberikan pekerjaan.
Mentalitas menunggu dan tidak aktif ini sangat dikritik Eddy dalam komentarnya. Ia mencontohkan dari hal paling sederhana, yaitu saat ada event, tidak banyak yang hadir untuk menonton atau mendukung. Hal ini, menurutnya, berbeda dibanding di Filipina di mana event warnet saja banyak yang menonton.
[duniaku_baca_juga]
Lebih dalam, Eddy juga membahas bagaimana pada level pemain pro pun banyak yang tidak berusaha dengan keras. Ia mengungkapkan banyak tim pro yang tidak mau mengembangkan skill dan hanya mau bermain di tim rookie, khawatir kalah di level pro.
Secara manajemen pun banyak yang tidak dijalankan secara serius, hanya dijalankan oleh sekitar lima orang. Eddy menyimpulkan bahwa pemain pro di Indonesia masih "manja". Ia kemudian menutup komentarnya dengan mengajak para penggemar eSport di Indonesia untuk pintar bekerja, bukan pintar berbicara.
Bagaimana menurut kamu? Seperti apa kondisi eSport di Indonesia dan bagaimana cara memperbaikinya?
Diedit oleh Arya W. Wibowo