Tren Video Game: Apa yang Akan Menjadi Perbincangan Dunia Game Pasca Kehadiran Konsol Now-Gen?
Apa saja yang akan menjadi tren di dunia game setelah kehadiran konsol game terbaru setengah tahun belakangan? Berikut yang akan menjadi tren dalam industri game menurut prediksi Duniaku.
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Ketika produsen konsol menelurkan platform baru akhir 2013 lalu melalui PlayStation 4 (PS4) dan Xbox One (X1), apa yang diharapkan mereka yang terlibat langsung dalam industri video game adalah kepastian software yang dikembangkan bisa laku di pasaran. Namun kenyataannya, dengan keadaan saat ini dimana ternyata platform baru dituntut untuk tidak sekadar menyajikan fungsi bermain game, terus meluas perannya, dan faktor eksternal seperti distribusi digital yang membuka cara baru untuk mendapatkan keuntungan, hingga melalui jalur pembiayaan massa (crowfunding) atau beberapa layanan distribusi digital yang akhirnya memungkinkan developer tidak terlalu membutuhkan peran publisher untuk memasarkan gamenya. Hingga munculnya inovasi baru yang bisa dikembangkan dan diprediksi akan menjadi magnet di industri game karena konsep yang belum pernah ditemui sebelumnya.
Developer game kini mendapat beberapa pilihan, entah mereka tetap terpaku pada konsol, atau juga mulai menarget pasar dengan pengguna yang jauh lebih besar, ponsel dan tablet? Kini juga ada beberapa cara menjual game. Cara tradisional dengan mematok harga dan melemparnya ke pasar ritel atau digital, menguji dulu penerimaan pasar dengan merilis versi free-to-play-nya sebelum akhirnya memutuskan akan menjual penuh game tersebut atau menyisipkan sistem monetasi di tengah permainan melalui in-app purchase, dan yang belakangan juga ternyata diterima adalah menjual versi alpha suatu game, dengan sensasi gamer yang bisa mengikuti perkembangan game tersebut sampai pada versi finalnya nanti. Cara terakhir sudah biasa dilakukan untuk tipikal game multiplayer online, melalui fase alpha, beta dan seterusnya. Namun mereka bisa dimainkan secara cuma-cuma, sedangkan untuk konsol, developer platform ini justru menjualnya. Memang di luar ekspetasi, ternyata sistem penawaran "game-setengah-jadi" tersebut juga diterima baik di pasaran, satu contoh suksesnya adalah melalui Minecraft.
Kemudian kami juga sangat tertarik dengan perangkat game baru (yang sebenarnya idenya sudah sangat lama), headset virtual reality, yang selama event Games Developer Conference San Fransisco Maret lalu menjadi salah satu gadget pendukung video game yang membuat para developer antusias. Jika developer game adalah skala kecil, setidaknya Facebook yang rela merogoh kantongnya hingga Rp. 4 trilyun uang tunai, dan Rp. 18,5 trilyun dalam bentuk saham untuk membeli Oculus Rift, bisa menjadi satu bukti jika virtual reality akan menjadi salah satu bagian penting dalam bermain game di masa mendatang. Bagaimana jika prediksi masa depan Facebook itu salah?
Ada satu fakta pendukungnya. Ternyata Sony pun juga sudah menyiapkan perangkat virtual reality sendiri, untuk menghadirkan pengalaman bermain game bukan sekadar layar televisi HD, sistem konsol dan kontrolernya saja. Selain Facebook dan Sony, kita juga mendengar jika Samsung pun tertarik mengembangkan perangkat virtual reality mereka sendiri untuk mendukung gamer mobile memainkan game-game Android. Tidak hanya itu saja, masih ada beberapa produsen asal Tiongkok yang juga mengajukan produk mereka, plus juga Valve yang diam-diam juga mengembangkan teknologi yang membuat permainan menjadi lebih nyata ini.
Tahun 2014 ini memang menarik berkat adanya dua platform video game baru. Namun hingga detik ini, kuartal pertama sudah dilalui, namun kami menilai, belum ada software atau gamenya yang berhasil memaksimalkan kemampuan dua sistem game baru tersebut. Memang benar beberapa judul menarik seperti yang baru saja hadir, seperti inFamous: Second Son atau Titanfall (keduanya sama-sama sudah terjual lebih dari 1 juta kopi hingga akhir April 2014), mampu membuat gamer meringkuk lebih lama di ruang bermain mereka. Namun harus diakui, meskipun salah satunya adalah IP baru, namun keduanya pun hanya mampu menawarkan "pengalaman yang lebih baik" saja, bukan "pengalaman yang terbaik." Melihat pengalaman konsol last-gen X360 dan PlayStation 3, publisher mampu menebarkan banyak franchise baru. Dalam tiga tahun kehadiran konsol last-gen tersebut, kita dimanjakan dengan hadirnya game-game blockbuster dengan angka penjualan fantastis seperti Assassin’s Creed dan Uncharted, hingga yang banyak menuai pujian karena keunikannya seperti BioShock dan Portal.
Tahun berjalan, ternyata publisher kembali bergantung pada franchise yang memang sudah dikenal, dengan alasan lebih aman dan pasti laku, sampai pada satu titik, produsen konsol, dalam hal ini Sony dan Microsoft, yang menjadi kambing hitam, karena mereka dianggap tidak sanggup menawarkan inovasi baru untuk platform yang mereka lahirkan. Keadaan ketika publisher hanya bergantung pada franchise yang sudah dikenal, dan tidak mau melahirkan suatu inovasi game yang baru tersebut akhirnya juga sampai memaksa banyak publisher kecil dan menengah gulung tikar, dengan satu contohnya yang banyak menjadi pembicaraan awal tahun 2013 lalu adalah THQ, yang dipaksa menutup bisnisnya karena terus merugi.
Memang sejauh ini kami belum mendapatkan "killer apps" untuk masing-masing platform baru seperti ketika Uncharted hadir untuk PS3 dan Gears of War untuk X360, namun tetap berharap kreativitas developer bisa kembali diangkat di tahun-tahun awal PS4 dan X1, meskipun dari beberapa game baru yang dikonfirmasikan beberapa bulan belakangan, tetap saja publisher besar lebih mengandalkan franchise yang sudah dikenal -- Assassin's Creed: Unity, misalnya. Memang juga ada yang baru, seperti Watch Dog, The Evil Within, atau Destiny, namun banyak pengamat memperkirakan trend akan kembali sama seperti last-gen.
Tiga tahun awal kita mendapatkan franchise kelas atas baru, dan kemudian kelanjutan-kelanjutannya. Jadi jika Watch Dog, The Evil Within, atau Destiny sukses di pasaran, bisa dipastikan sekuel, atau prekuel ceritanya akan segera berlanjut. Untuk proyek pengembangan dengan skala besar seperti franchise tersebut mungkin bisa dimaklumi, karena publisher akan menuntut profit yang sebanding dengan budget produksinya. Dan langkah teraman adalah tinggal membuat sekuelnya saja, karena pasti akan mempermudah proses dan mempermurah budget. Lain halnya jika produsen konsol menawarkan inovasi baru yang mendukung sistem utamanya. Seperti Sony, yang sudah siap dengan headset virtual reality-nya sendiri. Jika terealisasi, dan developer memanfaatkannya untuk game yang mungkin sekadar sekuel, jelas sensasi bermainnya akan berbeda dari prekuel game tersebut, tidak peduli apakah hanya ada sedikit inovasi gameplay di dalamnya.
Kemudian satu hal yang juga menarik akhir-akhir ini dan selalu kami angkat, adalah mengenai developer indie. Baik di konsol, PC atau mobile, mereka memiliki banyak, bahkan mungkin puluhan game baru dengan konsep yang fresh, dan cukup sukses di pasaran. Di kelas konsol, kita tidak lupa dengan game-game indie hit dari konsol last-gen seperti Braid, Bastion, Fez, atau yang penjualannya bahkan menandingi banyak game konsol, Minecraft. Terakhir, dan yang lagi hangat dibicarakan adalah Transistor. Dengan munculnya platform yang baru, mereka sudah ancang-ancang membuat game-game indie lainnya, dan sepertinya tidak ada indikasi kita mendapatkan sekuel dari game yang sudah mereka rilis sebelumnya.
Seperti Transistor, yang jelas bukan sekuel dari Bastion, padahal game tersebut menjadi salah satu permata yang bersinar di tengah banyaknya game-game indie yang unik dan fresh. Developer indie biasa menciptakan IP baru untuk mengikuti sukses game sebelumnya, dan karena itulah, sampai Sony pun juga mau merangkul para developer indie untuk meramaikan platform PlayStation-nya. Tidak bisa dipungkiri, konsol now-gen akan menjadi lahan baru mewabahnya game-game indie. Kami juga mendengar selama Casual Connect Asia 2014, Sony akan segera membuka Developer Program untuk wilayah Indonesia. Satu jalan terbuka untuk developer-developer indie di Indonesia.
Selain beberapa prediksi yang kami paparkan di atas, masih ada banyak yang bisa kita harapkan melalui generasi baru dunia video game mulai tahun 2014 ini, yang akan kami tuliskan melalui beberapa artikel selanjutnya.
- Model Pemasaran Free-To-Play Mulai Masuk ke Konsol
- Dukungan Cloud Streaming, Sarana Perpanjang Usia Game Klasik
- Valve Makin Serius Dengan Steam Machine, Bisakah Menggeser Pasar PC?
- Single Player dan Multiplayer Mulai Menyatu
- Tahun Penentuan Masa Depan Wii U?
- Mulai Banyak yang Gunakan Model Pembayaran "Akses Dini" Developer Indie
- Virtual Reality, Nikmati Game Melalui "Mata yang Baru"
- Menegaskan Peran Smartphone dan Tablet Sebagai "Second Screen"