6 Cara Anak 90-an Milih Game! Tanpa Review dan Trailer?

- Anak 90-an memilih game berdasarkan familiaritas dengan franchise yang mereka kenal, seperti film, komik, kartun, atau anime-manga yang populer pada masa itu. Namun, strategi ini sering kali berisiko karena banyak game berbasis franchise terkenal ternyata memiliki kualitas yang mengecewakan.
- Hasil main di rumah teman juga menjadi cara anak 90-an memilih game, dimana banyak keputusan untuk membeli game dibuat setelah melihat teman-temannya main atau menonton langsung di rumah teman. Rekomendasi terbaik seringkali datang dari layar kecil di ruang tamu rumah teman.
- Media cetak dan rekomendasi teman (word of mouth) juga menjadi sumber utama informasi bagi gamer 90-an
Di era modern ini, pemain punya banyak cara memilih game. Mengakses media game, termasuk Duniaku.com bisa dilakukan di mana saja kapan saja via smartphone selama ada internet. Reviewer berbasis video sudah menjamur juga di TikTok dan YouTube. Banyak gamer bahkan cukup menonton streamer favorit mereka di YouTube atau Twitch untuk melihat pengalaman langsung mereka, lalu berdasarkan yang dilihat bisa menentukan sendiri apakah sebuah game layak dimainkan atau tidak.
Tapi bagaimana dengan era sebelum internet?
Tentu di masa itu gamer tidak bisa sekedar membuka media online atau YouTube karena mereka bahkan belum eksis.
Jadi ini delapan cara anak 90-an milih game!
1. Berdasarkan familiaritas dengan franchise

Di era ketika mencari review game masih nyaris mustahil, terutama pada awal hingga pertengahan 90-an, saat media game belum berkembang luas di Indonesia, banyak anak 90-an memilih game berdasarkan familiaritas dengan franchise yang mereka kenal. Bisa dari film, komik, kartun, hingga anime-manga yang populer saat itu.
Kalau anak-anak (atau bahkan orang tuanya) mengenal Teenage Mutant Ninja Turtles, Ghostbusters, atau X-Men, maka besar kemungkinan game itulah yang akan dibeli atau disewa.
Tentu, strategi ini sering kali berisiko. Banyak game berbasis franchise terkenal ternyata memiliki kualitas yang... yah, mengecewakan. Grafis seadanya, kontrol buruk, dan gameplay yang monoton. Tapi sesekali, muncul juga kejutan menyenangkan.
Contohnya? TMNT IV: Turtles in Time, sebuah game beat-em-up yang bukan cuma tampil keren, tapi juga jadi salah satu yang terbaik di genre-nya hingga kini.
Sementara itu, banyak game berkualitas yang justru luput dari perhatian karena tidak dibungkus nama besar. Contohnya Phantasy Star, sebuah RPG legendaris yang mungkin tak tersentuh oleh banyak gamer Indonesia pada masanya, semata karena kurangnya informasi dan eksposur.
2. Hasil main di rumah teman

Di era sebelum internet, jelas kita belum bisa main online. Kalau anak-anak ingin mabar, satu-satunya cara adalah datang langsung ke rumah teman dan main secara lokal entah berbagi controller, bergantian, atau main co-op split screen.
Kadang, kalau ada yang dapat duluan game yang lagi dibicarakan, teman-temannya juga akan main ke rumah untuk melihatnya meski game-nya single player.
Dan dari sinilah banyak keputusan membeli game dibuat. Kalau game-nya terlihat seru, grafiknya keren, atau punya elemen yang bikin nagih, maka teman-teman yang ikut main atau menonton bisa langsung tergoda untuk beli atau sewa game yang sama.
Tak jarang, rekomendasi terbaik di era 90-an datang bukan dari majalah atau media, tapi dari layar kecil di ruang tamu rumah teman.
3. Dari media cetak

Media cetak adalah salah satu sumber utama informasi bagi gamer 90-an dalam menentukan game mana yang layak dimainkan dan juga memperoleh cheat hingga walkthrough. Namun, akses ke media semacam ini baru mulai meluas di era PlayStation, sekitar pertengahan hingga akhir dekade 90-an.
Pengalaman pertama saya mengenal media cetak yang membahas video game datang dari tabloid Fantasi. Di sana saya menemukan ulasan judul seperti Sonic the Hedgehog, serta tips, trik, dan cheat untuk game legendaris seperti Ultimate Mortal Kombat 3. Meski tidak selengkap majalah luar, karena ini hanya segmen kecil dari tabloid, bagi banyak anak 90-an ini adalah jendela pertama ke dunia gaming yang lebih luas.
Sementara itu, anak-anak dari keluarga berada mungkin bisa menikmati majalah impor seperti GamePro, yang meski harganya mahal, sering hadir dengan konten eksklusif dan bonus menarik. Tapi karena harganya itu juga tidak sembarang orang bisa mendapatkannya.
Seiring waktu, media game lokal mulai tumbuh pesat. Majalah seperti Hotgame, Gamestation, dan Ultima menjadi sumber tepercaya untuk mencari review, bocoran game baru, hingga tips menyelesaikan game yang bikin frustrasi.
4. Rekomendasi teman (word of mouth)

Di era dimana internet belum tersedia luas, dan kalau mau beli majalah game masih harus keluar uang, word of mouth dari teman sekomplek atau teman sekelas bisa jadi pertimbangan luar biasa.
"Udah dengar ada game Jackie Chan? Jackie Chan Stuntmaster? Lumayan seru game-nya."
"Elu masih main FIFA? W.E. (Winning Eleven) lebih seru lho, kontrolnya lebih enak."
"Elu udah nyoba Gran Turismo? Mobilnya banyak bener, mereknya asli lagi."
"Elu sudah tau Silent Hill? Game-nya lebih serem dari Resident Evil lho!"
Atau kalau dari era sebelum PlayStation,
"Elu udah tau Mortal Kombat? Game-nya sadis banget. Street Fighter gak bisa kaya gini."
"X-Men 2: Clone Wars ini susah banget tapi seru, karakter X-Mennya banyak."
Dan dari situ, bisa saja pendengar rekomendasi ini benar-benar tergoda untuk beli game-nya.
5. Hasil main rental

Di era PlayStation, harga keping CD game memang sangat murah, bahkan bisa didapat hanya dengan 5.000 rupiah per keping. Tapi membeli konsolnya adalah tantangan tersendiri. Harga PlayStation baru saat itu bisa tembus lebih dari satu juta rupiah, angka yang tidak mudah dijangkau oleh banyak keluarga di akhir tahun 90-an.
Hadirnya rental PlayStation menjadi solusi sekaligus ruang eksplorasi bagi banyak anak. Dengan tarif per jam yang terjangkau, rental PS menjadi tempat favorit anak-anak nongkrong, main bareng, dan bahkan tanpa disadari menemukan banyak judul game baru yang sebelumnya tidak mereka kenal.
Misalnya, anak yang datang hanya untuk bermain Winning Eleven 4 bisa saja melihat pemain di sebelahnya sedang seru-seruan main Crash Team Racing. Tanpa perlu promosi, cukup melihat aksi ngebut di layar dan tawa rame-rame dari pemain lain, rasa penasaran langsung muncul. Dan ketika nanti dia akhirnya punya konsol sendiri entah karena menabung bertahun-tahun, dapat hadiah, atau beli bekas, judul yang ia lihat di rental itu sering jadi prioritas pertama untuk dibeli atau disewa.
6. Cover-nya bagus

Katakanlah seorang anak tahun 90-an ingin beli game baru. Dia dan keluarganya datang ke toko game tapi sama sekali tidak ada rencana mau beli game seperti apa.
Dalam skenario ini game yang diambil biasanya berdasarkan beberapa faktor. Salah satunya adalah familiaritas dengan franchise, yang sudah saya bahas sebelumnya. Skenario lain adalah dia memutuskan membeli karena sampulnya keren atau menarik.
Cover game memang memainkan peran besar dalam situasi begitu. Sampul yang mencolok, penuh warna, dengan ilustrasi keren atau karakter yang terlihat “badass” bisa langsung menarik perhatian anak-anak.
Masalahnya, membeli game karena tergoda kovernya bisa menjadi keputusan yang sangat untung-untungan. Kadang kamu menemukan hidden gem yang ternyata seru banget. Tapi sering juga, kover yang keren cuma jadi topeng untuk game yang membingungkan, rusak, atau sangat sulit.
Contohnya adalah Battletoads. Dengan ilustrasi katak humanoid berotot dan penuh aksi, banyak anak mungkin mengira game ini akan menyenangkan seperti kartun Teenage Mutant Ninja Turtles. Tapi kenyataannya, Battletoads dikenal sebagai salah satu game paling brutal dan susah di era NES, jauh dari bayangan santai dan fun.
Nah itu enam cara anak 90-an memilih games.
Ada metode yang kamu tahu tapi belum disebutkan di sini? Sampaikan di kolom komentar!