Penilaian Film Sampai Titik Terakhirmu, Tragedi Sebatas Judul

- Penyakit kronis sebagai alat drama
- Akting yang tidak konsisten
- Emosi yang terlalu dipaksakan
Sampai Titik Terakhirmu rilis pada tanggal 13 November. Bagaimana dengan impresi kami? Temukan jawabannya di sini!
Sinopsis Sampai Titik Terakhirmu (2025)
Diangkat dari kisah nyata, kisah cinta Albi Dwizky dan Shella Selpi Lizah harus berbenturan dengan penyakit kronis yang menggerogoti Shella tahap demi tahap.
| Producer | Marcella Daryanani |
| Writer | Evelyn Afnilia |
| Age Rating | 15+ |
| Genre | Romance |
| Duration | 114 min. Minutes |
| Release Date | 13-11-2025 |
| Theme | Tragedy |
| Production House | Lyto Pictures |
| Where to Watch | Cinemas |
| Cast | Arbani Yasiz, Mawar Eva de Jongh, Kiki Narendra |
Trailer Sampai Titik Terakhirmu (2025)
1. Kisah yang pernah ada

Penyakit kronis seringkali menjadi kendaraan untuk memancing drama mudah ketimbang drama karakter yang mendalam. Namun, keputusan untuk membuat kisah nyata untuk menjadi film yang ringan juga datang dari keputusan sutradara dan juga penulis naskah film ini, yang membuatnya tidak jauh berbeda dengan drama romansa dengan tema penyakit kronis lainnya yang relatif fiksi.
Problemnya lagi datang ketika karakter yang seharusnya diceritakan dalam sinopsisnya, seorang konten kreator tidak terlihat melakukan satupun hal yang dilakukan oleh konten kreator (yang kemudian ditayangkan di credits roll) sepanjang durasi film ini selain merekam video personal, yang melenyapkan identitas Shella dan Albi yang 'asli' di dalam film ini, hal yang justru membuat mereka jadi tontonan jutaan orang di media sosial.
2. Setiap bintang pada tempatnya

Dari departemen akting, selain Arbani Yasiz yang seolah lupa kalau ia sudah berakting 'orang Medan' di pertengahan film hingga akhir, Yasamin Jasem justru punya presence yang lebih gede dibandingkan Mawar Eva de Jongh yang dibatasi oleh aktingnya sebagai sosok Shella Selpi Lizah meskipun punya screentime tidak banyak. Hal serupa pun jelas juga terjadi pada Tika Panggabean yang tipis di screentime, namun keberadaannya sepanjang film juga tidak kalah memorable.
Selain itu, arahan yang melodramatis juga jadi membuat film ini semakin terasa sensasionalistik sehingga adegan-adegan emosionalnya hanya sekadar muncul untuk menunjukkan dirinya sebagai adegan emosional daripada punya build-up yang berarti dari awal film.
3. Tragedi sebatas judul

Albi Dwizky memuji akting Arbani, yang dengan empati dan kedalaman aktingnya, dianggap Albi mampu membawa emosi yang sama ke layar lebar. Namun, problemnya semakin jelas ketika empati dijadikan tameng filmnya, sehingga akting yang diarahkan dengan naskah yang dangkal pun dapat menuai empati kalau semua perasaan dan kata-katanya diungkapkan blak-blakan di depan layar, seperti mengarahkan bagaimana wajah kita harus bersikap saat nonton adegan tersebut.
Track emosional yang dimainkan berulang-ulang dalam film tersebut pun terlalu mudah diprediksi jadi acuan kapan harus tertegun dan kapan harus bersikap menangis dalam filmnya. Sekalinya film ini meleset dalam membuat penontonnya percaya kisahnya datang dari tragedi sungguhan, film ini jauh banget melesetnya.
Apa pendapatmu terhadap Sampai Titik Terakhirmu? Sampaikan di kolom komentar!



















