Baca artikel Duniaku lainnya di IDN App
For
You

Generasi 90-an Pasti Tahu Suka Duka Punya PlayStation 1 Ini!

Konsol PlayStation 1.jpg
(pixabay.com/wikimediaimages)
Intinya sih...
  • Suka: pasang CD langsung mainSalah satu kenikmatan dari era PS1 adalah kesederhanaannya. Ingin main game? Tinggal masukkan CD ke konsol, nyalakan, dan dalam hitungan detik kamu sudah berada di layar judul, langsung siap bermain.
  • Duka: CD rusakSalah satu hal paling menyebalkan dari era PS1 adalah ketika CD game rusak padahal sudah dirawat sebaik mungkin. Dibersihkan rutin, disimpan rapi, tapi tetap saja suatu hari kaset itu enggan terbaca.
  • Suka: toko game menjamurKalau kita bicara aspek "suka" dari "suka duka" PlayStation 1, maka saya akan menyorot betapa menjamurnya toko game. Mulai dari di

Mengusung konsep baru dan menggunakan media CD sebagai penyimpanan game, PlayStation 1 (PS1) langsung mencuri perhatian para gamer di era 90-an. CD tidak hanya murah, tapi juga mampu menyimpan data hingga 700MB, memberi keleluasaan bagi pengembang untuk bereksplorasi dan melahirkan game-game legendaris.

Bagi anak-anak yang punya PS1 saat itu, status sosial di tongkrongan otomatis naik. Harganya yang mencapai jutaan rupiah membuat banyak anak rela dikhitan demi angpao untuk membeli konsol impian ini.

Penulis sendiri pernah memiliki PS1 versi slim. Awalnya tak percaya karena bentuknya kecil, berbeda dengan PS1 besar yang umum digunakan di tempat rental. Tapi begitulah masa kecil—penuh rasa takjub.

Meski kini sudah bermain PlayStation 4, sensasi bermain PS1 tetap tak tergantikan. Artikel ini mungkin terasa akrab bagi generasi 90-an, tapi juga bisa memberi gambaran nostalgia bagi generasi 2000-an yang belum sempat merasakannya!

Simak suka duka punya PlayStation 1 ini! Anak 90-an pasti paham!

1. Suka: pasang CD langsung main

Gerbang masuk menuju Reruntuhan Sindar di Suikoden II. suikoden.fandom.com

Salah satu kenikmatan dari era PS1 adalah kesederhanaannya. Ingin main game? Tinggal masukkan CD ke konsol, nyalakan, dan dalam hitungan detik kamu sudah berada di layar judul, langsung siap bermain. (Kecuali CD-mu kotor atau penuh goresan, itu sih kamu tidak akan bisa main).

Bandingkan dengan era modern sekarang. Di PlayStation 4 atau PlayStation 5, bahkan setelah kamu memasukkan disc Blu-ray, proses bermain tidak bisa langsung dilakukan. Umumnya, kamu harus menunggu instalasi game selesai, lalu menghadapi update bergiga-giga sebelum akhirnya bisa memulai permainan. Kadang bisa memakan waktu puluhan menit, bahkan jam, tergantung internetmu gimana.

2. Duka: CD rusak

CD PlayStation rusak.jpg
(Dok. Sony PlayStation)

Salah satu hal paling menyebalkan dari era PS1 adalah ketika CD game rusak padahal sudah dirawat sebaik mungkin. Dibersihkan rutin, disimpan rapi, tapi tetap saja suatu hari kaset itu enggan terbaca. Inilah sisi rapuh dari media CD, terutama jika yang kita miliki adalah versi bajakan, yang memang sangat umum beredar saat itu.

Lebih frustrasi lagi jika CD rusak hanya beberapa jam setelah dibeli. Kalau tempat belinya dekat, mungkin masih bisa ditukar. Tapi kalau jauhnya minta ampun? Ya sudah, biasanya cuma bisa pasrah sambil bergumam, "Yaelah, yaudah deh, kaset gue diemin aja."

Dan itu belum seberapa. Beberapa game PS1, seperti Final Fantasy VII atau Legend of Dragoon, terdiri dari 3 hingga 4 disc. Kalau salah satu disc rusak, entah itu disc 2, 3, atau 4, game tidak bisa dilanjutkan. Parahnya lagi, disc tidak dijual ketengan. Mau tidak mau, harus beli satu set lagi. Sakitnya tuh... bukan cuma di dompet, tapi juga di hati, apalagi kalau progress sudah jauh.

3. Suka: toko game menjamur

dok. Square Enix/Final Fantasy VIII

Kalau kita bicara aspek "suka" dari "suka duka" PlayStation 1, maka saya akan menyorot betapa menjamurnya toko game.

Mulai dari di pusat perbelanjaan skala kecil hingga mall besar, menemukan toko game itu sangat mudah.

Memang, judul-judul yang dijual seringkali mirip, terutama game populer seperti Resident Evil 3, Winning Eleven, Harvest Moon Back to Nature, atau Tekken 3. Tapi sesekali, kamu bisa menemukan toko yang lebih "niche", menawarkan game yang tak biasa seperti Tokimeki Memorial.

Bandingkan situasi itu dengan sekarang. Toko fisik untuk game sudah mulai tersisih sejak era PS3 dan semakin tersisih sekarang, apalagi dengan mulai mudah digunakannya digital market.

4. Duka: Memory card dan berbagai persoalannya

Memory Card PS1.jpg
(id.m.wikipedia.org/Evan-Amos)

Di era modern, menyimpan progres game adalah hal yang nyaris tidak perlu dipikirkan. Cukup tekan tombol save, dan data otomatis tersimpan di hard drive konsol atau langsung di cloud. Praktis dan aman.

Namun, di era PlayStation 1, menyimpan game adalah tantangan tersendiri. Konsep save game memang sudah mulai dikenal sejak era 16-bit, seperti di SNES atau Sega Genesis, tapi biasanya hanya terbatas pada game tertentu yang menyimpan data langsung ke dalam cartridge. Sisanya? Ya, pemain harus mengandalkan sistem password yang panjang dan sering kali bikin frustrasi.

Masuklah era PS1, di mana Sony memperkenalkan memory card eksternal, sebuah inovasi besar karena media penyimpanan game, yaitu CD, tidak mendukung penulisan data. Dengan memory card, hampir semua game bisa disimpan progresnya. Tapi seperti halnya teknologi baru, memory card PS1 hadir dengan berbagai suka dan duka.

Masalah pertama: kapasitasnya hanya 15 blok. Kedengarannya cukup... sampai kamu bertemu dengan game seperti Hexen, yang entah kenapa butuh seluruh 15 blok hanya untuk satu file save! Atau Gran Turismo, yang bisa menyedot beberapa blok sekaligus hanya untuk menyimpan data garasi mobilmu.

Di sisi lain, kemampuan memory card untuk dicopot-pasang memungkinkan mobilitas. Kamu bisa menyimpan game di rumah, lalu bawa memory card ke rumah teman atau rental dan lanjut main di sana selama CD game-nya ada. Ini memberi rasa kebebasan baru, sekaligus membuka ruang untuk tragedi.

Karena ya, memory card bisa ketinggalan, jatuh, atau hilang. Dan jika itu terjadi, seluruh progres yang sudah kamu capi, ratusan jam bermain, semua bos yang dikalahkan, semua karakter yang kamu latih, lenyap begitu saja.

Bahkan yang lebih menyakitkan lagi, memory card bisa corrupted tanpa peringatan. Hari ini normal, besok saat dinyalakan… “Data corrupted. Please reformat.”

Ya kalau sudah gitu mau gimana lagi?

5. Suka: harga perangkat masih masuk akal

controller PS1.jpg
By Evan-Amos - Own work, Public Domain. (en.wikipedia.org)

Salah satu hal yang membuat era PlayStation 1 terasa lebih bersahabat di kantong adalah harga perangkat tambahannya yang relatif terjangkau.

Bandingkan dengan sekarang: jika kamu ingin membeli satu kontroller DualSense untuk PS5, kamu harus merogoh kocek sekitar satu jutaan rupiah, itu pun edisi standar bukan edisi khusus.

Di era PS1, segalanya terasa lebih sederhana dan ramah dompet. Kontroler PS1 terutama versi standar tanpa analog dan tanpa getar masih bisa ditemukan dengan harga yang bersahabat. Jika punya uang lebih, kamu bisa naik kelas ke DualShock, kontroler ikonik yang menghadirkan analog stick dan fitur getar, memberikan sensasi bermain yang lebih imersif.

Namun yang paling menyenangkan adalah: kamu punya pilihan. Tidak harus langsung beli yang mahal untuk bisa ikut bermain. Bahkan saat DualShock mulai jadi standar, kontroler non-analog masih banyak digunakan, baik di rumah maupun di rental.

Harga yang masuk akal ini juga berlaku untuk aksesoris lain seperti memory card dan multitap (untuk main rame-rame hingga empat orang). Semua terasa lebih mudah dijangkau, apalagi jika dibandingkan dengan ekosistem konsol saat ini yang makin eksklusif dan mahal.

6. Duka: ketika optik melemah

Jelas, PlayStation 1 di eranya harus dimainkan dengan CD. Era game digital unduh ke dalam mesin masih jauh saat itu.

Masalahnya di Indonesia itu PS biasanya dimodifikasi supaya mau membaca CD bajakan, dan modifikasi ini bisa bikin masalah.

Jadi gini: modifikasi agar PS bisa membaca CD bajakan sering memaksa optik bekerja lebih keras. CD bajakan biasanya menggunakan kualitas disc dan pencetakan data yang lebih rendah dibanding CD orisinal pula. Akibatnya: optik harus membaca data dengan presisi ekstra, proses pembacaan menjadi lebih intens dan berulang, umur optik pun jadi lebih pendek.

Masalah optik pun jadi salah satu momok paling besar di era PS1. Soalnya kalau optiknya rusak ya game-nya tidak terbaca juga.

Terus gimana? Ada gamer yang masih memaksa dengan trik ajaib: balik posisi PS-nya. Ini sebenarnya terasa tidak masuk akal, tapi kadang berhasil. Mungkin karena PS jadi membaca CD dengan sudut berbeda? Akibatnya kegagalan baca jadi berkurang?

Ada juga yang mencoba menyesuaikan posisi CD, menekan bagian tray, atau memutar ulang konsol berkali-kali sampai CD terbaca.

Kalau mulai sudah tak tertolong ya solusinya ganti optik. Pemain yang tidak beruntung bisa jadi sudah merasakan ganti optik lebih dari sekali sebelum PS1 digantikan PS2.

Nah itu beberapa suka duka punya PlayStation 1.

Menurutmu gimana? Sampaikan di kolom komentar!

Diterbitkan pertama 23 November 2017, diterbitkan kembali 9 April 2025.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fahrul Razi Uni Nurullah
Adam
Fahrul Razi Uni Nurullah
EditorFahrul Razi Uni Nurullah
Adam
EditorAdam
Follow Us