Live from TGS 2012: Asia Game Business Summit Review
Salah satu acara unggulan di hari pertama Tokyo Game Show 2012 adalah Asia Game Business Summit. Tahun ini, konferensi internasional itu menghadirkan empat panelis: Jepang, Cina, Korea Selatan, dan Indonesia.
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Salah satu acara unggulan di hari pertama Tokyo Game Show 2012 adalah Asia Game Business Summit. Tahun ini, konferensi internasional itu menghadirkan empat panelis. Dari Cina, ada Chuan He, yang merupakan Senior Vice President dari Renren Inc, dan CEO (Representative Executive Officer) Renren Games Japan. Kemudian ada Chae Yoo Ra dari Korea Selatan. Beliau adalah Director, Smartphone Game Business Operation Division dari NHN Hangame. Sebagai tuan rumah, Jepang menghadirkan Kenji Kobayashi, Director DeNA Co., Ltd. Tak ketinggalan, dari Indonesia ada Shieny Aprilia, COO Agate Studio.
Saya sangat bangga melihat salah satu developer Indonesia bisa terlibat dalam konferensi ini. Bagaimanapun juga industri game di Jepang, Korea Selatan, dan Cina jauh lebih maju dibandingkan Indonesia. Walau demikian, Indonesia yang dipilih, dari sekian banyak negara Asia Tenggara lainnya, untuk duduk dan berdiskusi bersama mereka.
Judul yang diangkat di konferensi ini adalah "A New Era of Boundary-less Social and Mobile Games?! What Game Businesses Will Survive in Asia?". Tidak salah memang. Ini adalah sebuah era baru, di mana game mobile dan sosial telah menggeser dominasi game konsol dan PC. Lalu terkait dengan Asia Game Business Summit, apakah bisnis game dapat bertahan di Asia?
Di masa lalu, setiap wilayah Asia memiliki aturan sendiri untuk bisnis game. Pasar tidak pernah bercampur-aduk. Namun, dengan penyebaran smartphone, tablet, dan perangkat portable lainnya, jumlah software game dan jumlah layanan game yang beroperasi pada platform tersebut telah meningkat pada tingkatan yang luar biasa. Hal ini tentu saja akan mengaburkan pasar. Gamer bisa dengan mudah mengakses game dari negara lain lewat smartphone dan fitur sosialnya.
Diskusi berjalan dengan seru, ketika para panelis menjelaskan tentang platform mobile terpopuler di negara masing-masing. Android mendominasi di semua negara. Namun semua sepakat, bahwa Android dengan device-nya yang terlalu banyak membuat pasar terkotak-kotak. iOS tetap menjadi pilihan yang menarik, mengingat monetisasinya jauh lebih tinggi dibanding Android. Yang cukup menggelitik adalah ketika Shieny menjelaskan bahwa di Indonesia, featured phone masih mendominasi. Sementara di ketiga negara lain, featured phone sudah mulai ditinggalkan. Pasar sudah beralih ke smartphone dan tablet. Lebih menggelitik lagi ketika Shieny menyebutkan Blackberry masih lebih tinggi penggunanya dibanding iPhone.
Ketika diskusi tentang cost dalam membuat game, saya nyaris tepuk tangan ketika Kobayasi-san menyebutkan apakah gamer suka Mario menjadi 3D? Tidak! Padahal itu yang menaikkan cost development. Menurut direktur DeNA Co., Ltd. itu game harusnya ringan dan simple. Itulah kunci kesuksesan social game. Beliau juga menyarankan kepada game developer Jepang untuk harus kembali fokus ke hal-hal simple. Tidak perlu membuat game blockbuster, tapi gagal di pasar. Masalahnya bukan pada seberapa bagus grafisnya, tapi seberapa menarik game itu dimainkan.
Shieny kemudian juga menjelaskan bahwa Agate berusaha untuk balancing kreatifitas dan efisiensi budget. Saat membuat game, tidak perlu membuat segalanya dari nol. Tidak semua teknologi tinggi dalam game itu disukai oleh player. Dia menambahkan, selama fun, game akan disukai banyak orang.
Berikutnya adalah Chae Yoo Ra, yang berpendapat bahwa untuk menarik gamer konsol, developer tetap perlu membuat game dengan kapasitas tinggi. Namun di era smartphone, gamer bisa jadi siapa saja. Bahkan ibu rumah tangga pun seorang gamer. Jadi konsep membuat game juga harus berbeda. Game harus mudah dimainkan dan tidak terlalu panjang. Dengan membuat game seperti itu, costnya hanya akan 10% dari membuat game berkapasitas tinggi.
Hal yang sama juga dipertegas oleh Mr. Chuan He. Beliau merasa inovasi harus tetap diutamakan. Game harus disesuaikan dengan platformnya. Developer tidak bisa asal konversi game hardcore ke pasar smartphone. Banyak newcomer di era smartphone. Mereka bahkan belum pernah memainkan game konsol sebelumnya. Kuncinya adalah membuat game sederhana yang menarik minat mereka.
Bicara tentang tren, Chae Yoo Ra menjelaskan bahwa di era smartphone dan web game, gamer tidak lagi memainkan game sendirian. Tapi social sudah menjadi budaya di industri game Korea. Korea mengawali sejak dekade lalu dgn MMORPG. Game yang nge-trend di Korea sangat berbeda dengan Jepang maupun dunia. Di Korea saat ini yang sangat top adalah game fighting online di PC. Game fighting ini saat ini juga sudah mulai masuk ke platform smartphone.
Berbeda dengan Korea, menurut Mr. Chuan He, genre paling popular di China saat ini adalah RPG. Variasinya banyak. Mulai dari Action RPG, MMORPG, dan Strategy RPG. Di Jepang mungkin yang paling populer adalah Card Battle Game. Namun di China, genre ini kurang populer.
Kobayashi-san berpendapat bahwa game sosial bukan fenomena yang meledak begitu saja. Sebetulnya sejak dulu game sudah punya sisi sosial. Sewaktu kecil, kita semua berkunjung ke rumah teman untuk bermain bersama-sama. Pokemon yang dikenalkan pada tahun 1996 juga menghadirkan aspek sosial yang sangat penting, yaitu collection, training, battle, dan exchange. Ini yang membuat gamer bersosialisasi. MMORPG juga menjadi salah satu aspek yang menaikkan game sebagai media sosial.
Sayangnya semakin dewasa seseorang, waktu semakin sedikit. Ini adalah situasi global. Kita semua ingin bermain game, namun kita tidak punya waktu. Hal ini yang membuat kita tidak lagi bermain game. Maka, menurut Kobayashi-san, ini yang harus diubah.
Strategi social game adalah menghadirkan game di saat-saat senggang (Kobayashi-san menyebutnya "in-between" dan "mindless task"). Game harus bisa dimainkan singkat. Maksimal 7 menit. Namun dimainkan 5 kali dalam sehari. Hal ini sangat berbeda dengan mindset membuat game sebelumnya, di mana game harus dimainkan minimal tiga puluh menit.
Topik selanjutnya adalah tentang Human Resource. Mr. Chuan He berpendapat bahwa yang terpenting dalam bisnis game adalah talent. Untuk mendapatkan good talent, yang diperlukan adalah dua hal: Good culture & insentif. Shieny juga sepakat dengan hal ini. Dia menceritakan kalau sebelum Agate dibentuk, banyak talent hebat Indonesia yang pergi ke luar negeri. Namun setelah Agate ada, talent-talent hebat itu kini bergabung dengan Agate. Bagaimana caranya? Agate berusaha menciptakan suasana yang kondusif dan menyenangkan, sehingga kerja menjadi hal yang fun.
Kobayasi-san memberikan pendapat yang berbeda. Menurutnya yang terpenting adalah interaksi dengan user. Human resource terbaik di industri game adalah mereka yang sanggup mengindentifikasi keinginan user. Senada dengan hal itu, menurut Chae Yoo Ra, antusiasme adalah kunci dalam membuat game. Trend itu berganti tiap hari. Antusiasme dan kecintaan terhadap apa yang dibuat, yang membuat sebuah game developer bisa mengikuti trend.
Pada sesi terakhir, para panelis diminta untuk memberikan pendapatnya tentang Jepang. Chae Yoo Ra melihat Jepang sebagai market yang sangat baik untuk game sosial. Sementara itu, Mr. Chuan He menyatakan bahwa Jepang punya sejarah panjang dalam hal game. Dan pasar sosial Jepang adalah yang terbesar di dunia. Beliau sangat ingin Jepang dan China bisa saling mengisi. Bagi Shieny, Jepang sangat penting bagi gamer Indonesia, bahkan dianggap legenda oleh sebagian orang. Gamer Indonesia memainkan game Jepang sejak masih anak-anak. Jepang adalah role model bagi Agate Studio.