Review Tully: Hal-hal yang Mungkin Terjadi Jika Kamu Seorang Ibu Melahirkan

Jika kamu bingung mau nonton apa di bioskop minggu ini, cobalah menonton
. Itu saja yang ingin saya bilang untuk kamu yang belum nonton, sebab r
eview Tully
berikut ini akan mengandung
spoiler
.
Tapi sebelum itu,
review Tully
ini akan dimulai dengan sinopsis yang tentunya tidak mengandung
spoiler
.
Sinopsis
Menjadi orang tua itu berat, apalagi jika kamu mengambil peran sebagai seorang ibu yang sudah punya dua anak dan satu lagi hendak
mbrojol
. Cobaan semakin berat ketika pasanganmu bekerja membanting tulang saban hari dari pagi sampai malam tanpa sempat membantumu.
Cobaan berat itu semakin berat lagi ketika salah satu anakmu adalah anak berkebutuhan khusus. Rasa-rasanya kepala hendak meledak. Itulah yang dirasakan Marlo (Charlize Theron) yang wajahnya mulai pucat dan keriput serta sudah banyak gelambir lemak di pinggul ketika mendengar
krucil-krucil
-nya merengek terus.
Hingga pada suatu waktu, seseorang merekomendasikanmu seorang pengasuh bayi yang bekerja khusus malam hari. “Mereka datang dan pergi bagai ninja,” ujar Craig (Mark Duplass), adik Marlo, menjamin.
Maka, Marlo pun memanggil Tully (Mackenzie Davis), wanita muda yang sangat cekatan dalam kerjanya. Hasilnya mulai kelihatan; Marlo jadi lebih punya banyak waktu dan menghadapi hari-hari dengan energi positif.
Namun, kisah
too good to be true
ini tak berjalan lama sebab ada yang tidak beres...
Lucu dan Penuh Tragedi

Melihat kisah Marlo ini mengingatkan kita pada kisah klasik seorang ibu. Sebelum menulis
review Tully
ini saya merasa bisa ikut terhubung karena ibu saya juga dulu harus ‘menghadapi cobaan’ yang hampir sama, yakni melahirkan bocah-bocah seperti saya dan adik-adik dalam waktu berdekatan.
Jadi, jika ibu saya merasa terdesak karena kami tidak mau membeli minyak goreng di warung, ia keluarkan kartu As-nya berupa keluhan betapa susahnya ia dulu ketika harus mengurus anak-anak nakal seperti kami sambil bekerja.
Beberapa hal memang sedikit berbeda, misal ibu saya tak memakai
speaker
dan
mic
agar suara bayi yang menangis bisa membangunkannya dari tidur. Kisah ibu Marlo barangkali lebih berat sebab salah satu anaknya, Jonah, harus mendapat perhatian lebih di rumah maupun di sekolah.
Ini bukan hendak membandingkan yang mana yang lebih berat, sebab itu sia-sia saja; menjadi ibu itu sangatlah berat. Yang saya ingin sampaikan ialah, meskipun terdapat perbedaan yang utamanya dipengaruhi oleh perbedaan budaya Indonesia dan Amerika, soal-soal mengasuh anak ini pada dasarnya sama saja.
Tully
secara jujur memotret kehidupan sehari-hari Marlo mengurus anak-anaknya. Ditampilkan bahwa ia selalu kurang tidur dan hampir tidak pernah merawat diri. Ia tidak berhubungan intim dengan suaminya selama berbulan-bulan.
Satu-satunya kesempatan ia bersentuhan dengan hal-hal hiburan adalah menonton acara TV ‘Gigolo’ tengah malam setelah menidurkan anak-anaknya.
Rutinitas itu ‘membunuh’ Marlo secara perlahan-lahan. Ia menderita
baby blues
, alias sindrom yang bisa terjadi pada ibu yang baru melahirkan. Penderita biasanya bisa tiba-tiba murung tanpa sebab yang jelas, kehilangan gairah pada hal-hal yang tadinya menyenangkan, dan mudah marah. Marlo mendamprat kepala sekolah Jonah, padahal tidak salah apa-apa.

Fenomena ini terjadi di seluruh dunia.
WHO mencatat
sekitar 13 persen ibu melahirkan mengalami gangguan mental seperti depresi. Bahkan di negara-negara berkembang, persentase ini mencapai 19,8 persen.
Ibu melahirkan rentan memikirkan untuk bunuh diri.
Menariknya,
Tully
tidak terjebak dengan mengarahkan film menjadi depresif. Ada momen-momen depresi, tapi lebih banyak momen-momen humoris dari kisah keluarga ini. Misalnya, ketika Marlo baru saja mendaprat bu kepala sekolah, keranjang bayi yang ia bawa terantuk kaki meja.
Adapun ketika Marlo nyaris muntab ketika anak-anaknya menjerit minta perhatian, adegan itu dibuat lucu. Namun, kita seperti diarahkan bukan untuk menertawakan Marlo, melainkan untuk menertawakan tragedi.

Marlo mengingatkan saya pada Juno MacGuff dalam film
Juno (2007)
. Juno adalah remaja yang hamil dini. Marlo dan Juno sama-sama ditimpa oleh persoalan anak dan tugas mereka sebagai ibu.
Namun, mereka adalah ibu dan calon ibu yang cerdas; selalu ada sisi baik dari ‘kejadian buruk’. Keduanya menempatkan anak sebagai prioritas dan Marlo melakukan apa saja termasuk menahan amarah yang sudah di ubun-ubun kepada anaknya. Itulah makna kelembutan dan pengorbanan seorang ibu.
Persamaan kedua film ini tidak heran mengingat keduanya sama-sama disutradarai oleh Jason Reitman dan ditulis skenarionya oleh Diablo Cody.
Film Tully memberikan kejutan menarik yang mengingatkan kita akan satu film populer. Apa itu? Baca selengkapnya dalam review Tully di sebelah!
Charlize Theron Adalah Bintangnya

Charlize Theron (kiri) menambah berat badan sampai hampir 100 kg dekan makan makanan cepat saji demi aktingnya dalam film Tully.[/caption]
Memerankan tokoh ibu seperti karakter Marlo ini butuh totalitas. Charlize Theron, aktris pemenang Oscar untuk aktingnya dalam film
Monster
(2003), sampai menambah berat badan dengan ekstrem.
Theron menambah berat badannya sampai hampir 100 kg dalam waktu tiga setengah bulan dengan cara makan-makanan cepat saji. Itulah kenapa bentuknya seperti orang yang hidup segan mati tak mau dalam film ini. Begitu syuting selesai, ia langsung diet selama satu setengah tahun untuk mengembalikan beratnya.
Performanya sebagai ibu memang sangat baik, akan tetapi penampilannya yang paling berkesan adalah saat ia bersama Tully (Mackenzie Davis). Tully bagai teman lama datang bercerita bagi Marlo. Mereka sangat akrab dan ‘satu frekuensi’ dalam hal selera.
Saking dekatnya hubungan mereka, mudah untuk merasakan mereka untuk saling mencintai satu sama lain. Tapi film tidak tertarik untuk mengeksplor sisi tersebut. Hebatnya ialah, performa duo Theron dan Davis membuat kita merasa hubungan tersebut tak perlu dieksplor lebih lanjut.
Twist yang Mengejutkan, tapi Menghangatkan Hati

Peringatan,
review Tully
bagian ini penuh
spoiler
.
Twist
atau kejutan yang dihadirkan
Tully
ini bukanlah hal yang baru dalam dunia perfilman. Satu film yang paling mirip dan populer adalah
The
Sixth Sense
(1999), buatan sutradara yang sangat hobi membikin
twist
, M. Night Shyamalan.
Namun, ada satu hal yang
Tully
lebih unggul daripada
The Sixth Sense
, yakni kita tidak tahu bahwa
twist
ini akan datang.
The Sixth Sense
membuat kita menebak-nebak sepanjang film, dan kita juga tahu jika sutradaranya Shyamalan, pasti akan ada
twist
.
Tully
tidak seperti itu. Film ini menjual dirinya sebagai film keluarga. Sebagai film keluarga, wajar saja jika kita mengharapkan akhir yang 'cari aman'. Namun, ia justru membelokkan setir ke arah kesehatan jiwa, yakni Marlo yang tampaknya menderita skizofrenia.

Mackenzie Davis sebagai Tully, si pengasuh bayi.[/caption]
Menariknya seperti
The Sixth Sense
, kita sebenarnya telah diperingatkan sepanjang film lewat tanda-tanda yang sebenarnya juga cukup terang benderang. Misalnya, Tully hanya berinteraksi pada Marlo dan sekali pada suaminya, Drew (Ron Livingston).
Nah, interaksinya pada Drew inilah yang paling terang, seterang ketika Cole Sear (Haley Joel Osment) mengatakan kutipan ikonik “I see dead people.” pada Malcolm Crowe (Bruce Willis). Apakah beres mengajak pengasuh bayimu untuk berhubungan intim dengan suamimu sendiri?
Jika
The Sixth Sense
penuh misteri, film ini tetap setia pada koridornya sebagai film keluaga. Seperti halnya momen depresi seorang ibu sebelumnya, momen
twist
ini juga dibuat humoris sehingga akhir yang dicapai menghangatkan hati.
Menghangatkan hati karena
twist
ini sebenarnya bukan inti sebenarnya dari film
Tully
. Inti sebenarnya bagi seorang ibu adalah pentingnya menyayangi diri sendiri.
Sementara itu bagi keluarga di sekitar ibu, ada baiknya untuk lebih perhatian dan berusaha membantu untuk meringankan beban. Melahirkan bayi bukan selamanya menyenangkan seperti ucapan selamat; di baliknya ada ibu yang menderita.
Demikian
review Tully
dari
Duniaku.net
. Bagaimana pendapatmu tentang film ini? Sampaikan di kolom komentar, ya!
Diedit oleh Doni Jaelani



















