Penilaian Film: Frankenstein (2025), Indah dan Tragis

- Visual yang memanjakan mata dengan desain kostum, tata dekorasi, dan desain makhluk yang memikat
- Aktor kelas berat seperti Oscar Isaac, Jacob Elordi, dan Mia Goth memberikan penampilan yang sangat kuat
- Film ini lebih cocok disebut sebagai gothic drama daripada film horor, dengan adegan gore yang cukup detail
Pada hari Sabtu (15/11/2025) saya akhirnya ada waktu untuk menonton Frankenstein Netflix yang sudah tersedia di layanan tersebut sejak 7 November.
Gimana kesan saya soal filmnya?
Simak di bawah ini!
Synopsis
Frankenstein (2025) adalah adaptasi horor gotik karya Guillermo del Toro dari novel klasik Mary Shelley. Film ini mengikuti kisah Victor Frankenstein, ilmuwan jenius yang terobsesi menaklukkan kematian. Dalam ambisi yang dibalut ego dan kesombongan ilmiah, ia menciptakan sebuah makhluk hidup dari tubuh-tubuh mati. Namun keberhasilan itu berubah menjadi mimpi buruk ketika sang makhluk menunjukkan sisi berbahaya dan tak terkendali, menjerumuskan baik sang pencipta maupun ciptaannya menuju kehancuran yang tak terhindarkan.
Film ini memiliki tiga "bab," pembuka dan kisah Victor, lalu kisah dari sudut pandang monster ciptaan Victor. Dan kamu akan melihat tragedi dari sisi monster maupun Victor sang pencipta.
1. Khas Guillermo del Toro: filmnya sangat memanjakan mata

Begitu tahu film ini digarap oleh Guillermo del Toro, saya sudah memperkirakan aspek visualnya bakal kuat. Tapi saat menontonnya sendiri, saya tetap dibuat kagum.
Saya sangat merekomendasikan menonton Frankenstein di layar TV besar... atau setidaknya bukan di layar ponsel. Kalau menontonnya lewat Netflix, pastikan koneksi internetmu bagus agar detail visualnya tidak pecah, karena film ini memang layak dinikmati dengan kualitas maksimal.
Meski membawa nuansa gotik yang kelam, permainan warna, desain kostum, tata dekorasi (termasuk hal seperti patung, desain bangunan, set interior, hingga peti mati), dan tentu saja desain makhluknya terasa begitu memikat.
Baik lanskap beku maupun suasana Eropa, baik yang muram dan megah, ditampilkan dengan sentuhan estetika khas Del Toro: gelap, tapi tetap indah.
Dan keindahan itu juga tercermin dalam sosok monsternya sendiri.
Monster Frankenstein versi Jacob Elordi tampil sebagai sesuatu yang “salah”, mengerikan, dan tidak seharusnya ada, tetapi pada saat yang sama juga menyimpan keanggunan tertentu. Ada kemiripan antara desainnya yang elegan sekaligus tragis, dengan situasinya sebagai makhluk yang terjebak antara menjadi ciptaan dan anak bagi Victor, dan kemudian ditakuti dan tidak diterima oleh dunia.
2. Deretan aktor yang sangat, sangat kuat

Oscar Isaac? Jacob Elordi? Christoph Waltz?
Dari daftar cast-nya saja sudah terasa bahwa Frankenstein digarap dengan deretan aktor kelas berat. Dan benar saja: hampir semua penampilan dalam film ini tampil sangat solid.
Oscar Isaac jelas menjadi pusat perhatian. Ia berhasil memerankan Victor Frankenstein dengan intensitas besar, ambisius, arogan, emosional, namun tetap menyimpan sisi tragis.
Bagi penonton yang belum familiar dengan cerita asli Frankenstein, struktur film ini bekerja sangat efektif: kita pertama kali melihat Victor sebagai orang asing yang diselamatkan di Antartika, sebelum perlahan menyelami masa lalunya dan eksperimen gilanya. Pendekatan ini membuat karakternya terasa kompleks—bahkan ketika sisi toksiknya terhadap sang makhluk sudah jelas, tragedi hidupnya tetap bisa dipahami.
Lalu ada Jacob Elordi.
Menurut saya, Elordi tampil sangat kuat sebagai makhluk ciptaan Victor. Ada kepolosan yang menyentuh, namun di saat yang sama ia tampak terlalu kuat dan terlalu berbahaya untuk dunia sekitarnya. Perlakuan Victor pada ciptaannya ini hanya memperbesar tragedinya.
Penampilan Elordi menangkap seluruh paradoks sang makhluk: sosok yang dari luar tampak mengerikan, tetapi di dalamnya menyimpan rasa sakit dari keberadaan yang tidak pernah ia minta. Ia diciptakan di dunia yang rapuh baginya, sementara dirinya sendiri hampir mustahil dihancurkan... ditembaki, ditenggelamkan dalam air beku, ditembak dengan blunderbuss, dan ia tetap bertahan. Dan Elordi sukses menampilkan keanggunan sekaligus kepedihan itu.
Mia Goth juga memberikan kontribusi yang sangat menarik karena ia memerankan dua tokoh sekaligus.
Yang paling utama, ia tampil sebagai Lady Elizabeth Harlander, tunangan William Frankenstein sekaligus wanita yang membuat Victor terpikat—dan kemudian menunjukkan simpati pada sang makhluk.
Namun sebelum itu, di bagian awal film, ia juga berperan sebagai Baroness Claire Frankenstein, ibu Victor.
Dua karakter dengan kepribadian berbeda ini dibawakan Goth dengan sangat memikat. Walau memang untuk ini kasusnya cukup unik: Mia Goth menyajikan dua sosok ini dengan berkesan tapi karena struktur cerita, ia tetap terasa tampil kurang banyak.
3. Sekedar warning: ini bukan film horor

Saya tahu banyak orang mengenal monster Frankenstein sebagai salah satu ikon besar film horor Amerika. Namun… saya sendiri tidak yakin Frankenstein (2025) bisa benar-benar disebut sebagai film horor.
Kalau kamu masuk dengan ekspektasi ingin merasakan teror nonstop, kamu justru bisa kecewa.
Film ini jauh lebih cocok disebut gothic drama.
Dua bagian utama ceritanya (Victor’s Tale dan Creature’s Tale) lebih berfokus pada tragedi dan hubungan rusak antara pencipta dan ciptaannya, bukan pada jumpscare atau kengerian yang terus menerus. Yang dihadirkan adalah suasana muram, konflik batin, dan kehancuran emosional dua tokoh utama yang saling mempengaruhi nasib satu sama lain.
Meski begitu, film ini tetap tidak cocok untuk penonton yang terlalu muda.
Walaupun bukan horor normal,, Frankenstein menampilkan adegan gore yang cukup detail dan mengganggu, terutama dalam proses Victor menyusun tubuh ciptaannya dari berbagai jasad yang ia kumpulkan. Adegan-adegan tersebut bisa sangat mengerikan bagi sebagian penonton. Dan kalau ada kematian, baik hewan maupun manusia, maka jika kematian itu bukan terjadi karena sebab natural (ditembak, jatuh dari ketinggian, dibunuh) kerusakannya disajikan dengan detail dan tanpa malu-malu!
4. Durasi

Dengan durasi sekitar 150 menit dan pendekatan yang lebih menekankan drama serta tragedi, wajar kalau ada sebagian penonton yang mungkin merasa film ini agak panjang. Ritmenya tidak dirancang seperti film horor cepat atau thriller penuh aksi, jadi kesan “lambat” memang bisa muncul.
Namun karena film ini tersedia di Netflix dan dibagi menjadi tiga bagian (pembuka, Victor’s Tale, dan Creature’s Tale) kamu bisa mengatur ritme menontonnya sendiri. Jika perlu jeda, momen transisi dari kisah Victor ke kisah sang Creature bisa menjadi titik istirahat yang cukup ideal.
Tapi bagi saya pribadi, ceritanya disajikan dengan begitu memikat dan dua bagiannya tersambung sangat mulus, sehingga saya justru menonton terus tanpa terasa.
5. Sebuah adaptasi yang sangat kuat

Secara keseluruhan, Frankenstein adalah adaptasi yang sangat solid, visualnya memukau, akting para pemainnya kuat, dan kisah tragis yang dibawanya terasa menghantui jauh setelah film berakhir.
Menariknya, film ini justru mengingatkan saya pada satu ikon horor lain: Dracula, khususnya versi Francis Ford Coppola tahun 1992. Keduanya sama-sama menonjolkan desain kostum dan visual yang memikat, sekaligus memberikan sentuhan emosional yang lebih dalam daripada adaptasi klasiknya.
Kesamaan lain yang membuat perbandingan ini menarik adalah pendekatannya sebagai adaptasi yang tidak 1:1.
Del Toro menambahkan dan memfokuskan ulang sejumlah elemen untuk menyorot sang Creature sebagai figur tragis, bukan sekadar monster. Dracula versi Coppola pun melakukan hal serupa, mengambil kebebasan kreatif untuk menonjolkan sisi romantis dan emosional yang tidak terlalu dieksplorasi dalam novel Bram Stoker.
Namun justru karena pilihan kreatif itulah keduanya berdiri sebagai karya yang kuat dan berkesan.
Saya tidak akan heran jika, di masa depan, versi Guillermo del Toro ini menjadi interpretasi Frankenstein yang paling diingat banyak orang, seperti halnya Bram Stoker’s Dracula versi Coppola yang hingga kini dianggap salah satu adaptasi paling definitif.
6. Sebuah film yang memikat

Saya memberikan film ini 4,5 dari 5 bintang, karena memang kualitasnya layak mendapatkan penilaian setinggi itu.
Dari segi visual, film ini tampil luar biasa, hampir setiap frame terasa seperti lukisan yang digarap dengan detail. Dari segi akting, para pemainnya berhasil menghidupkan karakter mereka dengan sangat meyakinkan, terutama Oscar Isaac dan Jacob Elordi. Sementara dari sisi cerita, interpretasi Guillermo del Toro benar-benar memikat, meski ia tidak mengikuti novel secara 100%.
Hal yang mungkin menjadi tantangan bagi sebagian penonton adalah durasi dan tempo film yang pada beberapa bagian terasa lambat. Namun bagi saya, ritme yang lebih tenang ini justru memberi ruang bagi tragedi hubungan Victor dan sang Creature untuk mencapai puncak emosinya di babak ketiga.
Jadi jika kamu berlangganan Netflix dan menyukai gothic drama, saya sangat merekomendasikan Frankenstein.
Hanya saja perlu ditekankan lagi: ini bukan film horor. Ini adalah drama tragedi yang dibangun dengan nuansa gotik, dan del Toro mengeksekusinya dengan tepat.
Kalau menurutmu bagaimana?
Sampaikan pendapatmu di kolom komentar!
| Producer | Guillermo del Toro |
| Writer | Guillermo del Toro |
| Age Rating | D 17+ |
| Genre | Gothic Drama |
| Duration | 150 Minutes |
| Release Date | 7-11-2025 |
| Theme | Gothic |
| Production House | Double Dare You |
| Where to Watch | Netflix |
| Cast | Oscar Isaac, Jacob Elordi, Mia Goth, Christoph Waltz |



















