Plot F1 bukan hal yang benar-benar baru. Brad Pitt memerankan Sonny Hayes, mantan pembalap Formula One yang dulu dikenal sebagai "fenomena lintasan", tetapi kariernya hancur karena kecelakaan dan ego yang tak bisa dikendalikan. Bertahun-tahun kemudian, Sonny hidup sebagai semacam pembalap keliling, mengemudi mobil apa pun. Mulai dari mobil sport hingga taksi, hanya demi sensasi adrenalin.
Kehidupannya berubah saat Ruben Cervantes (Javier Bardem), teman lama sekaligus manajer tim balap APX yang sedang sekarat secara finansial, menawarkannya kursi balap untuk menyelamatkan citra tim. Sonny awalnya menolak, seperti yang diharapkan dari klise film olahraga manapun, lalu tentu saja setuju, memulai kisah kembalinya "sang veteran bermasalah" ke lintasan elit.
Di sisi lain, Damson Idris berperan sebagai Noah Pearce, pembalap muda yang haus sorotan dan merasa tidak membutuhkan siapa pun. Kehadiran Sonny dianggap sebagai gangguan: simbol dari masa lalu yang seharusnya sudah mati. Interaksi mereka berjalan dari permusuhan, saling meremehkan, lalu pelan-pelan bertransformasi menjadi hubungan mentor–murid yang cukup emosional, meski sayangnya tidak pernah benar-benar mendalam.
Narasi Sonny sebagai "pembalap lama yang menolak pensiun" sebenarnya berpeluang memberi nuansa eksistensial dan reflektif. Tapi alih-alih merenungkan makna kegagalan dan umur, film ini memilih jalur aman dengan konflik-kompetisi yang terlalu cepat berdamai. Noah sendiri, sebagai karakter, lebih terasa sebagai simbol generasi muda yang terlalu dimanja ketenaran ketimbang pribadi yang berkembang nyata.