Victor Sagat Street Fighter 1994. (Dok. Capcom/Street Fighter)
Di game Street Fighter, Sagat adalah salah satu sub-boss paling ikonis. Ia petarung Muay Thai berbahaya, tinggi besar (sekitar 226 cm), berotot, dan menyimpan dendam mendalam pada Ryu akibat luka besar di dadanya.
Dalam dunia Street Fighter, di mana semua petarung bertarung tanpa batas kelas berat, Sagat secara natural tampil sebagai sosok dominan. ancaman fisik sekaligus emosional.
Versi film Street Fighter justru mengambil arah yang jauh berbeda.
Sagat diperankan oleh Wes Studi, aktor karismatik, namun dengan tinggi sekitar 178 cm, jauh dari postur monster Muay Thai yang dikenal fans. Lebih dari sekadar soal fisik, perubahan paling besar ada pada konsep karakternya.
Di film, ia tampil sebagai Viktor Sagat, sosok petarung yang sudah relatif pensiun. Ia memang disebut pernah dominan di arena, dijuluki Iron Fist, tapi fokusnya kini bukan lagi sebagai fighter brutal yang hidup untuk balas dendam. Sagat malah diposisikan sebagai pemimpin Shadaloo Tong, organisasi kriminal yang mengelola bisnis pasar gelap di kota Shadaloo.
Konsekuensinya fatal bagi identitas karakter: motivasi personal Sagat terhadap Ryu dihilangkan, amarah dan obsesinya lenyap, dan perannya bergeser dari petarung murka menjadi bos kriminal generik.
Bahkan yang mengalahkan Sagat malah jadi Ken di film, bukan Ryu.
Yang lebih unik lagi, Thai King, expy Sagat di Future Cops, juga sering dianggap sebagai salah satu parodi paling tidak akurat di film tersebut. Ini menimbulkan pertanyaan menarik: kenapa Sagat hampir selalu “gagal” ketika diadaptasi ke layar lebar?
Apakah karena karakternya terlalu sederhana, petarung yang hidup untuk dendam, atau justru karena perusahaan film kesulitan menerjemahkan ancaman fisik murni tanpa harus menjadikannya gangster atau bos organisasi?
Apa pun jawabannya, Sagat versi 1994 jelas merupakan salah satu contoh adaptasi Street Fighter yang terasa paling melenceng dari sumber aslinya.